Lincak

Sultan Hamengkubuwono V yang Masih Balita Membuka Peluang Penguasa Belanda Menginjak-injak Orang Jawa

Pangeran Diponegoro menyingkir dari keraton penguasa Belanda tidak menghargainya.

Gerret Pieter Rouffaer disebut Peter Carey sebagai “sejarawan yang pandangannya cukup mendalam tentang Kesultanan Yogyakarta”. Rouffaer bertanya, “Mengapa harus menobatkan seorang balita berusia dua tahun di tahta keraton hanya karena ia lahir dari seorang istri resmi?”

Paman Hamengbuwono V, yaitu Pangeran Diponegoro, ditunjuk sebagai wali sultan bersama Mangkubumi. Rouffaer pun menyesalkan perlakuan Residen Yogyakarta terhadap Diponegoro.

“Mengapa penguasa Belanda tidak menghormati hak-hak Pangeran Diponegoro sebagai putra tertua Sultan Hamengkubuwono III, hak yang semestinya pantas ia gunakan untuk dihormati sebagai paman tertua dan wali Sultan Hamengkubuwono V?” tanya Rouffaer.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Setelah Hamengkubuwono IV meninggal pada 3 November 1822, putranya dari permaisuri naik tahta pada 19 Desember 1822, bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono V. Usianya masih dua tahun.

Oohya! Baca juga ya: Hamengkubuwono IV Wafat pada 3 November 1822, Diponegoro Memarahi Residen Yogyakarta dan Ditipu Ratu Ageng

Diponegoro hadir dalam penobatan itu, namun ia memendam kecewa karena merasa terhina. “Ketika disumpah sebagai wali sultan, ia sampai-sampai tanpa sadar merobek pakaian resminya (kampuh) dan tak mampu menuliskan namanya atau membubuhkan capnya pada dokumen perwalian,” tulis Peter Carey, sejarawan yang cukup lama melakukan penelitian tentang Diponegoro.

Tapi, kekesalan Diponegoro ini menurut Peter Carey tidak sejalan dengan bukti sejarah yang ada. Sebab, Diponegoro tetap menjalankan tugasnya sebagai wali sultan dan di bagian lain dari babad yang ia tulis menyatakan ia rela tidak menjadi sultan.

Namun, kekesalannya terhadap pengangkatan sultan balita “terpuaskan” setelah Gunung Merapi meletus. Ia menganggap alam marah terhadap pengangkatan sultan yang masih balita itu.

Sembilan hari setelah penobatan Hamengkubuwono V, Gunung Merapi meletus. Pagi-pagi buka pada Ahad, 28 Desember 1822, masyarakat Yogyakarta dikagetkan oleh gempa besar yang disusul oleh letusan Gunung Merapi.

Hujan debu dan pasir menimpa Yogyakarta.Tiga desa di wilayah Kedu hancur. “Itulah letusan terburuk yang masuk dalam ingatan warga, setelah terakhir kali terjadi pada tahun 1772,” tulis Peter Carey.

Oohya! Baca juga ya: 15 November, Ini Cerita Kiai Sadrach Penginjil Sesat yang Sukses Mengkristenkan Orang Jawa

Peristiwa Merapi meletus setelah penobatan sultan balita meningkatkan kembali harapan munculnya ratu adil. “Dalam ramalan Joyoboyo, datangnya Ratu Adil Jawa digambarkan selalu didahului oleh hujan abu, gempa bumi, kilat petir, halilintar, hujan deras, angin kencang, gerhana matahari dan bulan,” tulis Peter Carey mengutip JAB Wiselius yang menulis Joyoboyo pada 1892.

Pada saat Gunung Merapu meletus, Diponegoro sedang berada di Tegalrejo. Dari pekarangan rumah, ia melihat Gunung Merapi sednag terbakar. “Pangeran melukiskan betapa dia tersenyum dalam hati karena tahu peristiwa ini merupakan pertanda kemurkaan Allah,” tulis Peter Carey.

Sebenarnya Diponegoro menyimpan konflik dengan Ratu Kencono, ibu dari Hamengkubuwono V, dan dengan Ratu Ageng, nenek dari Hamengkubuwono V. Itulah sebabnya, meski menjadi wali sultan, ia tidak diizinkan menduduki singgasana di acara-acara kerajaan.

Sebanyak lima kali acara garebeg puwasa, Residen Yogyakarta Smissaert, diminta oleh Ratu Ageng dan Ratu Kencono untuk duduk di singgasana. Di singgasana itu, ia menerima sembah sungkem dari para bupati, hal yang dianggap Diponegoro sebagai penghinaan terhaap martabat orang Jawa.

Smissaert tentu saja senang dengan tugas ini. Ia bisa bertindak korup untuk menumpuk keuntungan sebelum memasuki masa pendiun. Ia bisa mengambil keputusan atas nama Sultan Yogyakarta, tanpa perlu melibatkan Diponegoro dan Mangkubumi.

Namun, Smissaert gagal memahami tindakan Diponegoro yang mulai menarik diri dari urusan keraton dan terhenyak ketika terjadi Perang Jawa. Sejak Februari 1824, Diponegoro benar-benar putus hubungan dengan keraton.

“Paman, saya meninggalkan Yogyakarta karena saya merasa tidak dianggap lagi oleh orang-orang Eropa dan oleh Danurejo,” kata Diponegoro kepada Kiai Mojo di Selarong pada Agustus 1825.

Sebelum meninggalkan keraton, Diponegoro sempat marah karena Bupai Sukowati Kertodirjo II dan Penghulu Kiai Rahmanudin dipecat. Pengganti Kiai Rahmanudin dianggap Diponegoro tidak memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai Alquran.

Oohya! Baca juga ya: Jepara yang Pernah Dipimpin Ratu Kalinyamat Dapat Kapal dari Mana untuk Bisa Serang Portugis di Malaka? Penulis Portugis Tome Pires Tahu

“Sekarang berhentilah untuk terus-menerus mencari masalah. Jika Pangeran ini mengubah ini semua, Pangeran hampir pasti tidak bisa melakukannya; jika bisa, Pangeran tidak akan berani; jika berani pun, Pangeran tidak bakal mampu melakukannya,” kata Ratu Ageng kepada Diponegoro.

Pengganti Smissaert, Van Sevenhoven, menilai penggantian bupati Sukowati dan penghulu keraton itu sebagai tindakan sewenang-wenang dan korup. Smissaert dianggap telah melakukan jual beli jabatan, pemecatan pejabat-pejabat resmi, dan penggelapan uang keraton, ketika Hamengkubuwono V yang balita itu belum bisa apa-apa.

Ketika pecah Perang Jawa, Sultan Sepuh Hamengkubuwono II kembali bertahta pada 1826-1828.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Takdir karya Peter Carey (2014)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Arus Balik Pramoedya tentang Sultan Demak yang Meninggal karena Permalukan Anak Buah

Image

Majapahit Runtuh Akibat Serbuan Demak? Tindakan Sultan Trenggono Menjawabnya

Image

Bawa 40 Ribu Prajurit Serang Blambangan, Sultan Demak Meninggal Akibat Permalukan Anak Buah