Hilang Sudah Suara Perempuan di Pilpres 2024, Apa Kata Kartini?
Di tengah suasana hiruk pikuk kaum laki-laki memiliki persoalan etika selama Pilpres 2024, menyembul berita para ibu hobi membawa tas mewah. Apa yang bisa diharapkan dari para perempuan yang membiarkan suaminya atau anaknya melakukan pelanggaran etika?
Peristiwa-peristiwa itu muncul tanpa sebab. Seperti terjerat rentenir, atau sekarang terjerat pinjol, sehingga seluruh anggota keluarga dan kerabat dekat dilibatkan.
Ada yang membantu dengan merebut partai yang tidak sejalan seiringan. Ada pula yang membantu meloloskan anak muda istimewa agar bisa ikut kontes pilpres. Suara perempuan hilang selama pilpres 2014.
Tapi apakah para pelanggar etika itu semata karena kesalahan kaum perempuan? Pada 1901, Kartini sudah memberi peringatan.
Oohya! Baca juga ya:
Bung Karno tidak Berpuasa Saat Ramadhan 1945, Ini Alasan Ia Minum Air Soda
“Dan orang tidak boleh terlalu menyalahkan mereka yang budi pekertinya tetap jelek meskipun pikirannya cerdas benar. Sebab dalam kebanyakan hal, kesalahannya tidak terletak pada mereka sendiri, melainkan pada pendidikan mereka,” ujar Kartini kepada Ny RM Abendanon, dalam suratnya tertanggal 21 Januari 1901.
Benar, kaum perempuan adalah penjaga moral, dan Kartini meyakini itu. “Di pangkuan perempuanlah seseorang mulai belajar merasa, berpikir, dan berkata-kata,” kata Kartini.
Tapi setelah dewasa, mereka ternyata tidak bisa lagi merasa. Orang lain melihatnya telah melanggar etika, tetapi dirinya tidak merasa melanggar etika. “Etika ndhasmu.”
Kartini mengakui, “dari perempuanlah manusia itu pertama-tama menerima pendidikan”. Pendidikan awal itu dianggap Kartini sangat memiliki arti.
Oohya! Baca juga ya:
Diponegoro Sudi Berpuasa di Magelang Setelah Dipanggil Sultan oleh Perwira Belanda
“Dan makin lama makin jelaslah bagi saya bahwa pendidikan yang mula-mula itu bukan tanpa arti bagi seluruh kehidupan,” kata Kartini.
Diponegoro menjadi pemuda kuat karena ada penjaga moral di sampingnya. Istri Hamengkubuwono I yang mengasuh Diponegoro di Tegalrejo, memberinya bekal yang cukup agar Diponegoro bisa menjaga moral.
Tapi adiknya, yang tinggal di keraton, tidak didampingi oleh para penjaga moral. Ketika adiknya, Hamengkubuwono IV menjadi raja pada usia 10 tahun, Diponegoro yang dekat dengan adiknya itu tersingkir karena tindakan ibu suri, sehingga adiknya kemudian memihak Belanda dan tergila-gila pada gaya hidup Barat.
Ketika keponakannya naik tahta pada usia dua tahun, lagi-lagi Diponegoro tersingkir –meski ia menjadi walinya yang sah-- akibat tindakan para perempuan yang seharusnya menjadi penjaga moral keraton itu. Pengaruh perempuan-perempuan yanag mengabaikan moral itu begitu besar sehingga raja-raja belia itu memilih berlindung kepada Belanda.
“Perempuan sebagai pendukung peradaban,” kata Kartini kepada sahabatnya, Stella, dalam suratnya tertanggal 9 Januari 1901.
Lalu, pada 21 Januari 1901, kepada Ny RM Abendanon, Kartini juga menyinggung soal itu. “Perempuan sebagai pendukung peradaban. Bukan, bukan karena perempuan yang dianggap cakap untuk itu,” kata Kartini.
Oohya! Baca juga ya:
Cicipi Sukiyaki, Bung Karno Lalu Bantu Jepang Usir Belanda
Melainkan, lanjut Kartini, “Karena saya sendiri juga yakin sungguh-sungguh bahwa dari perempuan mungkin akan timbul pengaruh besar, yang baik atau buruk akan berakibat besar pada kehidupan: bahwa dialah yang paling banyak dapat membantu meninggikan kadar kesusilaan manusia.”
Kartini mengakui, memang sudah begitu banyak kaum laki-laki mengusahakan kecerdasan pikirannya pada masa itu. “Tetapi apa yang telah diperbuatnya untuk pembentukan budi pekerti mereka? Sesuatu pun tidak ada!” kata Kartini.
Itulah sebabnya, Kartini sebagai perempuan penjaga moral perlu mengingatkannya. Sebagaimana halnya istri Hamengkubuwono I yang mengasuh Diponegoro sejak kecil, memberinya bekal yang cukup.
Diponegoro mendapat pendidikan dari neneknya berupa pendidikan ala pesantren. Lalu setelah remaja ia rajin membaca berbagai buku baik sastra Jawa maupun sastra Islam.
Karya sastra, diakui atau tidak menyajikan nilai-nilai moral yang diperlukan oleh anak bangsa. Maka, ketika Hamengkubuwono IV masih dekat dengannya, Diponegoro selalu mendorongnya untuk selalu membaca buku-buku sastra yang ia berikan.
Oohya! Baca juga ya:
Dipimpin Raja Muda Belia Sultan Hamengkubuwono IV, Keraton Yogyakarta Alami Kemerosotan Moral
Tapi ada kekuatan yang lebih besar menarik adiknya itu, sehingga tergulung oleh peradaban Barat yang tidak sesuai dengan norma-norma Timur. Keraton mengalami kemerosotan moral.
Kini entah peradaban dari mana yang sedang menggulung bangsa Indonesia, ketika para penyelenggara negara benar-benar telah mengabaikan etika. Suara perempuan benar-benar hilang, tertelan gegap gempita semangat ingin terus berkuasa.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
- 100 Tahun Wafatnya Pahlawan Diponegoro karya Kementerian Penerangan RI (1955)
- Sultan ‘Abdulkamit Herucakara Kalifah Rasulullah di Jawa 1787-1855 karya KRT Hardjonagoro, Dr Soewito Santoso, dan kawan-kawan (1990)
- Surat-Surat Kartini, penerjemah Sulastin Sutrisno (1985, cetakan ketiga), diterjemahkan dari Door Duisternis tot Licht.
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]