Pergi ke Kaki Lewotobi Terdampar di Puncak Kelimutu, Kok Bisa?
Seorang teman yang akan mengambil program doktoral di Australia menelepon pada 30 Desember 2024. Setelah saya beri tahu sedang berada di kaki Gunung Lewotobi di Flores Tmur, ia menyarankan pergi ke Ende untuk menikmati keindahan danau berwarna di puncak Gunung Kelimutu dan menengok rumah tempat Bung Karno dibuang.
“Tapi jalannya banyak tikungan pendek,” ujar dia yang mengaku pernah melakukan perjalanan darat dari Larantuka di ujung timur Pulau Flores hingga Labuan Bajo di ujung barat Pulau Flores. Saya bilang tak ada waktu, karena tanggal 1 Januari 2025 harus terbang ke Kupang, untuk selanjutnya pulang ke Jakarta pada 2 Januari 2025.
Tapi cuaca membuat jadwal penerbangan berantakan. Hal itu membuat kami terdampar di puncak Gunung Kelimutu di Ende dan terdampar pula di Labuan Bajo.
Pada 31 Desember 2024 dapat pemberitahuan penerbangan Larantuka-Kupang pada 1 Januari 2025 dibatalkan, dan baru ada lagi pada 3 Januari 2025. Cari informasi, ada penerbangan Maumere-Kupang pada 2 Januari 2025, sehingga penerbangan Kupang-Jakarta diajukan untuk diundur pada 3 Januari 2025.
Kami pun berangkat ke Maumere pada 31 Desember 2024, menginap semalam di Maumere, dan akan terbang ke Kupang pada 1 Januari 2025. Jadwal terbang pukul 13.50 WITA, sejak pukul 13.00 hujan lebat mengguyur Maumere.
Pada 14.30 dikabarkan bahwa keberangkatan ke Kupang ditunda hingga 5 Januari 2025. Pesawat dari Kupang yang sudah terbang ternyata balik lagi ke Kupang karena jarak pandang yang pendek.
Tak mungkin menunggu sampai tanggal 5 Januari 2025, dicari alternatif penerbangan dari Ende. Pilihannya tidak lagi Ende-Kupang, yang harus menginap semalam lagi di Kupang untuk melanjutkan penerbangan ke Jakarta, melainkan Ende-Labuan Bajo yang ada penerbangan ke Jakarta pada hari yang sama.
Ada penerbangan tanggal 2 Januari 2025 dari Ende ke Labuan Bajo, tapi sudah tidak kebagian penerbangan Labuan Bajo ke Jakarta pada hari yang sama. Adanya tanggal 3 Januari 2025, sehingga memberi kesempatan menikmati pemandangan puncak Gunung Kelimutu dan melihat rumah tempat Bung Karno dibuang Belanda pada 1934-1938.
Perjalanan ke Ende ini sudah lama saya impikan. Bahkan kami di Komunitas Jejak Republik pada 2023 sudah merancang perjalanan ke Ende dan Banda Neira, tetapi kesibukan masing-masing personel belum menyatukan jadwal yang cocok.
Gara-gara cuaca buruk menyebabkan keinginan itu terpenuhi meski dengan komunitas yang berbeda. Pada Desember 2024 ini saya sedang ikut kegiatan kemanusiaan yang diadakan oleh Posko Jenggala, 19-31 Desember 2024.
Pada 19-23 Desember 2024 menengok tempat Posko Jenggala mengadaan kegiatan kemanusiaan pada 2018 di Lombok. Pada 24-25 Desember 2024 menengok kampung eks milisi Timtim pro Indonesia di Tuapukan, tempat Posko Jenggala mengadakan kegiatan kemanusian pada 2010.
Pada 27 Desember-31 Desember 2024 mengadakan kegiatan kemanusiaan di beberapa desa dan di kamp pengungsian korban erupsi Gunung Lewotobi. Posko Jenggala sudah memulai kegiatan kemanusiaan bagi pengungsi erupsi Lewotobi pada 9-13 November 2024.
Koordinator Posko Jenggala Andi Sahrandi sebenarnya ingin pergi juga pada kesempatan itu, tapi teman-temannya banyak yang melarangnya. Pada pada kesempatan kedua, 27-31 Desember 2024, Andi berangkat, kendati ada beberapa teman yang juga mencegahnya.
Beberap temannya menginginkan Andi ikut berangkat Pulau Rempang untuk menemui korban penggusuran proyek di pulau itu. Tapi ia tak ingin menunda lagi keberangkatannya ke Flores Timur. Ia pun mendapat kiriman video teman-temannya yang sedang berada di Pulau Rempang saat ia sudah melakukan kegiatan kemanusiaan.
Pada kegiatan kemanusiaan kedua Posko Jenggala di Flores Timur, ada lima dokter dan tiga perawat yang melibatkan diri menjadi relawan. Ada Dokter Jazz Meha, Dokter Christian Kleden, Dokter Anita Lia Arsanti Marapati, Dokter Sinthia Clara Tokan, dan Dokter Elisabeth Tapowolo.
Dokter Anita Lia merupakan warga Desa Hokeng Jaya. Desa yang berada di radius 4-5 kilometer dari puncak Gunung Lewotobi ini hancur terkena semburan bola pijar dan pasir dari erupsi Lowotobi. Sedangkan Dokter Elisabeth Tapowolo adalah dokter yang bekerja di Puskesmas Boru, puskesmas yang juga terkena dampak erupsi.
Ketika melakukan pengobatan gratis di Desa Watubuku, Desa Hewa, dan Desa Pantai Oa, kami menginap di Pastoral Watubuku. Pengobatan di Pantai Oa dilakukan sore hari hingga malam, karena banyak warga yang baru bisa pulang daru kebun pukul 17.00.
Pengobatan di dua desa lagi batal diadakan karena ketika kami datang di lokasi, tak ada warga yang berkumpul. Sedangkan pengobatan di Desa Boru Kedang, Boru, dan Desa Pululera dilakukan dengan bolak-balik menginap di Larantuka.
Untuk mencapai Boru Kedang, Boru, dan Pululera harus melewati Desa Hokeng yang masih sepi karena warganya masih berada di pengungsian. Desa-desa tempat pengobatan gratis, berada di radius tujuh klimeter ke atas, warganya sudah dipulangkan dari kamp pengungsian pada 7 Desember 2024.
Saat kami berada di Watubuku, Gunung Lewotobi mengalami erupsi. Pada saat kami menuju ke Pululera, Gunung Lewotobi juga erupsi lagi. Untungnya, angin mengarah ke tempat lain.
Sehari-hari, puncak Lewotobi selalu tertutup awan, sehingga puncaknya tak terlihat dari kejauhan. Berbeda dengan puncak Kelimutu, orang berbondong-bondong untuk menyaksikan tiga danau warna di puncak Kelimutu. Danau itu terbentuk setelah erupsi pada 1886. Danau ini dikenal karena warnanya yang bisa berubah-ubah.
Penduduk lokal menamai danau itu masing-masing: Ata Bopu, yang berada paling atas. Dua danau di bawahnya disebut: Ata Polo dan Koo Fai Nuwamuri. Ata Bopu artinya orang tua, air danau ini warnanya gelap, kadang hijau tua, kadang hitam. Sedangkan Ata Polo artinya orang hantu yang dipahami sebagai orang jahat. Lalu Koo Fai Nuwamuri artinya gadis-gadis cantik.
Ketiga danau itu diyakini oleh masyarakat adat Lio sebagai tempat bersemayam para leluhur. Dan mereka juga meyakini jika kelak meninggal, arwah mereka juga akan bersemayam di sini.
Selama perjalanan trekking, beberapa warga Ende bercerita, Ata Polo menjadi tempat bersemayam orang-orang yang semasa hidupnya berbuat jahat. Sedangkan orang-oran yang mati muda akan bersemayam di Koo Fai Nuwamuri. Untuk orang-orang yang berbuat baik sepanjang hidupnya dan berumur panjang, akan bersemayam di Ata Bupu.
Penjelasan itu juga tercetak di papan publikasi yang dipasang di dekat gapura bertulisan “Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata”. Gapura ini menjadi pintu masuk ke tempat sesajen, yaitu tempat masyarakat adat Lio mengadakan ritual tahunan setiap 14 Agustus, memberikan sesajen kepada leluhur.
Secara harfiah, Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata berarti memberi makan kepada orang tua yang sudah meninggal. Kini ritual ini pemerintah daerah dijadikan sebagai bagian dari Festival Kelimutu. Bupati selalu hadir di acara ini.
Priyantono Oemar