Kendeng

Penurun Raja-Raja Mataram Versi Diponegoro, Kedua Orang Tua Ki Ageng Selo di Grobogan Meninggal Bersamaan

Ki Ageng Selo, menurut Diponegoro, sewaktu muda bernama Raden Seloroso. Menjadi penurun raja-raja Mataram.

Bondan Kejawan di kemudian hari juga berjuluk sebagai Ki Ageng Tarub II, karena juga tinggal di Tarub, Grobogan. Dengan Dewi Nawangsih, ia memiliki anak, salah satunya adalah Raden Getas, yang kelak berjuluk Ki Ageng Getas Pandhowo.

Menurut Diponegoro dalam babad yang ia tulis, Ki Ageng Getas Pandhowo memiliki anak bernama Raden Seloroso yang jelak berjuluk Ki Ageng Selo dan menjadi penurun raja-raja Mataram. Diponegoro juga menggambarkan betapa hancur hati Seloroso ketika kedua orang tuanya meninggal dalam waktu bersamaan.

Raden Getas diceritakan dipaksa menikah denganputri pandito Sekarlampir. Setelah acara pernikahan, Bondan Kejawan anak Raja Majapait yang dibuang ke Grobogan, meninggal dunia.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Ramai Pajak Hiburan 40-70 Persen, Diponegoro Menghukum Cambuk Pemungut Pajak

Raden Getas lantas menggantikan posisi ayahnya. Dari pernikahannya itu, Ki Ageng Getas Pandhowo memiliki anak bernama Raden Seloroso.

Raden Seloroso disebut Deponegoro sebagai anak muda tampan dan rajin bersedekah. Ia dinikahkan dengan putri pandito Selobentar.

Aktivitas sedekahnya membuat Raden Seloroso memiliki banyak pengikut. Suatu hari Ki Ageng Getas Pandhowo yang sudah sangat tua itu memanggil Raden Seloroso.

“Aku ini sudah tua, hampir kembali ke pangkuan Ilahi. Pesanku, orang hidup di dunia ini hati-hatilah dari godaan iblis. Di dunia ini jangan berhenti engkau berprihatin,” kata Ki Ageng Getas Pandhowo.

Ki Ageng Getas Pandhowo pun memberikan petunjuk menjalani hidup, berupa sastra tigang dasa (sastra tiga puluh). Ini merupakan ajaran kehidupan untuk mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa.

Mungkinkah sastra tiga puluh yang dimaksud Diponegoro ini Alquran 30 juz? Entahlah. Dipoengoro tidak memberikan penjelasan di babadnya.

Salah satu yang disampaikan kepada Raden Seloroso adalah jangan berhenti melakukan sembahyang (shalat). Baik siang maupun malam. “Persembahkan hatimu di hadapan Ilahi,” kata Ki Ageng Getas Pandhowo.

Oohya! Baca juga ya: Film Siksa Neraka Ditolak Malaysia, Film Tiga Dara Dulu Sukses di Malaysia

Kehidupan di dunia, diibartkan seperti sampah yang mengambar di air, hanyut sampai lautan. “Serahkanlah dirimu, mengalirlah kepada Ilahi. Jangan hanyut oleh hawa nafsu,” lanjut Ki Ageng Getas Pandhowo.

Agar tidak hanyut oleh hawa nafsu, Raden Seloroso diminta untuk selalu waspada dengan menggunakan kemampuan indera yang dimiliki: penglihatan, penciuman, pendengaran, dan pengucapan. “Semua itu kembalikan kepada Yang Satu,” kata Ki Ageng Getas Pandhowo.

Mendapat pencerahan dari ayahandanya, Raden Seloroso mengaku semakin jernih hatinya. Ia berharap ilmunya itu mendapat ridho dari Allah SWT dan mendapat syafaat dari Nabi.

“Semoga saya bisa menjalannya dengan benar, jauh dari tindakan durhaka,” kata Raden Seloroso kepada ayahandanya.

“Baik anakku, kuamini. Kudoakan semoga diberkahi Ilahi, diberi pertolongan dan syafaat Nabi di dalam anakku menjalankan tugas,”Ki Ageng Getas Pandhowo.

Ki Ageng Getas Pandhowo pun meminta Raden Seloroso pulang, sembari berpesan agar selama 100 hari ke depan tidak mdatang menengok. Baik Seloroso maupun istrinya, tidak boleh datang menengok selama waktu itu.

Setelah 100 hari, Raden Seloroso diminta tidak kaget setelah melihat kenyataannya. Meski pulang dengan hati gembira, Raden Seloroso menyimpan rasa waswas juga akan ditinggalkan untuk selama-lamanya oleh ayahandanya.

Oohya! Baca juga ya:

Tahun-Tahun Kekalahan Diponegoro dari Belanda

Setelah 100 hari, kilat bersahutan. Gempa terjadi tujh kali dalam sehari. Matahari tidak terlihat.

Orang Tarub sudah menggelar tikar seperti hendak mengadakan kenduri. Tangis pun pecah, setelah mengetahui Ki Ageng Getas Pandhowo sudah meninggal dunia dengan cara muksa. Sang ibu pun pingsan, lalu juga meninggal dunia.

“Raden Seloroso sangat remuk hatinya, menyesal tidak dapat berbicara, duni atampak tinggal sejengkal luasnya, keluarga tua ikut merasakan sedihnya,” tulis Diponegoro menggambarkan kesedihan yang dialami Ki Ageng Selo.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Babad Dipanegara karya Diponegoro (2016)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
oohya.republika@gmail.com

Berita Terkait

Image

Bupati Grobogan dan Orang-Orang Cina Serang Belanda, Begini Triknya

Image

Orang Islam Miskin Jadi Sasaran Kristenisasi di Grobogan Sejak Akhir Abad ke-19

Image

Mengapa Grobogan Jadi Sasaran Kristenisasi Zending Salatiga?