Lincak

Pajak Gerbang Tol Memicu Aksi Kejahatan, Perang Diponegoro Mendapat Dukungan dari Para Penjahat

Rakyat menjadi sengsara akibat pemungutan pajak gerbang tol. Hal itu memicu aksi kejahatan. Ketika pecah perang, Diponegoro mendapat dukungan dari para penjahat.

Sebelum pecah Perang Diponegoro, kondisi desa di Jawa sangat memprihatinkan. Para penjahat beraksi di berbagai tempat melakukan perampokan, pembunuhan, tanpa ada tindakan hukum.

“Kegiatan-kegiatan hari-harian para petani setempat berlangsung di bawah pengawasan ketat mata-mata para penjaga gerbang-gerbang tol yang ditempatkan pada setiap desa dan pada setiap jalan desa untuk mencegah terjadinya penghindaran pembayaran kewajiban-kewajiban pajak,” tulis Peter Carey.

Aksi kejahatan itu muncul akibat pajak yang mencekik rakyat, sehingga rakyat benar-benar tidak memiliki apa-apa lagi. “Di antara penduduk desa yanag memberikan pertolongan kepada Diponegoro, terdapat orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa pun lagi untuk mereka makan,” tulis Pangeran Mangkuningrat.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Di Depan Sultan, Diponegoro Menendang Komandan Pasukan Keraton Yogyakarta, Ada Kaitan dengan Pemungut Pajak?

Pada 1811, jumlah gerbang tol di Yogyakarta, misalnya, hanya 34 gerbang utama dan sekitar 70 gerbang kecil. Pada 1821 gerbang tol mencapai 45 gerbang utama dan 106 gerbang kecil, dan 187 pos pasar.

Kenaikan itu terjadi setelah Belanda merampas pajak-pajak yang dipungut dari gerbang-gerbang tol itu. Tinggi rendahnya pajak barang yang dipungut di gerbang tol itu tergantung masing-masing daerah.

Di Ampel, misalnya, beras sepikul kena pajak di gerbang tol sebesar 40 sen. Tapi beras sepikul di Surakarta, di gerbang tol Sala-Salatiga dikenai pajak 15 sen.

Di Ponorogo lebih kecil lagi. Beras sepikul kena pajak delapan sen. Di Puger Waru, daerah Pacitan, beras sepikul dikenai pajak dua sen.

Jika yang lewat membawa barang itu adalah pedagang-pedagang Cina, pajaknya tiga kali lipat dari yang dikenakan kepada orang Jawa. Gerbang-gerbang tol itu disewakan pengelolaannya dan biasanya orang-orang Cina yang mengelolanya.

Bagaimana pemungutan pajak dilakukan di gerbang-gerbang tol itu? Para petani akan menunggu berjam-jam sebelum barang bawaannya diperiksa.

Selama mereka menunggu, mereka akan ditawari candu. Candu dijual eceran di gerbang-gerbang tol.

Oohya! Baca juga ya: Ramai Pajak Hiburan 40-70 Persen, Diponegoro Menghukum Cambuk Pemungut Pajak

Bahkan ada kalanya, selama menunggu itu mereka bisa bermalam di gerbang tol. Maka, pemungut pajak akan memberi hiburan kepada mereka berupa para penari dan bermain judi.

Pemungut pajak akan membentak dan mengancam mereka yang mau lewat itu agar menyerahkan sejumlah barang untuk mendapat izin lewat. Para petani yang mau lewat itu pun menunggu belas kasihan pemungut pajak di gerbang tol itu.

“Ampun Tuan, keluarga saya miskin, Tuan,” tulis Peter Carey.

Meski sudah memelas-melas, tetap tak ada ampun bagi mereka. Jika penolakanannya makin kuat, barang bawaannya justru akan dirampas semuanya.

Pajak tol ini tak hanya diberlakukan kepada rakyat kecil. Pejabat pun kena pajak tol.

Bupati Nganjuk mengaku lebih berani berhadapan dengan harimau daripada harus berhadapan dengan pemungut pajak di gerbang tol. Para pemungut pajak di gerbang tol sepanjang jalan raya Nganjuk-Surakarta ia sebut sebagai tukang pukul bermuka bulus.

Oohya! Baca juga ya: Film Siksa Neraka Ditolak Malaysia, Film Tiga Dara Dulu Sukses di Malaysia

Bahkan, saking kejamnya para pemungut pajak itu, ia tetap akan memungut pajak kepada orang yang mau lewat kendati tidak membawa barang. Maka, muncullah istilah pajak bokong (pajak pantat).

Maka, para penjahat yang bergabung dalam pasukan Perang Diponegoro, membantu Dipoengoro dengan cara mereka sendiri. Para pejabat yang marah kepada oang-orang Cina pemungut pajak di gerbang tol juga bergabung mendukung Perang Diponegoro karena kemarahannya itu.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Orang Jawa dan Masyarakat Cina (1755-1825) karya Peter Carey (1986)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Siapa Pakualam, Pangeran Yogyakarta yang Mendapat Hadiah Tanah di Grobogan dari Raffles?

Image

Di Grobogan Ada Tanah yang oleh Raffles Dihadiahkan kepada Pakualam