Ayahnya Raja Punya Banyak Anak, Diponegoro Punya 31 Adik, Adakah yang Ikut Perang Jawa?
Ayah Diponegoro memrupakan raja yang punya banyak anak. Diponegoro merupakan anak pertama, seperti halnya Pangeran Rangsang.
Tapi beda nasib meski sama-sama bukan putra mahkota. Pangeran Rangsang dipilih menjadi Sultan Agung, Pangeran Diponegoro memilih menjadi Sultan Ngabdulkamid. Mereka sama-sama menolak menjadi raja.
Pangeran Rangsang akhirnya harus mau dinobatkan menjadi raja Mataram ketiga. Sedangkan Pangeran Diponegoro gigih menolak, dan di kemudian hari memimpin Perang Jawa, adakah adik-adiknya yang ikut berperang?
Oohya! Baca juga ya:
RA Kartini tak Suka Buku Java, tapi Ia Mau Membaca tanpa Jeda Jika Suka
Diponegoro diminta langsung oleh ayahnya, Sri Sultan Hamengkubuwono III, untuk menjadi raja. Ayahnya berkali-kali memintanya.
Tapi ia terus menolaknya karena dalam pertapaannya telah menerima bisikan akan menjadi menjadi Sayidin Panatagama Kalifah Rasulullah Ing Tanah Jawi, bukan Sayidin Panatagama Kalifatullah.
Gelar Sayidin Panatamaga Kalifatullah adalah gelar untuk raja sebagai pemimpin negara. Sedangkan Sayidin Panatagama Kalifah Rasulullah adalah gelar untuk pemimpin agama.
Dengan berat hati, Hamengkubuwono IV harus memberi tahu Inggris bahwa Diponegoro menolak menjadi raja. Diponegoro memiliki 31 adik, akhirnya harus mengikuti nasib menabuh genderang perang dengan Belanda.
Pada 1825 ia memulai Perang Jawa. Setelah ia tersingkir dari keraton dan melihat ketidakadilan semakin merajalela.
Oohya! Baca juga ya:
Ketidakadilan itu semakin menjadi-jadi ketika Belanda mengangkat sultan yang masih berusia hampir tiga tahun. Sri Sultan Hamengkubuwono V gelarnya.
Diponegoro ditunjuk sebagai wali sultan. Tapi, ia tidak bisa berperan banyak karena muncul intrik-intrik di keraton untuk menyingkirkan dia.
Akhirnya roda pemerintahan dikendalikan oleh Patih Danurejo bersama Residen Yogyakarta dan ibu sultan. Ia kembali ke Tegalrejo.
Tapi masih harus sering ke keraton karena mendapat laporan Patih Danurejo menangkat petugas baru penarik pajak. Penarikan pajak akan semakin menyengsarakan rakyat.
Ayah Diponegoro, Sri Sultan Hamengkubuwono III, memiliki tiga permaisuri dan 25 selir. Dia punya banyak anak, 32 orang: 12 laki-laki dan 20 perempuan.
Hamengkubuwono III dua kali naik tahta sebagai raja. Pertama pada 1810, diangkat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda HW Daendels.
Oohya! Baca juga ya:
Portugis Serbu Pasai Fatahillah Lari, Kenapa Portugis Kalah dari Fatahillah di Sunda Kelapa?
Kemudian tahta diambil lagi oleh ayahnya, Hamengkubuwono II, pada 1811. Yaitu ketika Inggris menguasai Batavia.
Lalu ia naik tahta lagi pada 1812 setelah Inggris merebut keraton Yogyakarta. Sri Sultan Hamengkubuwono III meninggal pada 1814.
Posisi raja lalu digantikan oleh adik Diponegoro, menjadi Hamengkubuwono IV. Paku Alam I menjadi wali sultan selama delapan tahun.
Sri Sultan Hamengkubuwono IV meninggal pada Desember 1822. Diponegoro dituduh oleh Belanda telah meracuni adiknya.
Anehnya, Diponegoro malah ditunjuk sebagai wali sultan untuk sultan baru, berusia hampir tiga tahun. Padahal ia telah dituduh sebagai oembunuh ayah dari raja baru itu.
Oohya! Baca juga ya:
Ketika Diponegoro menginjak dewasa, adiknya masih kecil-kecil. Raden Mas Ibnu Jarot, misalnya, saat dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono IV pada 1814, baru berusia 10 tahun.
Saat Inggris menyerbu Keraton Yogyakarta pada 1812 Diponegoro bersama adiknya, Pangeran Adinegoro dan Pangeran Suryobrongto, mengawal ayahnya dari kepungan tentara Inggris.
Diponegoro bersama Suryobrongto maju menghalau tentara Inggris yang mengejar mereka. Adinegoro tetap mengawal ayahnya, Hamengkubuwono III.
Setelah Perang Jawa, Diponegoro dibuang ke Minahasa, melalui Ambon. Tidak ada nama adik-adik Diponegoro di dalam daftar yang menemani Diponegoro.
Tapi, adiknya yang bernama Pangeran Suryodipuro yang setelah dewasa menjadi Pangeran Ronggo Purboyo, tercatat dibuang ke Ambon dan meninggal di Ambon.
Diponegoro meninggal pada 1855, raja Yogyakarta adalah Sri Sultan Hamengkubuwono VIII. Raja ini juga punyak banyak anak, 41 orang.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
- Pahlawan Dipanegara Berdjuang, karya Sagimun MD (1965)
- Serat Raja Putra Ngayogyakarta Hadiningrat, penyusun KPH Mandoyokusumo (1988)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]