Lincak

Keturunan Sultan Agung Ditolak Belanda Lalu Dibuang ke Ambon, Kenapa Ya?

Keturunan Sultan Agung yang menjadi sunan Surakarta, Pakubuwono VI, mempunyai permintaan yang ditolak Belanda. Mengapa ia kemudian dibuang ke Ambon?

Keturunan Sultan Agung ini sungguh kesal kepada Belanda. Belanda pernah berjanji akan menperluas wilayah kekuasaan Surakarta jika membantu menghentikan Diponegoro dalam perang Jawa.

Namun ketika ditagih, Belanda malah akan mengambil wilayah mancanegara. Keturunan Sultan Agung yang menjadi Sunan Surakarta itu pun meminta agar tidak ada sejengkal tanah Surakarta yang diambil Belanda.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Maka perundingan sejak akhir April 1830 itu pun menjadi alot. Pada akhirnya, Sunan Surakarta Pakubuwono VI tak berdaya, permintaannya ditolak Belanda. Lalu kenapa dibuang ke Ambon?

Oohya! Baca juga ya:

Pecah Keraton Sultan Agung, Belanda Kian Berkuasa Setelah Menangkap Diponegoro

Tetapi ia masih mengajukan syarat: agar para buoati mancanegara tetap menghadap kepadanya setiap tahun. Nahuys yang mewakili Belanda dalam perundingan setelah penangkapan Diponegoro, menolaknya.

Perundingan buntu. Pakubuwono VI pun meminta hal diinginkan Belanda disampaikan secara tertulis.

Belanda memberikannya. Tetapi Nahuys tetap merasa perlu menghubungi Panembahan Buminoto keesokan harinya.

Buminoto merupakan penasihat Pakubuwono VI. Selama perundingan ia menjadi juru bicara Surakarta.

Oohya! Baca juga ya:

Diponegoro Ditangkap, Kenapa Sultan Ditagih Ganti Rugi Perang oleh Belanda?

Buminoto tetap mendukung keinginan Pakubuwono VI yang disampaikan dalam perundingan. Setelah menyampaikan propossl tertulis, Belanda tentu berharap mendapat jawaban yang melegaksn.

Belanda tentu juga berharap mendapat jawaban tertulis secepatnya. Tapi Pakubuwono VI masih kecewa pada omongan Nahuys dan De Kock dalam perundingan sehingga tidak segera memberi jawaban.

Sebelum pulang ke Magelang, De Kock menulis surat bahwa apa yang akan dilakukan Belanda semata demi kesejahteraan di Jawa. Karenanya ia minta Pakubuwono VI percaya kepada niat Belanda.

Sepertinya Pakubuwono VI tahu jika De Kock dan Nahuys hanya bermulut manis. Maka, dalam jawaban tertulisnya, keturunan Sultan Agung itu tetap menuntut hak agar para bupati mancanegara wajib menghadap setiap tahun ke Surakarta setelah wilayah mancanegara diambil Belanda.

"Saya menuntut kepada pemerintah agar martabat saya sekarang ini diwariskan secara turun-temurun tanpa ada perubahan kepada keturunan-keturunan saya," kata Pakubuwono VI.

Dalam perundingan, permintaan itu sudah ditolak Belanda. Tentu saja Pakubuwono VI tidak mengira ia akan dibuang ke Ambon. Apa yang dimaksud dengan martabat yang diwariskan.

Oohya! Baca juga ya:

Sebelum Diserbu Sultan Agung, Kenapa JP Coen Larang Lelaki Belanda Punya Budak Perempuan?

Tak lain adalah kewajiban para bupati mancanegara untuk menghadap ke Surakarta setiap tahunnya. Kendati Keraton Surakarta pindah keraton.

"Para bupati itu akan memenuhi kewajiban-kewajiban mereka kepada para penggantiku itu dan membayarkan piutang-piutang mereka, seperti yang selama ini sudah menjadi adat kebiasaan," lanjut Pakubuwono VI.

Selama Perang Diponegoro, Pakubuwono VI memang lebih memihak kepada Diponegoro daripada kepada Belanda. Ketika ia membantu Belanda, ia pun memberikannya dengan ragu-ragu.

Belanda pun membaca hal itu, sehingga tak mungkin Belanda menperluas wilayah kekuasaan Surakarta. Tapi setidaknya, jawaban tertulis bernama kompromistis dari Pakubueono VI itu melegakan Belanda.

Di balik jawaban Pakubuwono VI itu, ternyata ia merencanakan sesuatu. Dalam jawaban tertulis ia sempat mengatakan alasan perlunya para bupati tetap menghadap ke Surajarta.

Oohya! Baca juga ya:

Perlawanan Budak di Masyarakat Kolonial Batavia, Untung Suropati Jadi yang Paling Terkenal

"Sehingga martabat ini akan terus berlanjut meskipun Keraton Surakarta dipindahkan," kata Pakubuwono VI.

Rupanya kemudian ia meninggalkan keraton, meski Belanda melarang tindakan hal itu. Pada Juni 1830 Pakubuwono VI beserta enam pengikutnya berada di Kali Kuning.

Belanda pun mengejarnya. Pakubuwono VI tertangkap ketika berada di Mancingan.

Mendapat llaporan itu, Jenderal De Kock memerintahkan agar Nahuys membawa Pakubuwono VI ke Kalitan. Di Kalitan ada perwira Belanda Letkol WA Roest yang akan membawa Pakubuwono VI ke Batavia.

Keturunan Sultan Agung itu kemudian dibuang ke Ambon. Ia tak hanya ditolak permintaannya, tetapi juga ditolak dirinya. Belanda mengganti raja Surakarta.

Tapi ada kesalahpahaman sebelumnya. Penulis surat De Kock salah eja. Ia menulis Klaten, sehingga Nahuys seharian menunggu di Klaten, Letkol Roest tak kunjung datang.

Oohya! Baca juga ya:

Ayahnya Raja Punya Banyak Anak, Diponegoro Punya 31 Adik, Adakah yang Ikut Perang Jawa?

De Kock menulis surat lagi. Kali ini yang ditulis benar: Kalitan. Nahuys pun membawa Pakubuwono VI ke Kalitan lalu dibawa ke Batavia.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Keraton dan Kompeni, karya Vincent JH Houben (2002)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Anggota Dewan Kabupaten Grobogan 9 Orang, Adakah Kakek Buyut Anda?

Image

Melawan Belanda dengan Bahasa