Lincak

Betapa Diponegoro Merasa Terhina Jika Harus Menyembah Raja Hamengkubuwono V yang Masih Balita

Pangeran Diponegoro menolak tawaran naik tahta menggantikan Sultan Hamengkubuwono IV yang meninggal. Tapi ia juga keberatan jika yang naik tahta adalah anak balita.

Diponegoro menjadi sasaran fitnah dari Patih Danurejo sebagai pihak yang menyebabkan Sultan Hamengkubuwono IV meninggal dunia. Anak Hamengkubuwono IV yang masih balita kemudian diangkat menjadi raja, bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono V.

Hamengkubuwono IV meninggal pada 6 Desember 1822 ketika sedang makan. Maka, kuat dugaan ada yang meracuni makanannya.

“Peristiwa tersebut tidak pernah terungkap secara tuntas. Kemudian secara diam-diam, kelompok Danurejo-Wironegoro menyebarkan tuduhan bahwa Diponegorolah dalang pembunuhan ini,” tulis Saleh As’ad Djamhari.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Sebelum Hamengkubuwono IV meninggal, memang terjadi perselisihan antara Hamengkubuwono IV dan Diponegoro. Perselisihan itu berkaitan dengan penyewaan tanah.

Oohya! Baca juga ya: Sultan Hamengkubuwono V yang Masih Balita Membuka Peluang Penguasa Belanda Menginjak-injak Orang Jawa

Pengaruh buruk dari Residen Yogyakarta dan Patih Danurejo membuat Hamengkubuwono IV bersedia menyewakan tanah kerajaan. Diponegoro meminta pembatalan, tetapi tidak didengarkan oleh adiknya itu.

Dari Diponegoro pun terlontar pernyataan putus asa. Jika tidak mengikuti nasihatnya dan lebih memilih nasihat Danurejo, Diponegoro tidak mau tahu lagi urusan keraton.

Setelah pertengkaran itu, Hamengkubuwono IV melakukan perjalanan ke tempat peristirahatan. Pada 6 Desember 1822 sore, ia pulang ke keraton, lalu makan. Mendadak tubuhnya bengkak, yang dijadikan petunjuk bahwa ia sudah keracunan.

Tapi dugaan ini susah dibuktikan sekarang, karena tidak ada sumber-sumber kuat yang menyebut penyebab kematiannya adalah racun. Pemerintah kolonial juga tidak melakukan penyelidikan benar tidaknya ia meninggal karena diracun.

Tubuh Hamengkubuwono IV memang gemuk. “Kegemarannya makan makanan berbumbu, serta sikapnya yang selalu memaksakan diri naik ke sadel kuda, telah memberinya serangan jantung pada usia yang masih sangat belia, 18 tahun,” tulis Peter Carey.

Oohya! Baca juga ya: Starbucks Masih Diboikot Gara-gara Israel, Pelanggan Bisa Mengadukan Barista ke Seatle

Hamengkubuwono IV sering berpesta. Pejabat-pejabat Belanda memiliki pengaruh gaya hidup barat yang dijalani Hamengkubuwono IV.

“Ia adalah raja pertama yang menjadi korban gaya hidup kebarat-baratan yang melanda keraton-keraton Jawa selatan-tengah pasca-1816,” kata Peter Carey.

Yang dipikirkan pemerintah kolonial bukan penyebab kematian Hamengkubuwono IV, melainkan pengganti Hamengkubuwono IV. Pakualam I yang menjadi wali sultan semasa Hamengkubuwono IV belum dewasa, dimasukkan oleh Belanda ke dalam daftar calon sultan, tetapi ditolak oleh Ratu Ageng.

Residen Yogyakarta lalu meminta Diponegoro naik tahta. Diponegoro menolaknya. Namun jika yang naik tahta adalah Raden Mas Menol yang masih berusia dua tahun, Diponegoro juga keberatan dengan beberapa alasan.

“Pertama, ia dianggap tidak memenuhi syarat sebagai sultan karena masih berusia dua tahun, sedangkan syarat seseorang untuk menjadi sultan adalah sudah menikah,” tulis Saleh As’ad Djamhari.

Alasan kedua yang disebut Diponegoro adalah faktor keturunan. Raden Mas Menol adalah anak Hamengkubuwono IV dari Ratu Kencono, anak Patih Danurejo.

Leluhur mereka adalah Untung Suropati, budak Kompeni yang diberi kedudukan sebagai adipati Pasuruan oleh Amangkurat II. Dengan demikian, RM Menol merupakan anak yang lahir dari ‘perkawinan pinggir’.

Apa yang dimaksud dengan perkawinan pinggir? “Yaitu perkawinan antara raja dengan budak atau keturunan budak, di mana termasuk perkawinan yang dianggap tidak sah,” tulis Saleh As’ad Djamhari.

Oohya! Baca juga ya: Mengenal Untung Suropati, Pahlawan Nasional yang Membantu Amangkuat II Membunuh Kapten Tack Ini Semula adalah Budak

Namun, alasan keberatan dari Diponegoro ini tidak menggugurkan pengangkatan RM Menol menjadi Hamengkubuwono V. Bahkan Diponegoro kemudian ditunjuk oleh Belanda menjadi wali sultan.

Meski sempat menolak penunjukan ini, pada akkhirnya Diponegoro menerimanya dengan berat hati. Pada hari penobatan sultan, Diponegoro tidak sanggup menandatangani surat pengangkatannya sebagai wali sultan.

Diponegoro mengaku tidak bisa membaca dan menulis sehingga tidka membubuhkan tanda tangan di surat itu. Pakualam I pun memandang sinis Diponegoro.

Tentu saja, pengakuan tidak bisa membaca dan menulis adalah dalih Diponegoro sebagai bentuk protes. Dalam pandangan orang Jawa, kata Saleh As’ad Djamhari, sultan adalah penguasa tertinggi yang ditakdirkan oleh Tuhan karena menerima wahyu kerajaan.

Oohya! Baca juga ya: Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Resmi Sidang Umum UNESCO, Bahasa Ini Lahir karena Tabrani Tersinggung oleh Belanda

Tata krama keraton mewajibkan semua pangeran menyembah sultan di setiap acara resmi. “Diponegoro tidak dapat menerima perlakuan itu. Ia merasa terhina karena harus menghormat (nyembah) seorang bocah berusia dua tahun yang lahir dari perkawinan pinggir,”tulis Saleh As’ad Djamhari.

Saleh As’ad Djamhari mengutip kisah di dalam Babad Diponegoro. Diponegoro menahan rasa malunya.

“Kang ginagas mung lingsemnya, dene ora katon janmi, kinaryo wakiling bocah (yang terpikir olehnya hanya rasa dipermalukan, tidak dihormati sebagai manusia disuruh ‘menyembah’ anak-anak),” tulis Saleh As’ad Djamhari.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
- Strategi Menjinakkan Diponegoro karya Saleh As’ad Djamhari (2014)
- Takdir karya Peter Carey (2014)

Berita Terkait

Image

Satu Pesantren di Grobogan Jadi Kristen, Cucu Sang Kiai Kelak Jadi Pendeta

Image

Banyak Warman Jadi Raja di Indonesia Dulu, Siapa Mereka?

Image

Kenapa Ada Banyak Raja Bernama Warman di Indonesia Zaman Dulu?