Lincak

Sukarno, G30S/PKI, Kopi, dan Endokterinasi

Sukarno, Hatta, dan cangkir kopi. Sukarno biasa menyeduh sendiri kopi tubruk tiap pagi, termasuk pada satu pagi setelah peristiwa G30S/PKI. Sumber: istimewa

Peristiwa G30S/PKI menguncang Indonesia pada 1965. Banyak koran kemudian menampilkan sisi lain mengenai Presiden Sukarno untuk mengimbangi berita-berita mengenai kudeta yang gagal itu.

Presiden Sukarno ditampilkan sebagai sosok yang tetap tenang. Ia, misalnya, digambarkan masih bisa menyeduh kopi sendiri, seperti yang biasa ia lakukan sebelum terjadinya peristiwa G30S/PKI.

Bagaimana dengan nasib indoktrinasi Sukarno mengenai demokrasi terpimpin? Eh, endokterinasi, kata Ruslan Abdulgani.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Pada Agustus 1965, Presiden Sukarno masih menandatangani kontrak dengan pabrik pesawat Fokker, Belanda. Indonesia hendak membeli pesawat Fokker dan pembayarannya menggunakan komoditas seperti karet, kopra, minyak, rempah, teh, dan kopi.

Kopi, yang ditanam oleh Belanda di Indonesia, menjadi salah satu produk yang dibanggakan Sukarno. Film dokumenter yang dibuat sutradara Belanda pada 1999 menampilkan sajian kopi. Film itu menceritakan pertemuan rahasia Sukarno dan Ratu Juliana pada 1949.

Hubungan perdagangan Indonesia dengan Rusia juga melibatkan kopi. Perjanjian dagang tahunan Indonesia-Soviet yang ditandatangani pada 1956 menyebut, Rusia mengirim mesin, produk kimia, dan alat-alat teknis ke Indonesia, sedangkan Indonesia mengekspor karet, kopra, teh, dan kopi ke Rusia.

Ketika Putri Beatrix menikah pada 1966, Sukarno mengirim hadiah satu set peralatan minum kopi, hasil kerajinan perak Yogyakarta. Koran Belanda pun lantas membuat karitakur sinis mengenai Sukarno.

Het Vrije Volk pada 13 Agustus 1966 memuat karikatur itu: Sukarno dengan baju seragamnya dan berpeci, sedang membawa baki berisi alat minum kopi. Maleise Koffie (Kopi Melayu) ditulis di karikatur itu.

Ada pula kalimat lain: “...sekarang dengan konfrontasinya, ia datang untuk minum kopi”. Rupanya, koran Belanda masih dendam dengan Indonesia.

Belanda tidak mengakui kemerdekaan Imdonesia, sehingga melakukan agresi militer dan kemudian membentuk Republik Indonesia Serikat, yang berakhir dengan Konferensi Meja Bundar. Sukarno dan Ratu Juliana pun diam-diam bertemu di Belanda pada 1949.

Setelah Republik Indonesia Serikat bubar, Sukarno membangkitkan semangat bangsa Indonesia dengan berbagai simbol sambil mengendalikan perselisihan politik yang sering muncul. Tercetuslah demokrasi terpimpin.

Indoktrinasi pun harus dilakukan. Menteri Penerangan Ruslan Abdulgani pun menyebut, indoktrinasi sering dipelesetkan oleh masyarakat menjadi endokterinasi.

Berita Terkait

Image

Benarkah PNI Ali - Surachman Dukung G30S/PKI?

Image

Ini Alasan Kegiatan Yayasan Raden Saleh Disetop Presiden Sukarno

Image

Mengapa Presiden Sukarno Hentikan Kegiatan Yayasan Raden Saleh dan Sita Gedung Sekolahnya?

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

oohya.republika@gmail.com