Meski Berhasil Kalahkan Banteng, Cicit Raja Majapahit yang Tinggal di Grobogan Ini Tetap Ditolak Jadi Prajurit
Meski cicit dari Raja Majapahit Brawijaya V, pemuda ini tidak tumbuh besar di keraton. Ia hidup di Desa Selo di wilayah Grobogan, Pegunungan Kendeng, dikenal dengan nama kecil Bagus Sogum. Ketika dewasa, ia dikenal dengan nama Ki Ageng Selo.
Ayahnya, Getas Pandawa yang menjadi petani dan pendakwah Islam, mendidinya denan tekun. Sejak kecil, selain sibuk mengaji, ia juga sibuk berlatih fisik. Sebagai anak tertua, ia menjadi pelindung bagi adik-adiknya.
Dalam cerita lisan di Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan, Bagus Sogum mampu mengolah sawah seluas 20 hektare, sendirian. Kekuatan fisiknya luar biasa.
Oohya! Baca juga ya: Orang Indo-Belanda Gusar dengan Sumpah Pemuda 'Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa'
Maka, suatu hari ia melamar menjadi prajurit tamtama di Demak. Ujiannya, ia harus melawan banteng. Sekali tempeleng, banteng itu tersungkur. Kepalanya pecah mengucurkan darah.
Orang-orang yang menonton melihat banteng itu dengan kasihan dan membanggakan pemuda itu. Tetapi, pemuda itu memalingkan muka, mencoba menjauhkan tatapan matanya dari banteng yang telah ia kalahkan.
“Kenapa Jebeng Selo berpaling?” tanya Raja Demak Raden Patah mengetahui pemuda itu tak berani melihat banteng.
Oohya! Baca juga ya: Pulau Rempang, Piting, dan Investasi yang Membuat Masyarakat Merasa Terancam
Pemuda itu menjawab tak ingin mukanya terkena muncratan darah banteng. Mendengar jawaban itu, Raden Patah pun marah dan menolaknya sebaagai prajurit tamtama.
Orang itu berhati lemah, ia berpaling karena takut darah,” kata Raden Patah.
Pemuda Selo pun ulang dengan perasaan malu. Padahal ia adalah cucu dari Raden Patah, meski dari nenek yang berbeda. Raden Patah adalah anak Prabu Brawijaya V dari Putri Campa, istri yang diceraikan saat mengandung.
Sedangkan kakek kandung Selo adalah Bondan Kejawan, anak Brawijaya dari putri Campa yang lain. Bondan Kejawan kemudian dibuang ke Grobogan karena diramalkan akan merusak nama Brawijaya kelak. Menikahi anak Jaka Tarub, Bondan memiliki anak bernama Getas Pandawa.
Oohya! Baca juga ya: Anak-Anak Muda Sangihe Bertekad Pertahankan Pulau Sangihe, tidak Boleh Ada Perusakan
Pulang dari Demak setelah ditolak menjadi prajurit, cicit Brawijaya itu mengumpulkan orang-orang. Ada sekiar 600 orang terkumpul, ia ajak berperang melawan prajurit Demak.
Patih Demak, Patih Wanasalam, mengabarkan kepada Raden Patah bahwa ada rombongan dari Desa Selo yang dipimpin pemuda yang telah ditolak menjadi prajurit.
“Karena ayahnya adalah saudara sepupuku, kami sama-sama memiliki hak sebagai pewaris keratin Jawa. Ki Patih Wanasalam, cepat beri tahu para adipati untuk tidak menghalangi Selo di selatan. Ingat jangan ada yang menghalangi sampai berada di dalam,” kata Raden Patah.
Sebanyak 400 prajurit disiapkan di keraton. Mereka diikat dengan rantai di bangsal pengapit. Jaka Tingkir yang menjadi pimpinan parjurit itu, juga diikat.
Raden Patah sudah menunggu di bangsal, siap dengan busur dan dua anak panah berbentuk kuncup bunga. Dengan anak panah itu, ia tak bermaksud membunuh keponakannya, melainkan hanya membuat kapok.
Masuk alun-alun Sela dan rombongannya melihat suasana keraton yang sepi. Ia menunggang kuda bersama seratus orang, yang diikuti oleh mereka yang berjalan kaki.
Oohya! Baca juga ya: Jadi Negara Pengekspor Kopi, Nenek Kita Dulu Hanya Bisa Menikmati Kopi Daun, Sedih Ya...
Kuda yang ditunggangi pemuda Selo kaget ketika anak panah yang dilepas Raden Patah mengenai kepalanya. Disusul kemudian anak panah kedua, sehingga kuda itu sehabis melompat langsung berlari pontang-panting. Kuda-kuda lain pun dibuat pontang-panting. Rombongan pemuda Selo kocar-kacir.
“Aku tidak keliru, Jebeng Selo itu ternyata berhati lemah. Ia tidak mampu menjadi raja,” kata Raden Patah kepada Patih Wanasalam. Namun ia menduga, kelak aka nada keturunan pemuda Selo yang menjadi raja.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Babad Tanah Jawi, Buku I, penerjemah Amir Rochyatmo dkk, penyunting Sapardi Djoko Danomo dan Sonya Sondakh (2004)
Ki Ageng Selo karya T Wedy Utomo (1983)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi