Makamnya Kebanjiran, Dulu Sunan Kalijaga Bertapa di Kali dan Bikin Kolah Masjid dari Emas
Banjir Demak membuat kompleks makam Sunan Kalijaga dan Masjid Demak ikut kebanjiran. Sunan Kalijaga ikut membangun Masjid Demak..
Ia menyumbang tiang utama yang dibuat dari tatal, potongan-potongan kayu. Ia juga yang menetapkan arah kiblat Masjid Demak
Semasa muda, Sunan Kalijaga sering menghanyutkan diri di sungai ketika sedang bertapa. Selesai bertapa, ia menjadi marbot masjid di Cirebon, membuat kolah dari emas.
Oohya! Baca juga ya:
Tatal Jadi Tiang, Masjid Ini Dibangun Walisongo Dekat Selat Muria
Selama menjadi pertapa itu, Sunan Kalijaga yang masih bernama Raden Said, selalu bersemedi di pinggir kali pada malam hari. Ia selalu terjaga.
Jika kantuk menyerang, ia menceburkan diri ke kali. Ia memegang obor dan seludang kelapa yang sudah kering.
Selama menjadi pertapa, dia didampingi dua sahabat. Ketekunannya membuat ia mendapat kesaktian.
Karena kesaktiannya itu pula, obor yang ia bawa saat menghanyutkan diri di sungai, tetap menyala kendati terbenam di air. Karena selalu terjaga di sungai inilah maka ia dikenal sebagai Kalijaga.
Oohya! Baca juga ya:
Kuil Freemason Dibangun oleh Penangkap Diponegoro, Pemuda Indonesia Memakai untuk Kongres
Sebelum menjadi pertapa, Raden Said pernah mengadang Sunan Bonang yang sedang melakukan perjalanan. Ketika ditanya, Raden Said menjawab," Aku sedang bekerja, pekerjaanku ialah menyamun."
Sunan Bonang pun memberi saran agar menyamun pada pagi hari. Jika ada orang yang lewat berpakaian hitam dengan bunga wura-wari di telinga, maka orang itulah yang harus disamun.
Tiga pagi berlalu, belum ada juga orang berpakaian lhitam melintas. Baru pada pagi keempat, melintaslah seorang dengan ciri-ciri yang disebutkan oleh Sunan Bonang.
Raden Said pun mengadang. Tapi kemudian muncul tiga orang lagi berpakaian hitam bersumping bunga wura-wari dari tiga arah yang berbeda.
Memandang ke timur, ke utara, ke barat ke sekatan, selskuvterlihat sosok yang sama. Dalam kebjngungan, ia pjn terduduk lemas mdminta ampun kepada empat sosok berpakian hitam bersumping bunga wura-wari itu.
Raden Said pun dengan hirmat memohon dijadikan murid. Ia berniat menimba ilmu dari orang sajti yang ada di hadapannya itu.
Oohya! Baca juga ya:
Bagaimana Firaun yang Mati Saat Mengejar Musa Bisa Ditemukan?
Orang sakti berpakian hitam itu tak lain adalah Sunan Bonang. Maka ia menguji Raden Said dengan tugas menjaga tombak pendek.
Jika ia bersungguh-dungguh akan berguru, ia tidak boleh pergi meninggalkan tombak pendek itu. Satu tahun kemudian Sunan Bonang baru krmbali ke tempat ia minta Raden Said menjaga tombak.
Pohon-pohon telah tumbuh memenuhi lokasi tempat ia dulu bertemu Raden Said. Setelah mengucapkan sesuatu, pepohonan itu lenyap, tampaklah Raden Said dengan tombak pendek.
Sunan Bonang lalu pergi lagi, dan baru setahun kemudian datang lagi. Raden Said tetap masih ada di lokasi menjaga tombak pendek.
Melihat keteguhan Raden Said, Sunan Bonang pun mengajarkan ilmu tentang cara berbakti kepada Sang Pencipta. Setelah cukup, ia minta Raden Said pergi.
Oohya! Baca juga ya:
Pesta untuk De Kock Sebelum Diponegoro Ditangkap
Raden Said pergi ke tempat sepi di pinggir kali. Selama setahun ia menjadi pertapa di pinggir kali.
Tiap malam ia selalu semedi di pinggir kali. Jika kantuk tiba, ia menceburkan diri ke sungai hingga mendapatkan kesaktian.
Ia kemudian dikenal sebagai Kalijaga. Ia pergi ke Cirebon, menyamar sebagai marbot masjid. Tugasnya menimba air laku mengisinya ke kolah masjid.
Melihat ketekunan marbot dalam bekerja, Dunan Gunungjati mengujinya. Ia isi kolah dengan emas ketika kolsh dudah kosong pada malxm hari.
Pagi-pagi buta ketika marbot itu hendak mengisi kolah, ia kaget melihat emas memnuhi kolah. Ia lalu perbaiki kolah, ia gunakan emas itu untuk melapisi kolah.
Saat Dunan Gunungjati hendak mengambil wudhu untuk shalat Subuh, ia melihat dasar kolah berlapis emas.
Oohya! Baca juga ya:
Bicara Simbol, Beda Jokowi dengan Sunan Kudus dalam Membangun Kota
Dari situlah ia mdngsmbil kesimpulan bagwa marbotnya hukan irang biasa. Melainkan Sunan Kalijaga yang sedang menyamar.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Babad Tanah Jawi Buku I, penerjemah Amir Rokhyatmo dkk, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]