Pulau Rempang, Piting, dan Investasi yang Membuat Masyarakat Merasa Terancam
Dalam jumpa pers mengenai pertambangan di Sangihe, Sulawesi Utara, pekan lalu, Harrimuddin dari Indonesia Ocean Justice Initiative menyinggung kasus Pulau Rempang di Batam. Masyarakat dibiarkan kehilangan memiliki tempat mengadu, masyarakat dibiarkan berjuang terlebih dulu untuk mempertahankan tanah mereka.
Jumpa pers tentang pertambangan di Pulau Sangihe dilakukan secara dalam jaringan (daring), adakan oleh Save Sangihe Island dan Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (Koral). Indonesia Ocean Justice Initiative juga tergabung di Koral.
Pemerintah sudah menerbitkan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil. Pulau Rempang adalah pulau kecil, seperti halnya Pulau Sangihe. Seharusnya pemerintah mematuhi undang-undang ini. “Jangan investasi itu menjadi ancaman bagi masyarakat setempat,” ujar Harrimuddin.
Oohya! Baca juga ya: Anak-Anak Muda Sangihe Bertekad Pertahankan Pulau Sangihe, tidak Boleh Ada Perusakan
Kasus Pulau Rempang telah mengundang berbagai pihak untuk bersikap. PBNU, PP Muhammadiyah pun sudah bersikap. Berdiri bersama rakyat Pulau Rempang. PBNU meminta pemerintah tidak melakukannya dengan cara paksaan. Muhammadiyah meminta agar rakyat tidak terus diadu dengan aparat (republika.id, 16 September 2023).
Belum reda persoalan, beredar video pengarahan Panglima TNI di depan prajurit agar memiting masyarakat yang melakukan aksi demonstrasi. Ini pernyataan yang melukai, sehingga Kapuspen TNI Laksda Julius Widjojono segera melakukan klarifikasi bahwa yang dimaksud piting adalah merangkul. Ia sebut piting adalah bahasa prajurit yang disalahartikan oleh masyarakat (republika.co.id, 18 September 2023).
Saya mengenal kata pithing dalam bahasa Jawa sejak kecil ketika masih suka berkelahi. Salah satu teknik untuk mengalahkan lawan saat berkelahi adalah pithing. Jika masih dalam posisi berdiri, pithing dilakukan dengan menjepit tengkuk dengan tangan. Jika sudah dalam posisi berguling-guling di tanah, pithing efektif dilakukan dengan cara menjepit lawan dengan kaki, tepatnya paha.
Oohya! Baca juga ya: Untuk Menghargai Masyarakat Melayu, Kongres Bahasa Indonesia (KBI) II 1954 Diadakan di Medan
Bausastra Jawa karya Poerwadarminta mendefinisikan pithing sebagai: dijapit nganggo pupu. [Dijapit dengan paha]. Dalam bahasa Indonesia pithing menjadi piting. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendifinisikannya sebagai: jepit (dengan kaki atau lengan).
Maknanya tentu berbeda jauh dengan rangkul (merangkul) seperti yang dikatakan Kapuspen TNI. Bausastra Jawa mendefinisikan rangkul sebagai: 1 tangane nyikêp gulu; 2 nyikêp apa-apa (tangane kagathukake cathok gawèl); 3 nyanak, mbeciki [1 tangannya mendekap leher; mendekap sesuatu (tangan terhubung satu sama lain); 3 menganggap saudara, berlaku baik].
Sedangkan KBBI mendefinisikannya sebagai: melingkarkan lengan pada pundak (tubuh, pinggang, dan sebagainya); memepetkan badan pada badan dan sebagainya orang lain sambil melingkarkan kedua lengan; mendekap; memeluk.
Pada tahun 1954, masyarakat Melayu di Medan juga pernah tersinggung oleh perkataan Presiden Sukarno. Saat membuka Kongres Bahasa Indonesia II, Presiden Sukarno menggunakan sapaan kau, yang oleh orang Melayu dianggap sebagai kasar.
Priyantono Oemar
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi