Hari Buruh Sedunia, Perempuan dan Kondisi Kerja yang tidak Layak
Dunia kerja di Indonesia masih dipenuhi kondisi kerja yang masih jauh dari kata layak. Menurut Aliansi Perempuan Indonesia, kondisi ini turut memberi dampak kekerasan berlapis, terutama pada buruh perempuan.
Aliansi Perempuan Indonesia mengeluarkan pernyataan menyambut Hari Buruh Sedunia, 1 Mei 2024. Aliansi Perempuan Indonesia menyebut perempuan telah menjadi penggerak utama perekonomian, tetapi ia didorong masuk dalam pasar tenaga kerja dan dijauhkan dari jaminan hak kerja layak dan pengakuan atas kerja-kerjanya.
Perempuan juga terdorong ke dalam kerja-kerja yang diinformalkan. Maka, perempuan banyak yang mendapati kondisi kerja di sektor upah rendah alias tidak layak, dalam sistem kerja yang fleksibel.
Oohya! Baca juga ya:
Ekspor Pangan Sering Ditolak, BSN pun Bertindak
Aliansi Perempuan Indonesia terdiri dari berbagai organisasi nonpemerintah. Antara lain: Perempuan Mahardhika, Jala PRT, Konde.co, FSBPI, YLBHI, Koalisi Perempuan Indonesia, Institut Sarinah, WMW Indonesia, KIARA – PPNI, Marsinah.id, LBH Masyarakat, LBH Jakarta, Serikat Pekerja Kampus, FPPI, Arus Pelangi, Perhimpunan Jiwa Sehat, Migrant CARE, YAPPIKA, KAPAL Perempuan, LBH Jakarta, dan Transparansi Internasional Indonesia
Di Tengah situasi krisis ekonomi global yang terjadi saat ini, para pengusaha melakukan segala cara mempertahankan perputaran keuntungan tetap di tangan mereka. Maka, kesejahteraan pekerja dikorbankan.
Para pekerja dipaksa dengan manipulasi. Yaitu melalui ancaman relokasi atau PHK dan dengan kekerasan agar mau bekerja dengan jam kerja panjang tapi dengan upah yang rendah.
Pada tahun 2016 International Labour Organization (ILO) mencatat 745 ribu kematian pekerja di 183 negara. Kematian itu muncul akibat kelelahan karena jam kerja panjang.
Para pekerja garmen atau sektor padat karya yang lain mendapati kondisi kerja dengan target yang sangat tinggi per hari. Mereka dipaksa menyelesaikan target tersebut meski harus bekerja hingga 14 jam per hari tanpa upah lembur.
Oohya! Baca juga ya:
Sultan Agung Kirim 18 Calhaj, 15 Dibunuh Kompeni Biadab
Pada sektor perikanan dan kelautan, buruh perikanan perempuan maupun perempuan nelayan masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan yang layak. Mereka berperan dalam setiap tahap rantai pasok perikanan, mulai dari menangkap ikan hingga memasarkannya.
Kontribusi mereka luar biasa. Namun, masih menghadapi diskriminasi, ketidaksetaraan, dan kurangnya akses terhadap sumber daya yang diperlukan.
Di sektor yang lain, seperti di industri kreatif dan pekerjaan rumah tangga, bahkan tidak mengenal jam kerja. Artinya, mereka dapat diminta bekerja kapan pun sesuai permintaan majikan atau atasan.
Bagi perempuan, eksploitasi tidak hanya berhenti pada jam kerja. Tapi juga eksploitasi secara seksual. Isu ini masih muncul pada saat para buruh perempuan memperingati hari buruh tahun ini.
Dengan sistem kontrak yang sangat singkat membuat perempuan semakin kehilangan posisi tawar. Hal ini memunculkan tingginya ketakutan kehilangan pekerjaan.
Kondisi kerja yang tidak layak ini kemudian dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mendapatkan keuntungan seksual dari pekerja perempuan. Modusnya, perpanjangan kontrak diberikan, ditukar dengan layanan seks.
Oohya! Baca juga ya:
Eksploitasi Alam
Selama pemerintahan Jokowi, prestasi ekonomi digembor-gemborkan. Padahal penggerak utama ekonomi kita selain bertumpu pada eksploitasi tenaga kerja juga eksploitasi sumber daya alam.
Industri ekstraktif sangat massif sebagai sasaran utama jalan lapang investasi dan pembangunan yang terbuka lebar di masa pemerintahannya. Indonesia pun menjadi surga bagi investasi sektor ekstraktif dengan dukungan regulasi insentif pajak hingga jaminan keamanan.
Bukan tanpa konsekuensi. Keberlangsungan sistem yang mengeksploitasi ini punya kaitan erat dengan melanggengnya kekerasan terhadap perempuan dan rakyat.
Penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan kekayaan alam tak pernah mendatangkan kemakmuran untuk rakyat, terutama perempuan. Perampasan lahan masyarakat adat, petani, nelayan, konflik agraria, krisis pangan dan energi, menjadi tidak terhindarkan.
Artinya, selain diperas tenaganya, sarana penghidupan perempuan juga dirampas dan dirusak. Jurang kemiskinan yang menyasar tubuh pun semakin mendalam.
Oohya! Baca juga ya:
Diponegoro Pergoki Residen Selingkuh, Selir Diponegoro Selingkuh dengan Asisten Residen
Indonesia sebagai negara agraris dan bahari bertumpu pada sumber daya alam. pada 2017, menurut data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), terdapat 3.8 juta perempuan nelayan terlibat dalam produksi perikanan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah petani pada 2019 adalah 33,4 juta orang. Hampir 24 persennya, sekitar delapan juta orang, adalah petani perempuan.
Ini masih belum termasuk mereka yang tidak direkognisi oleh negara ke dalam pencatatan resmi karena adanya stereotip bahwa pekerjaan perempuan adalah ibu rumah tangga. Maka, mereka tidak dihitung kontribusi ekonominya baik sebagai petani dan nelayan maupun pekerjaan domestiknya.
Norma sosial tradisional gender menempatkan perempuan di sektor domestik dan pekerjaan reproduktif saja. Di samping itu juga ideologi kebijakan negara tentang pembangunan yang tidak berpihak pada perempuan dan orang miskin.
Jeratan budaya patriarki yang mengakar ini telah menempatkan perempuan sebagai objek yang dihilangkan identitasnya. Baik itu di masyarakat maupun dalam kebijakan formal negara. Ini merupakan kondisi kerja yang tidak layak tentu saja.
Pada Hari Buruh Sedunia ini, hal itu perlu menjadi reungan. Penghilangan identitas itu adalah implikasi kebijakan developmentalisme negara. Kebijakan ini mendasarkan diri pada kebutuhan investasi dan politik elite tanpa memikirkan relasi menyeluruh antara perempuan dan alam.
Ma Roejan