Kendeng

Tatal Jadi Tiang, Masjid Ini Dibangun Walisongo Dekat Selat Muria

Masjid Demak dibangun oleh Walisanga dekat Selat Muria. Salah satu tiang utamanya dibuat dari susunan tatal.

Sunan Kalijaga menggunakan batu-batu dari Majapahit untuk membangun masjid bersama para wali yang disebut Walisongo. Ketika kayu untuk tiang utama kurang, Sunan Kalijaga menyusun tatal untuk dijadikan tiang.

Tatal adalah potongan-potongan kecil sisa kayu olahan. Jadilah tatal-tatal itu menjadi salah satu tiang utama masjid yang dibangun dekat Selat Muria itu.

Saat ini, Selat Muria sedang ramai dibicarakan berkaitan dengan banjir yang melanda wilayah Demak dan beberapa wilayah di selatan Gunung Muria. Pada masa purba, wilayah itu diperkirakan sebagai selat, sehingga Gunung Muria menjadi pulau kecil yang terpisah dari Pulau Jawa.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Kuil Freemason Dibangun oleh Penangkap Diponegoro, Pemuda Indonesia Memakai untuk Kongres

Pada abad ke-17, kapal-kapal Belanda masih bisa berlabuh masuk sungai di selatan Gunung Muria untuk mencapai pedalaman. Orang-orang Mataram di masa Sultan Agung pernah menangkap pedagang-pedagang Belanda yang baru saj berlabuh di wilayah itu.

Sunan Kalijaga merupakan salah satu Walisongo, penyebar agama Islam di Jawa. Ia menjadi guru para Raja Demak, Pajang, dan Mataram.

Ia pernah tinggal Cirebon dengan menyamar menjadi marbot masjid. Selama menjadi marbot, tugas yang ia kerjakan adalah menimba dan mengambil air untuk mengisi kolah masjid yang kosong.

Sunan Kalijaga memiliki kesaktian karena sering tirakat dengan menjadi pertapa. Saat pembangunan masjid di Demak dipersiapkan, Sunan Kalijaga sedang tirakat di Parangtritis dan Pamancingan.

Wali yang lain sudah menyumbankan bahan-bahan yang dibutuhkan, tinggal Sunan Kalijaga yang belum menyerahkan sumbangan kayu untuk tiang utama yang menjadi tanggung jawabnya. Sunan Bonang pun menerima laporan mengenai hal itu.

Oohya! Baca juga ya:

Bagaimana Firaun yang Mati Saat Mengejar Musa Bisa Ditemukan?

“Janganlah membicarakan yang tidak ada. Itu sudah menjadi kewajibannya. Meskipun bahan tidak ada, Ki Kalijaga pasti dapat mengadakannya,” jawab Sunan Bonang.

Ketika Sunan Kalijaga datang, Sunan Bonang mengingatkan keterlambatan SUnan Kalijaga menyerahkan bahan untuk membangun masjid. “Ya Panembahan, siapa yang terlambat tentu akan segera menyelesaikan,” jawab Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga pun segera mengumpulkan potongan-potongan kayu kecil sisa dari kayu-kayu yang sudah diolah. Ia lalu mengikatnya.

Berulang kali ia mengikat tatal-tatal yang didapat. Jadilah tiang yang terbuat dari tatal-tatal yang diikat itu, sehingga esok pagi, tanggal 1 Zulhijah di abad ke15, masjid bisa didirikan.

Hanya dalam waktu 40 hari, masjid itu selesai dibangun. Tetapi sempat terjadi perselisihan dalam penentuan arah kiblatnya, karena tidak tahu persisi posisi Ka’bah.

Pertengkaran yang terjadi membuat Sunan Bonang belum bisa mengambil keputusan. Ia pun kemudian bertanya kepada Sunan Kalijaga.

Oohya! Baca juga ya:

Pesta untuk De Kock Sebelum Diponegoro Ditangkap

“Lebih baik pastikan dulu arahnya dengan cara meneliti, supaya tidak salah,” jawab Sunan Kalijaga. Ia pun menyarankan kepada Sunan Bonang untuk memastikan pada malam hari.

Maka, pada waktu Isya, Sunan Kalijaga berdiri di sebelah utara masjid. Ia khusyuk berdoa. Posisi Ka’bah dan masjid yang baru dibangun, ada dalam jangkauannya. Maka, ia segera mengarahkan masjid itu kea rah Ka’bah.

Sunan Bonang dan wali lainnya pun diberi laporan, untuk segera melihatnya. “Semua wali yang melihat kiblat menjadi tenang hatinya.” Demikian Babad Tanah Jawi.

Kini tinggal membangun serambi masjid. Serambi keraton Kerajaan Majapahit disepakati sebagai yang paling pantas. Maka, serambi keraton itu diusung dari Majapahit, dibawa ke Demak.

Maka, tak jauh dari Selat Muria, Masjid Demak itu berdiri dengan salah satu tiang utama berupa susunan tatal yang diikat. KI Ageng Selo dari Grobogan menyumbang pintu ukir dengan motif petir yang pernah ia tangkap.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
- Babad Tanah Jawi Buku I, penerjemah Amir Rokhyatmo dkk, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)
- Puncak Kekuasaan Mataram karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]