Lincak

Adipati Pati Minta Tombak, Mengapa Kakek Sultan Agung Hanya Memberi Mata Tombak?

Panembahan Senopati, kakek Sultan Agung, tahu jika Adipati Pati akan memberontak. Ia hanya memberi mata tombak dan mengirim anak kecil untuk menghadapi Adipati Pati.

Adipati Pati mengirim utusan menghadap kakek Sultan Agung. Utusan itu menyampaikan permintaan senjata dari Adipati Pati.

Kepada utusan, sang kakek Sultan Agung, Panembahan Senopati, hanya memberikan mata tombak dengan alasan tangkainya belum jadi. Utusan Adipati Pati, pulang dengan membawa 100 mata tombak.

Patih Mandaraka tentu heran dengan tindakan raja Mataram itu. Ia tahu di Mataram ada banyak tombak, sudah lengkap dengan tangkainya, karenanya lalu bertanya mengenai alasan Senopati hanya memberi mata tombak.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Ayah Sultan Agung yang Muda yang Menjadi Raja, Anak Presiden yang Muda yang Menjadi Cawapres

Utusan itu kepada Senopati mengatakan Pati memerlukan tombak untuk menghadapi pasukan dari timur yang sedang dikerahkan untuk menyerbu Pati. Senopati tak percaya begitu saja.

Senopati selalu mengingat tindakan Adipati Pati yang meminta izin pulang lebih dulu ketika Mataram hendak menyerbu Pasuruan sehabis menaklukkan Ponorogo. Alasannya, karena Adipati Pati kangen pada istrinya.

Adipati Pati sebenarnya merasa malu telah pulang dari perang karena kangen istri. Untuk menutupi perasaan malu itu, maka ia memilih tidak akan menghadap ke Mataram lagi.

Namun, sebelum melakukan itu, ia terleih dulu mengirim utusan ke Mataram untuk meminta wilayah di sebelah utara Gunung Kendeng. Kepada Senopati, utusan itu menyampaikan alsannya, yaitu akan digunakan untuk jalan bagi orang-orang yang akan menghadap ke Mataram.

Namun, Senopati sebenarnya tahu jika wilayah di utara Gunung Kendeng itu akan digunakan oleh Adipati Pati untuk menghalangi orang-orang yang akan menghadap ke Mataram. Setelah mendapat wilayah di sebelah utara Gunung Kendeng, Adipati Demak mengirim utusan lagi untuk meminta tombak.

Oohya! Baca juga ya:

Grobogan Banjir, Desember 1955 Ada Pemilu, Mengapa Residen Semarang Kirim Perahu Motor?

Menjawab pertanyaan Mandaraka mengenai mata tombak yang diberikan kepada utusan Pati, Senopati pun memberi tahu bahwa ia sudah tahu tujuan Adipati Pati meminta tombak. Ia meminta Mandaraka agar waspada karena Pati akan memberontak kepada Mataram.

Sepulangnya utusan Pati membawa mata tombak, datang utusan dari Demak. Utusan ini melaporkan bahwa Pati telah melakukan pembangakangan kepada Mataram. Pati telah menyerang desa-desa di sebelah utara Gunung Kendeng, padahal tidak ada musuh dari timur yang menguasai desa-desa itu.

Di Pati, Adipati Pati meminta tentara Pati untuk menyerbu Mataram. “Aku mempertaruhkan nyawa. Aku minta hidup-mati kalian,” kata Adipati Pati.

Adipati Pati menyampaikan, sudah takdir jika ia harsu memusuhi Mataram. Sudah takdir pula dalam peperangannya dengan Mataram ia akan kalah yang menemui ajal, tetapi ia pantang mundur.

Mendengar hal itu, prajurit Pati pun bersetia kepada Adipati Pati. Mereka tak ingin Adipati Pati mati terlebih dulu, sehingga mereka meminta agar Adipati Pati menyerang belakangan.

Penyerangan awal akan dilakukan oleh para prajurit. Jika mereka kalah barulah Adipati Pati yang maju.

Oohya! Baca juga ya:

300 Ribu Murid SMK dari Keluarga Rentan akan Dilatih AI oleh Plan Indonesia dan Microsoft

Adipati Pati pun menerima kesetiaan para prajuritnya itu. Kepada mereka, Adipati Pati lalu membagian harta benda yang ia miliki untuk perbekalan perang.

Untuk menyambut pasukan Pati, di Mataram Senopati hanya menyiapkan putra mahkota, Pangeran Adipati Anom, untuk menyambutnya. Mandaraka mencegahnya lantaran kesaktian Adipati Pati cukup tinggi, sehingga Mandaraka meminta agar Senopati yang menghadapinya.

Namun rupanya, kakek Sultan Agung itu memiliki tujuan lain. Ia ingin membuat malu Adipati Pati karena harus berperang melawan anak-anak.

Kepada putra mahkota, Senopati meminta agar berhati-hati. Senopati memberi putra mahkota senjata tombak.

Ketika tentara Pati sudah tiba, Pangeran Adipati Anom berseru agar tentara Pati berhenti, sebab ia hanya ingin menemui pamannya, Adipati Pati, sendirian.

Oohya! Baca juga ya:

Husni Thamrin Meninggal Setelah Disuntik Dokter yang Dikirim Polisi Belanda, Ini Profil Ketua Ikatan Dokter Hindia yang Merawat Thamrin Itu

Pangeran Adipati Anom pun berjalan menuju ke pamannya yang ada di belakang barisan prajurit Pati. Tahu yang datang keponakannya, Adipati Pati menjadi marah. Adipati Pati merasa disepelekan dan dipermalukan oleh Senopati, dianggap seperti anak kecil.

“Di mana ayahmu? Kau datang ke sini, apa tugasmu?” tanya Adipati Pati.

Pangeran Adipati Anom menyebut jika ayahnya masih di belakang. Ia ditugasi untuk menyambut kedatangan Adipati Pati sekaligus menanyakan tujuannya datang di Mataram dengan pasukan besar.

Adipati Pati pun meminta Pangeran Adipati Anom untuk pulang, meminta Senopati datang menyambutnya, karena ia tidak akan pernah mundur. PAngeran Adipati Anom menolak pulang dan menyatakan mendapat tugas melayani Adipati Pati, jika masih nekat meneruskan perjalanan ke keraton.

Adipati Pati semakin marah harus menghadapi anak kecil. Maka, ia pun meminta lagi Pangeran Adipati Anom pulang, karena yang layak berperang melawan Adipai Pati adalah Senopati.

Mendengar pernyataan itu, Pangeran Adipai ANom pun langsung mengambil tombak, lalu menusukkannya ke tubuh Adipati Pati. Adipati Pati kaget.

Oohya! Baca juga ya:

Digunjing karena Pinjol, Ternyata ITB Miliki Alumni Presiden dan Musuh Soeharto serta Anggota PMB

“Inikah yang dinamakan anak? Ternyata kau tak mau diperlakukan baik-baik. Sudah, pulanglah,” kata Adipati Pati.

Tak peduli dengan perkataan Adipati Pati, Pangeran Adipati Anom terus menusukkan tombaknya bertubi-tubi. Kesal dengan tindakan keponakannya, Adipati lalu mengambil tombak, ujung tangkai tombak ia sodokkan ke tubuh keponakan hingga tersungkur.

Mendengar Adipati Pati tega melawan anak kecil, Senopati bertanya kepada istrinya. Istri Senopati mengaku jika adiknya, Adipati Pati, benar-benar telah jahat terhadap putra mahkota, ia rela akan kematian adiknya.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Babad Tanah Jawi Jilid II, penerjemah Amir Rokhyatmo, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari ”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
oohya.republika@gmail.com