Lincak

Orang Indo-Belanda Gusar dengan Sumpah Pemuda 'Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa'

Gedung Sumpah Pemuda di Jalan Kramat, Jakarta. Dulu merupakan tempat kos para mahasiswa kritis.

Pada awal 1926 ada seruan untuk orang-orang Indo-Belanda di Hindia-Belanda. Mereka diajak meneguhkan diri sebagai bangsa Eropa. Tujuannya tentu saja agar mereka mendukung pemerintah Hindia-Belanda, sebab sudah banyak orang Indo-Belanda yang mendukung perjuangan bangsa Indonesia.

Membaca seruan itu, M Tabrani yang mengelola kotan Hindia Baroe tentu geram dibuatnya. Pada saat Tabrani mengadakan Kongres Pemuda Indonesia I, seorang Indo-Belanda, PF Dahler, menjadi pendukungnya.

Dalam kongres ini, Muh Yamin sudah menyusun naskah ikrar pemuda, tetapi batal dibacakan di sidang karena belum ada kesepakatan terhadap seluruh ikrar. Tapi ada keputusan bahwa naskah itu akan dibawa ke Kongres Pemuda Indonesia II.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Pulau Rempang, Piting, dan Investasi yang Membuat Masyarakat Merasa Terancam

Di Kongres Pemuda Indonesia II, setelah merevisi naskahnya, Yamin menyerahkan nasah ikrar pemuda untuk dibacakan di sidang kongres. Ia dijadikan bagan dari keputusan kongres yang di kemudian hari cukup disebut sebagai “Sumpah Pemuda” saja. “Sumpah”-nya ada tiga, panjang-panjang, tapi di kemudian hari juga dikenal yang pendeknya saya: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa.

Pada Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada 28 Oktober 1954, Dalam sambutannya, Wali Kota Medan Djalaludin mengingatkan soal isi Sumpah Pemuda, bahwa hari itu, 28 Oktober, “merupakan hari pengambilan sumpah para pemuda, Sumpah Pemuda dengan rumusan: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa”.

Ketika belum ada peringatan Hari Sumpah Pemuda, yang ada adalah Perayaan Memuliakan Lagu 'Indonesia Raya'.

Pada tahun itu belum ada peringatan Hari Sumpah Pemuda. Yang ada adalah Perayaan Memuliakan Lagu Indonesia Raya. Demikian program siaran yang ada di RRI Jakarta pada 1953. Dalam perayaan ini, ada disinggung Sumpah Pemuda.

Sepertinya baru pada 1957 ada peringatan Hari Sumpah Pemuda. Ada iklan di koran, tertulis: Malam Peringatan Sumpah Pemuda. Penyelenggaranya Lembaga Pak Kasur.

Iklan acara Peringatan Hari SUmpah Pemuda pada Oktober 1957

Pada November 1941, Sugondo Joyopuspito, ketua panitia Kongres Pemuda Indonesia II, menulis, “Di mana pun, pemuda selalu peka terhadap cita-cita, berada di depan, di Kongres Pemuda Indonesia II tahun 1928 mengeluarkan resolusi yang membangkitkan semangat persatuan nusa (Tanah Air Indonesia), bangsa (Bangsa Indonesia), dan bahasa (Bahasa Indonesia),” kata Sugondo.

Pada 1928, Darmo Kondo, koran milik Budi Utomo, membuat laporan berseri mengenai Kongres Pemuda Indonesia II ini. Dilanjutkan pula ulasan mengenai cita-cita kongres itu juga dalam laporan berseri. Judulnya “Harapan Kita: Satu Tumpah Darah, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa”.

Oohya! Baca juga ya: Anak-Anak Muda Sangihe Bertekad Pertahankan Pulau Sangihe, tidak Boleh Ada Perusakan

Di Kongres Pemuda Indonesia II itu, Muh Yamin menyebut lima faktor penempa persatuan bangsa Indonesia, yaitu kemauan, sejarah, bahasa, hukum adat, dan pendidikan (termasuk di dalamnya kepanduan). Lima faktor ini dicantumkan sebagai dasar persatuan Indonesia dalam “Putusan Kongres Pemuda-Pemudi Indonesia”.

Rupanya, Yamin menyimak betul isi pidato-pidato yang disampaikan di Kongres Pemuda Indonesia I. Maka, di dalam naskah ikrar pemuda yang ia susun, dimulai dengan penegasan “Kami Putra-Putri Indonesia”. Isinya menyangkut tiga hal persatuan: Persatuan Nusa (Tanah Air), Persatuan Rakyat (Bangsa), dan Persatuan Bahasa.

Pada pembukaan Kongres Pemuda Indonesia I, Tabrani berkali-kali menegaskan perlunya persatuan nusa dan bangsa. Ia beberapa kali menyapa peserta kongres dengan panggilan: “Putra-Putri Indonesia”. Sekali menyapa dengan: “Pemuda-Pemudi Indonesia”.

Lalu, bagaimana mana keputusan itu disebut Sumpah Pemuda? Sejarawan LIPI Abdurrachman Surjomihardjo menyebutkan, Joesoepadi sudah menggunakan kata bersumpah untuk merujuk peristiwa 1928: …Boekankah diitoe hari kita poetri dan poetra Indonesia bersoempah:…. Joesoepadi menyampaikannya di Kongres Indonesia Muda pada 31 Desember 1930.

Oohya! Baca juga ya: Tak Mau Hanya Menikmati Kopi Daun, Mencuri Biji Kopi Saat Panen Menjadi Pilihan

Sutan Takdir Alisjahbana pada November 1931 juga sudah menyebutnya sebagai Sumpah Pemuda:

Soempah pemoeda-pemoedi bangsa kita beberapa tahoen jang laloe, bahwa mereka hanja mengakoei satoe bahasa jaitoe bahasa Indonesia, ialah sesoeatoe kedjadian jang penting dalam sedjarah Indonesia, jang hanja kelak akan dapat dihargai oleh ahli sedjarah dengan sepenoeh-penoehnja.

Oohya! Baca juga ya: Ini yang Dilakukan BJ Habibie Jika Dipanggil Bangsat di Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB)

Slogan ‘satu nusa, satu bangsa, satu bahasa’ makin menggema setelah kemerdekaan. Ini membuat gusar orang-orang Indo-Belanda. Mereka melihat tak ada lagi masa depan di Indonesia. Menyambut Konferensi Meja Bundar 1949, koran De Vrije Pers yang terbit di Surabaya menurunkan tajuk: "Ke Mana, Yang Mulia?"

Seorang pembaca, RE Peeters, mengomentasi tajuk koran itu. Menurut dia, ada jutaan Indo-Belanda yang harus difasilitasi untuk bisa meninggalkan Indonesia. Mereka ingin meninggalkan Indonesia, bukan karena Jakarta atau kota lainnya kumuh dan sumpek akibat perencanaan kota yang buruk, melainkan karena situasi yang tidak menguntungkan bagi mereka.

Oohya! Baca juga ya: Pengalaman BJ Habibie Mengikuti Perploncoan di Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB)

“Salah satu contohnya adalah Kongres Guru Indonesia yang menyatakan bahwa ‘harus ada satu bangsa, satu bahasa, dan satu budaya di Indonesia’,” tulis Peeters. Kongres Guru ini, kata Peeters, juga menuntut ‘persatuan dalam pengajaran dan bahasa pengantar’.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Bataviaasch Nieuwsblad, 14 Januari 1926
De Nieuwsgier, 30 Oktober 1954
De Vrije Pers, 19 Juli 1949
Hindia Baroe, 16 Januari 1926
Java-Bode, 28 Oktober 1953, 26 Oktober 1957
Laporan Kongres Pemuda Indonesia Pertama di Weltevreden (1981)
45 Tahun Sumpah Pemuda karya Subagio Reksodipuro dan Soebagijo IN (1974)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi