Lincak

Bung Karno pun Pernah Jadi Korban Bullying

Bung Karno pernah masuk perkumpulan sepak bola yang anggotanya anak-anak Belanda. Di sinilah ia menjadi korban bullying.

Bung Karno kecil masuk perkumpulan sepak bola. Namun ini menjadi masa yang menyakitkan bagi Bung Karno.

Ia menjadi korban bullying di perkumpulan yang anggotanya anak-anak Belanda itu. "Mereka memanfang rendah kepadaku," ujar Bung Karno.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Setelah selesai kelas lima sekolah rendah pribumi, Bung Karno kecil dimasukkan ke sekolah rendah Belanda. Ketika mendaftar ke sekolah rendah Belanda, ia tetap dimasukkan ke kelas lima karena belum mampu berbahasa Belanda.

Oohya! Baca juga ya:

Karena Miskin, Bung Karno Pernah tak Bayar Zakat Fitrah Menjelang Lebaran

Selama bersekolah di sekolah rakyat pribumi, Bung Karno sebenarnya sudah belajar bahasa Belanda. Ayahnya meminta guru Belanda dari memgajar Bung Karno satu jam per hari.

Tapi pada saat dites, kemampuan bahasa Belanda Bung Karno dianggap masih kurang. Padahal kemampuan akademisnya sudah layak masuk kelas enam sekolah rendah Belanda.

Ayah Bung Karno sesak dadanya, tetapi mencoba menerimanya. Bung Karno protes ke ayahnya, karena usianya sudah 14 tahun, malu duduk di kelas lima.

Ayahnya punya cara penyelesaian. Memudakan usia Bung Karno menjadi 13 tahun.

Oohya! Baca juga ya:

Perang Diponegoro, Krisis Akhlak, Kemakmuran Rakyat, dan Pelajaran yang Dapat Dipetik Darinya

Ayah Bung Karno menginginkan Bjng Karno kelak bisa melanjutkan sekolah di Belanda. Bung Karno punya hak masuk sekolah Belanda karena posisi ayahnya sebagai pegawai gubernemen.

Sukemi, ayah Bung Karno, adalah seorang guru. Gajinya sebesar 25 gulden per bulan.

Ketika ayahnya akan mendaftarkannya ke sekolah rendah Belanda, Bung Karno sebenarnya enggan. Ia teringat pengalaman di perkumpulan sepak bola yang pernah ia masuki itu.

"Apakah saya tidak dapat meneruskan sekolah Bumiputra," kata Bung Karno menawar.

Ayahnya pun menjelaskan jika sekolah rendah untuk anak Indonesia hanya sampai kelas lima. Untuk bisa meneruskan ke pendidikan tinggi, harus memiliki ijazah sekolah Belanda.

Bung Karno masih menyimpan kegundahan. Ia pun mencoba menawar lagi agar tidak perlu masuk ke sekolah rendah Belanda.

Oohya! Baca juga ya:

MUI dan Organisasi Masyarakat Sipil Luncurkan Fatwa tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global

"Apakah saya tidak bisa masuk ke sana berdasarkan kepandaian?" tanya Bung Karno mengenai peluang masuk perguruan tinggi Belanda lewat jalur kepandaian, bukan jalur ijazah.

Pengalaman buruk bergaul dengan anak-anak Belanda di perkumpulan sepak bola masih membayanginya. Sejak usia 10 tahun, Bung Karnk biasa meminpin teman-teman bermainnya.

Tapi untuk menjadi pemimpin perkumpulan sepak bola anak-anak Belanda ini tentu tidak mungkin baginya. Bung Karno bahkan hanya sebentar menjadi anggota.

"Mereka orang Barat yang putih seperti salju, yang asli, yang baik, dan mereka memandang rendah kepadaku karena aku anak Bumiputra atau inlander," ujar Bung Karno.

Maka selama bergabung di perkumpulan sepak bola itu, Bung Karno serimg dipoyok oleh anak-anak Belanda. "Bagiku perkumpulan sepak bola ini merupakan pengalaman pahit yang membikin hati luka di dalam," kata Bung Karno.

Oohya! Baca juga ya:

AHY Demokrat tak Dapat Menteri Pertanian, Menteri Pertanahan pun Jadi, Setelah SBY Kritik Cawe-Cawe Lalu Dukung Prabowo

Bagaimana Bung Karno kecil yang keras itu bisa menjadi korban bullying anak-anak Eropa? Bagaimana anak-anak Belanda itu memoyoki Bung Karno?

Mereka berjaga di dua sisi pintu masuk klub sepak bola. Di situlah mereka memiliki kesempatan memoyok Bung Karno.

"Hai, kau bruine. Hei anak kulit cokelat goblok malang. Bumiputra, inlander, anak kampung. Hei, kamu lupa memakai sepatu," teriak anak-anak Belanda memoyok, begitu Bung Karno memasuki area sekolah.

Bung Karno tidak pernah mrngalami hal itu ketika masih bersekolah di sekolah rendah pribumi. "Kami semua sama," kata Bung Karno mengenai teman-temannya di sekolah rendah pribumi.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Cindy Adans (1986)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]