Lincak

Di Depan Sultan, Diponegoro Menendang Komandan Pasukan Keraton Yogyakarta, Ada Kaitan dengan Pemungut Pajak?

Diponegoro menendang Wiroguno, komandan pasukan Keraton Yogyakarta, di depan Sultan Hamengkubuwono IV. Ada masalah apa?

Diponegoro menjewer telinga Tumenggung Wiroguno. Tak hanya itu, Diponegoro pun menendang komandan pasukan keraton itu.

Diponegoro melakukannya di depan Sultan Hamengkubuwono IV. Saat itu, Tumenggung Wiroguno dipanggil untuk urusan pengangkatan 60 pemungut pajak yang gajinya diambil dari pajak yang dipungut itu.

Tumenggung Wiroguno dan Patih Danurejo sangat patuh Residen Yogyakarta Nahuys. Mereka membuat surat pengangkatan 60 pemungut pajak lalu meminta Sultan Hamengkubuwono IV membubuhkan cap.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Penurun Raja-Raja Mataram Versi Diponegoro, Kedua Orang Tua Ki Ageng Selo di Grobogan Meninggal Bersamaan

Kepada Hamengkubuwono IV disampaikan jika para pangeran dan bupati sudah menyetujui. Residen Nahuys juga sudah mengizinkan. Atas dasar itulah Hamengkubuwono IV membuhukna capnya.

Namun, Diponegoro menerima keluhan dari para pangeran dan bupati. Mereka belum diajak bicara mengenai pengangkatan pemungut pajak yang mereka nilai akan menambah kesengsaraan rakyat itu.

Diponegoro pun lalu menanyakan hal itu kepada Hamengkubuwono IV, yang merupakan adiknya sendiri. Hamengkubuwono IV dinobatkan menjadi sultan ketika berusia 10 tahun dan Pakualam ditunjuk sebagai walinya.

Hamengkubuwono IV sejak kecil tidka pernah lepas dari Diponegoro. Namun, ketika perwalian Pakualam sudah selesai, Hamengkubuwono IV lebih banyak dapat pengaruh dari Danurejo dan Wiroguno.

Dari Danurejo dan Wiroguno pula Hamengkubuwono IV mengenal pesta-pesta ala Barat dengan mauk-mabukan. Resah dengan kelakuan Sultan yang mendapat pengaruh buruk dari Danurejo dan Wiroguno, para pangeran dan bupati melapor kepada Diponegoro.

Oohya! Baca juga ya:

Ramai Pajak Hiburan 40-70 Persen, Diponegoro Menghukum Cambuk Pemungut Pajak

“Ini ada masalah apa? Ibu kenapa tidak memberi tahu saya? Menyusahkan semua orang,” tanya Diponegoro ketika tiba di keraton bertemu dengan sang ibu.

Sang ibu mengaku tidak mengetahui adanya kesepakatan yang dibuat Danurejo dan Wiroguno serta Residen dalam hal pengangkatan pemungut pajak. Diponegoro pun lantas menanyakan keberadaan Sultan, adiknya.

Mendapat informasi mengenai keberadaan Hamengkubuwono IV, Diponegoro pun segera menghampirnya di bangsal panggung. Lalu ia menanyakan pengangkatan pemungut pajak.

Hamengkubuwono IV pun menjawab pengangkatan pemungut pajak itu atas usul Danurejo dan Wiroguno, karena petugas yang ada tidak mencukupi. Ia menyetujui karena katanya sudah atas persetujuan Diponegoro juga.

“Itu pasti menipu,” kata Diponegoro. “Sultan, kalau kau tidak tahu, menurut perasaanku itu sangat kelewat durjana. Pada akhirnya besok akan membuat kesusahan pada rakyat kecilnya,” lanjut Diponegoro.

Diponegoro membuat perumpaan mengenai kesengsaraan yang akan ditimbulkan. Para pemungut pajak itu, jika tidak mengeruk hasil bumi pasti akan mengeruk gunung.

Oohya! Baca juga ya:

Film Siksa Neraka Ditolak Malaysia, Film Tiga Dara Dulu Sukses di Malaysia

Karenanya, ia meminta Hamengkubuwono IV membatalkannya. “Sudah telanjur itu. Cap saya ini sudah dipakai untuk mengecap surat perintah kepada desa-desa,” jawab Sultan.

“Sultan, cabutlah. Undanglah Wironegoro,” kata Diponegoro.

Ketika Wironegoro, komandan pasukan keraton, menghadap di keraton Yogyakarta, Hamengkubuwono IV langsung memarahinya. Wironegoro dianggap telah berbohong jika pengangkatan 60 pemungut pajak sudah disetujui para pangeran dan bupati, termasuk Diponegoro.

Wironegoro hanya bisa menunduk. Ketika Hamengkubuwono IV meminta suratnya dikembalikan, Wironegoro menjawab bahwa surat sudah dikirim ke Residen, tak mungkin ia mengambilnya.

“Bagaimana menjawabnya? Dalam kitab juga berbunyi demikian, nasi kalau sudah ditelan ya sudah salam. Kalau raja sudah berkata, tidak dapat dikembalikan ucapannya,” kata Wiroguno.

Oohya! Baca juga ya:

Tahun-Tahun Kekalahan Diponegoro dari Belanda

Mendengar kelancangan itu, Diponegoro marah. Ia lalu menjewer telinga Wiroguno dan kemudian menendangnya dengan keras.

“Hai, kau Mukidin. Caramu menasihati dari kitab yang kau sembunyikan, kau lebih bisa. Orang banyak tidak ada yang mengetahui, baik-buruk kamu yang tahu,” bentak Diponegoro.

Diponegoro pun meminta ketegasan dari Hamengkubuwono IV. Jika keputusan pengangkatan pemungut pajak itu berasal dari Sultan itu terjadi karena sudah tertulis di lauh mahfud. Tapi jika itu atas ide orang lain, setan yang melakukannya.

Sultan Hamengkubuwono IV mengulang kembali jawabannya yang sudah diberikan kepada Diponegoro sebelumnya. Bahwa pengangkatan pemungut pajak itu merupakan ide dari Danurejo dan Wiroguno, komandan pasukan keraton Yogyakarta, yang katanya sudah disetujui Diponegoro.

“Itu sudah jelas kalau setan membuat rencana, kitab sebagai pelindung,” kata Diponegoro.

“Kalau kau masih berani, mengenai kitab itu aku ingin mengetahui,” kata Sultan Hamengkubuwono IV kepada Wiroguno mengenai kitab rujukan Wiroguno. Wiroguno diam seribu bahasa.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Babad Dipanegara karya Diponegoro, penerjemah Gunawan dkk (2016)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Siapa Pakualam, Pangeran Yogyakarta yang Mendapat Hadiah Tanah di Grobogan dari Raffles?

Image

Di Grobogan Ada Tanah yang oleh Raffles Dihadiahkan kepada Pakualam