Begini Ternyata Dampak Kekerasan Terhadap Perempuan Bagi Kesehatan Jiwa Korban
Angka kekerasan terhadap perempuan yang berdampak pada kesehatan perempuan ternyata cukup tinggi. Catatan tahunan Komnas Perempuan menyebutkan, ada 24.529 kasus kekerasan seksual terjadi sepanjang tahun 2018 hingga 2023. Di antara kasus tersebut, 23 persen atau sebesar 5.654 kasus merupakan kasus perkosaan.
Kondisi ini diperberat dengan adanya kekerasan di ruang kesehatan yang dilakukan oleh tenaga medis. Pada Catahan Tahun 2022, terdapat pengaduan secara langsung terjadinya kekerasan yang berasal dari enam ruang layanan medis dengan pelaku kekerasan adalah empat orang dokter.
Dampak lain juga muncul pada kesehatan jiwa perempuan. Hasil pemantauan Komnas Perempuan pada tahun 2021 di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Abepura menemukan sekitar 50 persen perempuan yang dirawat di RSJ adalah korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Sayangnya, layanan kesehatan perempuan masih menghadapi tantangan terkait akses dan sarana prasarananya. Akibatnya, angka kematian ibu masih tinggi.
Pada 2022 tercatat 207 per 100 ribu kelahiran hidup. Ini menunjukkan bahwa derajat kesehatan yang setinggi-tingginya belum bisa dinikmati oleh perempuan di Indonesia.
“Kondisi saat ini belum memperlihatkan pemenuhan hak atas kesehatan yang optimal, seperti masih terbatasnya akses dan layanan kesehatan secara umum, dan layanan kesehatan yang diperuntukkan khusus bagi perempuan,” kata Komisioner Komnas Perempuan Retty Ratnawati, dalam pernyataan persnya menyambut Hari kesehatan 12 November 2024.
Jumlah Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) misalnya hingga Juni 2024 hanya 333 unit dari 514 kabupaten/kota. Jumlah ini belum diiringi dengan ketersediaan tenaga profesional seperti konselor, psikolog klinis, pekerja sosial dan pendamping hukum.
Pada isu kesehatan jiwa, pada 2022 Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa fasilitas layanan kesehatan jiwa di Indonesia masih belum merata. Hanya sekitar 50 persen dari 10.321 Puskesmas di Indonesia yang mampu memberikan layanan kesehatan jiwa dan hanya 40 persen rumah sakit umum memiliki fasilitas pelayanan jiwa.
Jumlah psikiater juga masih terbatas. Hanya sekitar 1.053 psikiater. Berarti, satu psikiater melayani sekitar 250 ribu penduduk. Ini jauh di bawah standar WHO yang merekomendasikan rasio satu psikiater untuk setiap 30 ribu penduduk.
Kondisi demografi Indonesia yang luas dan berbentuk kepulauan juga memberikan persoalan tersendiri. Hingga kini layanan kesehatan di wilayah daratan belum optimal apalagi di daerah kepulauan, wilayah terpencil dan tertinggal lainnya.
“Daerah-daerah ini menghadapi tantangan-tantangan yang lebih berat lagi dalam hal sarana, prasarana, sumber daya manusia dan kondisi alam yang ekstrem serta sulit dikendalikan. Akibatnya pemenuhan akses dan layanan kesehatan, terutama bagi perempuan makin terjauhkan karena jarak yang jauh atau melalui transportasi air menuju ke pusat layanan kesehatan,” kata Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini.
Menurut Iswarini, jauhnya akses dan layanan kesehatan ini berdampak lebih lanjut bagi perempuan korban kekerasan berupa pemiskinan struktural. Kondisi ini sesungguhnya telah diingatkan oleh Pelapor Khusus Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak atas Kesehatan kepada Indonesia, Dainius Puras, pada Seri Dokumen Kunci Komnas Perempuan Tahun 2019.
Pelapor Khusus merekomendasikan kepada Negara Pihak agar:
(1) kebijakan, program, dan layanan kesehatan didasarkan pada pendekatan berbasis hak asasi manusia, dengan penekanan kuat pada prinsip-prinsip kesetaraan, non-diskriminasi, transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas;
(2) menangani angka kematian ibu dan anak di bawah usia 5 tahun (balita), antara lain dengan merujuk pada Strategi Global dari WHO untuk kesehatan perempuan, anak-anak dan remaja (2016–2030);
(3) menghormati, melindungi dan memenuhi hak kesehatan perempuan dan anak perempuan dengan menghilangkan hambatan terhadap hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi mereka, mengakhiri kriminalisasi aborsi, memastikan akses ke layanan aborsi, dan memberikan informasi, layanan, dan produk kesehatan seksual dan reproduksi, khususnya pendidikan seksual yang komprehensif, sensitif terhadap usia dan inklusif di sekolah menengah; dan
(4) memastikan perlindungan komprehensif bagi perempuan terhadap semua bentuk kekerasan berbasis gender dengan menangani, tanpa penundaan, celah yang ada di dalam undang-undang dan dalam praktik, untuk memastikan kesetaraan substantif dan kemampuan perempuan menikmati hak atas kesehatan dan hak terkait.