Membantah Berita, Anak Sultan Agung Harus Berbohong kepada Paman Ipar dalam Kasus Ayam Bekisar
Berita mengenai kemarahan Amangkurat I kepada paman iparnya telah tersebar. Sang paman, Pangeran Surabaya, pun telah mendengarnya.
Pangeran Surabaya merasa heran pemberian bekisar darinya ditafsirkan oleh anak Sultan Agung itu sebagai sindiran agar segera turun tahta dan memberikan kekuasaan kepada cucu Pangeran Surabaya. Karenanya, ia pun bersama keluarga menjemur diri di alun-alun.
Amangkurat I menampakkan kemarahannya kepada paman iparnya itu di depan para menteri yang menghadapnya. Kemudian, ia pun perlu membantah berita itu dan harus berbohong kepada paman iparnya itu bak politisi Indonesia saat ini.
Oohya! Baca juga ya:
Kompeni Tembakkan Tinja, Kok Bisa Prajurit Sultan Agung Mati karena Peluru Tinja?
Pangeran Surabaya merasa tidak pantas memiliki ayam bekisar itu. Ayam itu memang begitu indah tiada tara.
Menurut dia, hanya raja yang berhak memilikiny. Karenanya, ia pun mempersembahkan bekisar itu kepada Sang Raja.
Untuk bertemu raja, ia mengenakan kain dodot. Ayam bekisarnya dimasukkan ke dalam kurungan yang dikerudungi kain sutra putih.
“Hamba mempersembahkan bekisar ini karena rupa bekisar ini sangat indah dan dapat berkokok,” kata Pangeran Surabaya.
Esok harinya, di hadapan para menteri, Amangkurat I marah. Ia menganggap pemberian bekisar itu sebagai sindiran.
Ia menuduh Pangeran Surabaya sudah tidak sabar melihat cucunya, putra mahkota, menjadi raja Mataram. “Kemarin Paman Surabaya memberiku bekisar yang semula betina tetapi lama-kelamaan menjadi jantan,” kata Amangkurat I kepada para menteri yang menghadapnya.
Kemarahan di pertemuan kemudian menjadi kabar yang menghebohkan Mataram. Pangeran Surabaya yang mendengarnya lalu mengajak seluruh anggota keluarganya yang berjumlah 64 orang, berjemur di alun-alun.
Oohya! Baca juga ya:
Mabuk Sebelum Melawan Sultan Agung, Adipati Pati Tewas di Medan Perang, Siapa yang Membunuh?
Ia menyatakan hidup matinya hanya untuk Sang Raja. Tak ada maksud mendesak Amangkurat I segera turun tahta untuk memberikan kekuasaan kepada putra mahkota, Pangeran Adipati Anom.
Pangeran Adipati Anom adalah putra tertua Amangkurat I. Ibunya merupakan keponakan Pangeran Surabaya.
Gara-gara bekisar itu, Amangkurat I hendak mengalihkan posisi putra mahkota kepada anak almarhumah permaisuri Ratu Wetan. Saat Ratu Wetan dinikahi Amangkurat I, ia sedang mengandung.
Anaknya kemudian diberi nama Raden Aryo Notobroto. Anak inilah yang akan diangkat menjadi putra mahkota menggantikan Pangeran Adipati Anom.
Oohya! Baca juga ya:
Grobogan Banjir, Desember 1955 Ada Pemilu, Mengapa Residen Semarang Kirim Perahu Motor?
Tapi rupanya, anak Sultan Agung itu salah sangka kepada paman iparnya. Ia harus menahan air mata ketika bibinya memohon kepadanya agar dibunuh terlebih dulu jika suaminya memiliki kesalahan kepada Sang Raja.
Pangeran Surabaya juga bersumpah demi Allah dan demi Rasulullah bahwa dirinya tidak memiliki niat melengserkan Amangkurat I. Ia ikhlas memberikan bekisar karena hanya rajalah yang berhak memiliki bekisar indah itu.
Maka, anak Sultan Agung itu pun harus berbohong kepada paman ipar untuk membantah berita yang sudah beredar. “Paman, berita yang tersebar tidaklah benar dan orang membicarakan hal yang bukan-bukan,” kata Amangkurat I.
Padahal di hadapan para menteri setelah menerima bekisar, Amangkurat I jelas-jelas tersinggung dengan pemberian terselubung itu. Ia bahkan menuduh Pangeran Surabaya menginginkan dirinya segera lengser lewat oemberan ayam bekisar itu.
Ia menuduh Pangeran Surabaya menginginkan dirinya segera menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Adipati Anom. Hal yang tak mungkin ia lakukan saat itu.
Oohya! Baca juga ya:
Digunjing karena Pinjol, Ternyata ITB Miliki Alumni Presiden dan Musuh Soeharto serta Anggota PMB
“Ucapan yang tidak benar telah mempertajam salah paham. Aku tidak merasa marah, berita itu dusta. Percayalah, paman; sungguh tidak ada ucapan demikian itu,” lanjut anak Sultan Agung itu.
Ia pun kemudian menjelaskan jika dirinya sebagai raja telah mengetahui kondisi negeri Mataram sepeninggalnya nanti. Sudah menjadi ketentuan Tuhan, kata Amangkurat I, Pangeran Adipati Anomlah yang kelak menjadi raja setelah dirinya wafat.
“Itu tidak boleh berubah. [...] Ketika aku wafat nanti dan digantikan putraku, keraton pindah ke Wonokerto,” lanjut Amangkurat I.
Pangeran Surabaya pun berharap Mataram tetap kokoh, tidak ada dua raja yang memimpinnya. “Telah menjadi kehendak Tuhan, hancurnya Mataram nanti adalah karena putraku Prabu Anom,” jawab anak Sultan Agung itu.
Sang paman ipar pun bersedih mendengar hal itu. Ia merasa semua gara-gara ayam bekisar pemberiannya, sampai beredar berita dan anak Sultan Agung harus membantah berita itu.
“Nah, Paman Surabaya, pulanglah segera. Jangan mengikuti kabar itu. Semua yang menjadi berita tidak dimaksudkan begitu,” kata anak Sultan Agung, berbohong.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Babad Tanah Jawi Jilid III, penerjemah Amir Rokhyatmo, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]