Para Relawan Medis Ini Juga Jadi Korban Erupsi Lewotobi
Hanya satu-dua kendaraan yang melintas Jalan Nasional Larantuka Maumere yang membelah Desa Hokeng Jaya dan Desa Klatanlo. Dua desa ini masih sepi, warganya belum diperbolehkan pulang.
Tanaman kakao meranggas, pasir panas telah membuat sebagian besar tanaman kakao mengering. Daun-daun kelapa juga menjuntai kering. Kami harus melintasi dua desa ini untuk untuk mencapai Desa Boru Kedang, Boru, dan Pululera bersama dokter dan tim medis yang sebenarnya juga menjadi korban erupsi Gunung Lewotobi.
Beberapa rumah dan sekolah hancur. “Ini rumah tempat tinggal nenek yang menjadi pasien pertama korban erupsi Gunung Lewotobi di Puskesmas Boru,” ujar Dokter Elisabeth YS Tapowolo, dokter Puskesmas Boru yang menjadi relawan Posko Jenggala, saat kami melihat kondisi sebuah rumah di Hokeng, Senin (30/12).
Tak jauh dari rumah itu ada SMPK Sanctissima Hokeng yang juga mengalami kerusakan. Kerusakan rumah dan sekolah itu akibat tertimpa bola api dari letusan Gunung Lewotobi.
Di lapangan sepak bola di samping SMPK Sanctissima ada lubang besar yang tercipta oleh lontaran bola api. Cukup besar diameternya. Tak jauh darinya, ada pula SD Inpres Klatanlo yang juga hancur akibat tertimpa bola api.
Sekitar 700 meter dari lokasi SMPK Sanctissima, ada biara/susteran yang juga mengalami kerusakan. Suster Nikolin Pajo menjadi salah satu korban meninggal. Bola api menimpa kamar tidurnya.
Dokter Anita Lia Arsanti W Marapati yang bertugas di Puskesmas Adonara sedang pulang kampung saat Gunung Lewotobi erupsi pada Ahad (3/11/2024) malam. “Kami berlindung di bawah meja,” ujar Dokter Anita Lia yang tinggal bersama keluarga di Dusun Wolorona Barat, Desa Hokeng Jaya.
Keluarga Dokter Anita Lia sekitar pukul 08.00 pagi mengungsi ke Puskesmas Boru, kemudian pukul 11.00 mengungsi ke Bokang, sekitar 20 kilometer dari Hokeng Jaya. Kompleks Pastoral Bokang menjadi salah satu kamp pengungsi, Anita dan keluarganya ditampung di sini.
Dokter Anita Lia kemudian bertugas di kamp pengungsi Bokang. Sedangkan Dokter Elisabeth Tapowolo beserta belasan perawat dan bidan Puskesmas Boru bekerja di kamp pengungsi Kobasuma setelah puskesmas itu tidak beroperasi.
“Malam itu kami tidak tidur karena harus melayani korban erupsi,” ujar Don Hodo, perawat Puskesmas Boru. Dia ikut menangani korban yang kedua kakinya terkena percikan bola api dan meninggal di puskesmas.
Pada Senin (4/11/2024) pukul 12.00, Puskesmas Boru ditutup setelah selesai mengevakuasi pasien rawat inap dan pasien korban erupsi Lewotobi, termasuk dua pasien yang baru melahirkan. Menurut Dokter Elisabeth, atap gedung rawat inap puskesmas rusak akibat terkena pasir panas.
Atap seng menjadi bolong-bolong akibat terkena pasir panas. Warga desa yang sudah diperbolehkan pulang dari pengungsian pada 7 Desember 2024, perlu menutup atap dengan terpal agar tidak bocor saat hujan.
Tim medis Puskesmas Boru kemudian juga ikut mengungsi meski lokasi mereka berada di atas delapan kilometer dari Gunung Lewotobi. Semburan pasir panas yang menimpa puskemas dan mes puskemas membuat atap seng jadi rusak.
Pada saat Posko Jenggala mengadakan pengobatan gratis untuk kedua kalinya bagi korban erupsi Lewotobi pada 27-30 Desember 2024, Dokter Elisabeth dan tiga perawat Puskesmas Boru (Don Hodo, Maria Penigeka, dan Damianus Kian Hokeng), ikut bergabung. Ikut bergabung pula Dokter Anita Lia dan Dokter Sinthia Tokan serta Dokter Christian Kleden dan Dokter Jazz Meha.
Pengobatan dilakukan di Desa Watubuku, Desa Hewa, Desa Pantai Oa, Desa Boru Kedang, Desa Boru Klobong, dan Desa Pululera. Warga desa-desa ini sudah dipulangkan dari pengungsian pada 7 Desember 2024.
Posko Jenggala sebelumnya juga sudah mengirim lima dokter relawan pada 9-13 November 2024. Yaitu Dokter Giovanni Matulessy, Dokter Frizka Vania Franciz, Dokter Eugena Isadora, Dokter Vanda Melinda Sumbanu, dan Dokter Eurika Yunisia.
Saat itu, erupsi susulan masih sering terjadi. “Pas mandi, terjadi erupsi, suara gemuruh sangat keras,” kata Dokter Giovanni yang harus buru-buru keluar dari kamar mandi.
Dokter Anita Lia menyebut, rumahnya rusak bagian atap. Sama seperti rumah Filipus Pudemare (78 tahun) pensiunan kepala tukang di Seminari San Dominggo, Hokeng.
Filipus memiliki rumah berukuran 7x10 meter yang ia bangun pada 1979 dan tanah seluas satu hektare. Atap rumah rusak, tanaman kakao dan alpukat di kebunnya banyak yang mati terbakar pasir panas.
Pada Senin (4/12/2024) pagi, saat warga Hokeng Jaya harus mengungsi ke Desa Bokang, tubuh mereka penuh dengan debu. Warga Desa Boru Kedang, yang berada di radius 8-9 kilometer dari Gunung Lewotobi, mengungsi ke desa terdekat di Kabupaten Sikka.
“Saat erupsi, kami berlindung di kamar mandi, karena hanya kamar mandi yang bagian atasnya terupsi,” ujar Ito Liwu, warga Boru Kedang. Malam itu menjelang pukul 00.00 suara gemuruh erupsi bersahutan dengan suara petir.
Sekitar 20 menit kemudian, hujan pasir tiba di Boru Kedang, yang membuat Ito Liwu beserta anak istrinya harus berlindung di kamar mandi.
Priyantono Oemar