Bupati Grobogan Menangis Dimarahi Patih Notokusumo Gara-gara Orang Cina, tetapi Mengapa Kemudian Melotot dan Bertolak Pinggang?
Bupati Martopuro jatuh terduduk, menangis sambil mendekap surat. Ia dimarahi Sang Patih Mataram lewat surat itu karena tidak melaporkan kaburnya orang-orang Cina dari Gunung Puwun.
Bupati Grobogan itu lalu meminta utusan Sang Patih pergi ke Welahan untuk membuktikan bahwa Bupati Grobogan tidak bersalah. Orang-orang Cina itu sengaja kabur dari Gunung Puwun ketika diserbu Kompeni.
Mereka lalu begabung dengan orang-orang Cina di Welahan. Dari Gunung Puwun, utusan Patih Notokusumo itu lalu berangkat ke utara menuju Cengkalsewu untuk mencapai Welahan.
Oohya! Baca juga ya:
Jual Sepeda Motor Kredit, Ketua RT Ini Masuk Penjara
Yang dimaksud Gunung Puwun di Babad Tanah Jawi itu kemungkinan adalah Bukit Jatipohon. Jatipohon ada di sebelah utara Grobogan, berjarak sekitar 4,5 kilometer.
Untuk mencapai Cengkalsewu, sekarang wilayah Pati, lewat Jatipohon perlu menempuh perjalananan sekitar 21 kilometer dari Grobogan. Dari Cengkalsewu belok ke arah barat menuju Welahan, yang sekarang masuk wilayah Jepara, berjarak sekitar 45 kilometer.
Bupati Grobogan Martopuro menyruh bawahannya yang menyamar sebagai rakyat jelata mengiringi utusan Patih. Mereka dibekali baju dan uang, masing-masing 15 riyal.
Di Welahan, mereka harus menemui Kapiten Singseh, pimpinan orang-orang Cina. “Bapak, mereka ini utusan, yang dua pegawai saya, yang dua lagi pegawai ang punya negara. Mereka menyamar untuk menyelidiki Bapak,” tulis Martopuro dalam suratnya untuk Kapiten Singseh.
Di dalam surat itu pula Martopuro memberi tahu nama dua utusan dari Patih Mataram. Yang satu bernama Mas Wiryodikoro, satunya lagi bernama Mas Subodirono.
Oohya! Baca juga ya:
Membantah Berita, Anak Sultan Agung Harus Berbohong kepada Paman Ipar dalam Kasus Ayam Bekisar
“Tetapi hendaklah Bapak pura-pura tidak tahu dan jangan memaksa mereka mengaku. Cukup Bapak saja yang tahu. Secara lahir mereka itu utusan saya. Begitu perintah Raden Patih,” lanjut Martopuro.
Kapiten Singeh pun memahami maksud Bupai Grobogan. I apun segera memrintah para prajurit untuk berlatih perang. Ada 80 tanda barisan.
Selesai berlatih, mereka apel dan menyatakan siap menggempur benteng Kompeni di Semarang. Kapiten Singseh menyatakan tinggal menunggu perintah dari Mataram untuk menggempur Semarang.
Utusan Bupati Grobogan pun pulang. Dua orang Grobogan diberi bekal 10 riyal, dua orang Mataram diberi bekal 25 riyal. Tiba di Grobogan, mereka menerima surat dari Martopuro untuk diserahkan kepada Patih Notikusumo.
Membaca surat Martopuro, Patih Notokusumo menyesali tindakannya telah memarahi bupati Grobogan itu. Laporan Martopuro yang tertulis di surat sama dengan laporan dua utusannya yang telah melihat sendiri persiapan orang-orang Cina di Welahan.
“Menakjubkan Si Paridan, bisa-bisanya membuat rekayasa,” ucap Patih Notokusumo, menahan tangis, menyesali sikapnya yang emosional terhadap Martopuro.
Oohya! Baca juga ya:
Kompeni Tembakkan Tinja, Kok Bisa Prajurit Sultan Agung Mati karena Peluru Tinja?
Dalam surat yang dibawa utusannya ke Grobogan, Notokusumo mengumbar kemarahannya kepada Martopuro yang ia panggil sebagai Paridan. Ia marah setelah mendengar kabar orang-orang Cina yang disiapkan di Gunung Puwun kabur setelah digempur Kompeni.
Padahal Notokusumo telah meminta Martopuro untuk menyiapkan orang-orang Cina yang berani bertempur melawan Kompeni.”Hai Paridan, ini peringatan dariku. Begitukah tingkahmu sebagai orang yang dipercaya oleh Sang Prabu?” kata Notokusumo di dalam suratnya.
Notokusumo menyesalkan tindakan Martopuro yang abai dalam menyiapkan orang-orang Cina. “Kamu dijadikan bupati, diberi kepercayaan berat tetapi malah menggampang, sembrono, dan semarangan sepert anak kecil,” lanjut Notokusumo.
Dalam suratnya itu, Notokusumo pun menyinggung orang-orang Cina di Gunung Puwun. “Dulu sudah dilaporkan kepada sang Prabu bahwa ada orang Cina berbaris di Puwun tetapi sekarang ketika digempur Kompeni dan barusan orang Cina kabur, kamu tidak mlaporkannya,” kata Notokusumo.
Lalu, Notokusumo memperlihatkan taringnya sebagai patih di Mataram. “Itu sama artinya dengan ada empat kepalamu, dua untuk dipenggal dan dua lagi untuk dijaga hdup-hidup,” kata Notokusumo memberikan ancaman.
Oohya! Baca juga ya:
Anak Sultan Agung Marah kepada Paman Ipar karena Bekisar Betina Jadi Jantan
Setelah membaca surat itu, Martopuro pun jatuh terduduk, menangis. Surat Notokusumo ia dekap.
Tapi begitu, bangun, ia langsung bertolak pinggang, mememelirit jenggot. Matanya melotot ke arah dua utusan Patih Notokusumo.
“Hai utusan dari Kepatihan, lihat baik-baik dan perhatikan sungguh-sungguh. Jika marah, jangan asal bicara,” kata Martopuro.
Ia mengaku belum melapor tentang orang Cina yang bubar dari serbuan Kompeni karena ia ditugasi oelh Patih Notokusumo untuk mengadu Kompeni dan orang Cina. Ia memanggil Kompeni untuk menyerbu orang-orang Cina di Gunug Puwun.
Kepada orang-orang Cina, ia juga meminta agar pura-pura berperang melawan Kompeni, setelah itu kabur. Jika Kompeni akan mengejar orang-orang Cina itu, Bupati Grobogan akan berkata kepada Kompeni biarlah prajurit Grobogan saja yang mengejar mereka.
Dan itu yang kemudian dilakukan oleh Martopuro, sehingga Kompeni urung mengejar orang-orang Cina karena sudah ada prajurit Grobogan yang mengejarnya. Namun juga pura-pura mengejar.
Oohya! Baca juga ya:
Mabuk Sebelum Melawan Sultan Agung, Adipati Pati Tewas di Medan Perang, Siapa yang Membunuh?
Prajurit Grobogan yang mengejar itu justru memberi bekal kepada orang-orang Cina untuk bisa meneruskan perjalanan ke Welahan tanpa diketahui oleh Kompeni. Jika tanpa taktik ini, susah bagi orang-orang Cina di Grobogan bisa bergabung di Welahan.
Di Welahan, orang-orang Cina sudah menyiapkan diri untuk berangkat ke Semarang. Merekma sudah siap berperang melawan Kompeni.
Itulah sebabnya kemudian ia meminta utusan Patih Notokusumo pergi ke Welahan. Tujuannya agar mereka bisa melihat angsung persiapan yang dilakukan di Welahan.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Babad Tanah Jawi Jilid V, penerjemah Amir Rokhyatmo, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]