Karena Miskin, Bung Karno Pernah tak Bayar Zakat Fitrah Menjelang Lebaran
Lebaran, menurut Bung Karno kecil, adalah hari untuk berpesta dan berfitrah. Tapi rupanya, di masa kecil itu, Bung Karno mengalami bahwa keluarganya tidak bisa melakukan keduanya.
Bung Karno kecil hidup miskin. “Kami tak pernah berpesta maupun mengeluarkan fitrah. Karena kami tidak punya uang untuk itu,” kata Bung Karno.
Bagaimana rasanya menyambut lebaran tidak bisa berpesta dan membayar zakat fitrah? Hati Bung Karno menjerit, tentu saja.
Oohya! Baca juga ya:
Tinggal di Mojokerto sejak Bung Karno berusia enam tahun, keluarga Bung Karno tinggal di daerah yang melarat. Keadaan tetangga-tetangga juga tidak berbeda dengan keluarga Bung Karno.
“Akan tetapi mereka selalu mempunyai sisa uang sedikit untuk membeli pepaya atau jajan lainnya,” kata Bung Karno.
Sukemi, ayah Bung Karno, hanya bergaji 25 gulden sebulan. Jumlah itu kemudian dipotong 10 gulden untuk pengeluaran sewa rumah. Untuk kebutuhan sehari-hari tinggal memanfaatkan sisa gaji 15 gulden.
“Di malam sebelum Lebaran sudah menjadi kebiasaan bagi kanak-kanak untuk main petasan. Semua anak-anak melakukannya dan di waktu itu pun mereka melakukannya. Semua, kecuali aku,” kata Bung Karno.
Oohya! Baca juga ya:
Kemelaratan yang me nimpa keluarga ayah Bung Karno digambakan oleh Bung Karno bahwa mereka sering makan singkong dan nasi jagung. “Kami sangat melarat sehingga hampir tidak bisa makan satu kali dalam sehari,” kata Bung Karno.
Tak mampu membeli beras, ibu Bung Karno, Idayu, memilih membeli gabah. Gabah itu lalu ditumbuk sendiri di lesung. Dengan cara ini, Idayu bisa menghemat uang satu sen, yang bisa digunakan untuk membeli sayuran.
Mendapat penjelasan dari ibunya, Bung Karno kecil kemudian rajin membantu menumbuk gabah di pagi hari sebelum berangkat ke sekolah. Di sekolah sudah mendapat pelajaran, bukan berarti di rumah bisa bebas.
Ayah Bung Karno juga merupakan guru. Dalam kemelaratan itu, ayah Bung karno mendidik anaknya dengan disiplin. “Sekalipun sudah berjam-jam, ia masih tega menyuruhku belajar membaca dan menulis,” kata Bung Karno mengenai ayahnya, Sukemi.
Hal itu, menurut Bung Karno, dilakukan karena ayahnya meyakini kelak Bung Karno akan menjadi orang. Saat Bung Karno lahir, Gunung Kelud meletus.
Orang Jawa melayikini, letusan itu meruakan sambutan atas kelahiran calon pemimpin. Maka, Sukemi tak hanya mengajari Bung Karno kecil mengenai cara membaca dan berhitung, melainkan juga mengajari tentang teosofi.
Oohya! Baca juga ya:
Di luar jam belajar di rumah, Bung Karno kecil bermain dengan alat permainan yang tidak mengeluarkan uang. Ia memanfaatkan daun kering yang jatuh dari ranting.
Daunnya lebar dan kuat. Daun itu kemudian dipakai sebagai tempat duduk. Tangkai daun yang panjang ditarik oleh yang lainnya.
Yang duduk di daun menganggap dirinya sebagai kusir. Sedankan yang menarik daun menganggap dirinya sebagai kuda.
“Permainan ini tak ubahnya seperti eretan. Kadang-kadang aku menjadi kudanya, tapi biasanya menjadi kusir. Watakku mulai berbentuk sekalipun sebagai kanak-kanak,” kata Bung Karno.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, karya Cindy Adams (1986, cetakan keempat)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]