Amangkurat II Heran Komandan Prajurit Kompeni yang Datang Menghadap Hanya Berdiri dengan Mengempit Topi
Susuhunan Amangkurat II mengutus pembantunya pergi ke Batavia untuk meminta bantuan kepada Kompeni. Namun, ketika Komandan Prajurit Kompeni menghadap dengan cara berdiri sambil mengempit topi, Amangkurat II merasa heran.
Amangkurat II segera meminta bantuan kepada Kompeni setelah ia mengangkat dirinya sebagai raja baru menggantikan Susuhunan Amangkurat I yang telah meninggal. Amangkurat I telah berwasiat agar ia meminta bantuan kpada Kompeni untuk memerangi Trunojoyo yang bersekutu dengan Karaneg Gelsong.
Awalnya, Amangkurat II yang semula bernama Pangeran Anom ingin naik haji dan belum bersedia meniadi raja. Namun setelah bermimpi kejatuhan tujuh rembulan, ia berubah pikiran. Ia batalkan rencana pergi ke Makkah dan menetapkan dirinya sebagai raja Maratam.
Oohya! Baca juga ya: Jangan Heran Jika Si Mawar dan Si Manis Jadi Anggota Parlemen Aceh di Abad ke-17, Ini Kata Hamka Setelah Mengetahui Perjuangan Cut Nyak Dien
Di Batavia, utusan yang dikirim Amangkurat II disambut dengan tembakan meriam. Dikiranya yang datang adalah raja Mataram. Kepada Gubernur Jenderal, utusan raja segera mengutarakan tujuannya datang di Batavia.
Ia menyampaikan pesan Amangkurat II untuk meminta bantuan. Gubernur Jenderal mengatakan, sebelum diminta pun dia sudah berniat mengirim bantuan.
Gubernur Jenderal telah menyiapkan 1.800 prajurit yang akan dikirim ke Mataram. Sebanyak 1.000 prajurit merupakan orang Makassar, Ambon, Ternate, Bugis dan 800 prajurit lagi merupakan orang Belanda.
Gubernur Jenderal menunjuk Amral Elduwelbeh menjadi komandannya. Ia akan dibantu oleh Kapten Karaeng Naba dan Karaeng Kadangrang.
Gubernur Jenderal juga telah menyiapkan pakaian kebesaran yang cukup banyak untuk raja Mataram. Bersama para prajurit Belanda, utusan Amangkurat II kembali dengan naik kapal. Amangkurat II menunggunya di Tegal.
Oohya! Baca juga ya: 15 November, Ini Cerita Kiai Sadrach Penginjil Sesat yang Sukses Mengkristenkan Orang Jawa
Amangkurat II tidak hanya mengirim utusan ke Batavia. Ia juga mengirim utusan ke Nusa Kambangan untuk mencari bunga wijayakusuma. Bunga didapat, Amangkurat II girang, karena merasa kehendaknya menjadi raja adalah juga kehendak Yang Kuasa.
Namun, Amangkurat II merasa heran ketika prajurit dari Batavia telah tiba, komandannya, Amral (Admiral) Elduwelbeh, tidak menghadap dengan cara duduk bersila. Ia tetap berdiri tegak dengan mengempit topi.
Ia pun bertanya kepada Mandaraka, utusan yang ia kirim ke Batavia. “Begitulah Gusti, cara orang Belanda memberi hormat. Berdiri dengan mengempit topi,” jawab Mandaraka.
Bupati Tegal Tumenggung Martalaya yang tidak mendengar percakapan Amangkurat II dengan Mandaraka segera mendekati Amral Alduwelbeh. Ia lalu mencengkeram leher Amral Elduwelbeh.
“Hai Kafir, segera bersilalah. Apa kamu tidak tahu jika kamu sedang berhadapan dengan Raja Mataram? Jangan kurang ajar,” kata Martalaya.
Amral Elduwelbeh hanya bisa tengok kanan kiri. Mayor Wilhelm yang mendampinginya segera memegang pedang dan memelintir kumisnya.
Martalaya melihat gerak-gerik Mayor Wilhelm. “Ayo, tarik pedangmu. Saya ladeni,” teriak Martalaya kepada Mayor Wilhelm.
Melihat hal itu, Amangkurat II segera menyuruh Martalaya menenangkan diri. Mandaraka segera menghibur Amral Elduwelbeh.
Oohya! Baca juga ya: Ini Lokasi di Puncak Gunung yang Menjadi Tempat Favorit untuk Berfoto Para Pendaki Amatir
“Tuan Amral, saya minta maaf. Tuan jangan sakit hati. Jika kamu sakit hati ke dia, nanti tidak ada yang membawa amunisi Tuan. Dia itu Bupati Tegal Martalaya, biar nanti Sinuhun Prabu yang memarahinya,” kata Mandaraka.
Amral Elduwelbeh tidak terima diperlakukan kasar, karena dia datang sebagai utusan Gubernur Jenderal dan diminta sendiri oleh Raja Mataram. Mandaraka pun meminta dia bersabar, jika perang sudah selesai, dia yang akan meminta kepada raja untuk memberi hukuman kepada Martalaya.
Mendengar pernyataan Mandaraka, Amral Elduwelbeh pun mencoba menenangkan hati. Ia lalu bertanya mengenai tata cara menghadap raja di Jawa.
Oohya! Baca juga ya: Anggota Pramuka akan Diwajibkan Memiliki Tanda Kecakapan Khusus (TKK) Pelestarian Mangrove
Amangkurat II juga bertanya kepada Mandaraka perihal yang ia katakan kepada komandan prajurit Belanda itu. Mandaraka mengatakan, Amral Elduwelbeh meminta maaf karena tidak tahu tata cara orang Jawa menghadap rajanya.
Mandaraka kembali menjelaskan kepada Amagkurat II, jika orang Belanda cukup berdiri dengan mengempit topi ketika menghadap atasannya.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Poenika Serat Babad Tanah Djawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi Ing Taoen 1647 (1941)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]