Setelah Diponegoro Jadi Buron 50 Ribu Gulden, Tombaknya Patah Tiga Saat Terjun ke Jurang untuk Menghindari Kejaran Tentara Belanda, Apa Artinya?
September 1829 menjadi bulan yang menyedihkan bagi Diponegoro selama Perang Jawa. Posisinya sudah melemah karena ditinggal orang-orang terdekatnya dan ia menjadi buron Belanda dengan hadiah 50 ribu gulden.
“Belanda yang sudah kehabisan akal itu mengeluarkan sebuah pengumuman berupa ‘hadiah khianat’ (istilah M Yamin SH),” tulis Sagimun SD. Jenderal De Kock mengeluarkan pengumuman untuk menangkap atau membunuh Diponegoro itu pada 21 September 1829.
“Barang siapa orang jahat berani mengerjakan suruhan itu, maka dia akan dimaafkan dan diberi upah. Dan barang siapa berani menangkap Diponegoro, mati atau hidup, maka dia akan diberi gelaran Pangeran dan dihadiahi uang sebesar 50 ribu rupiah perak, ditambah pula dengan tanah dan pangkat bergaji,” tulis Muh Yamin.
Maka, Diponegoro pun berpindah-pindah tempat untuk menghindari perburuan yang dilakukan oleh Belanda. Pada saat Diponegoro hendak bergerak dari Bogowonto-Progo menuju ke Pegunungan Kelir dan Bukit Menoreh, di belakangnya ada tentara Belanda.
Oohya! Baca juga ya:
Diponegoro yang membawa dua kuda, tidak bisa bergerak lagi karena di depannya ada jurang. Pilihan satu-satunya adalah terjun ke jurang itu disertai dengan desingan peluru dan tombak dari tentara Belanda.
Selamat dari kejaran Belanda, tetapi Diponegoro kehilangan dua kudanya. Ia hanya ditemani pengiringnya, dua punakawan kontet, yaitu Bantengwareng dan Joyosuroto.
Harus melanjutkan perjalanan ke Kelir, Diponegoro harus mencari kudanya terlebih dulu. “Barangkali kuda itu sudah tidak ada lagi,” kata Bantengwareng.
Di jurang itu, Diponegoro hanya menemukan tombak yang ia bawa sudah patah menjadi tiga. “Orang berkata, patah tiga itu artinya kekuasaan akan hilang. Benar juga hal ini, karena ia kehilangan Mangkubumi dan Pangeran Ngabehi, dan matahari perjuangannya akan tenggelam,” tulis Muh Yamin.
Oohya! Baca juga ya:
Mangkubumi ditangkap Belanda, Pangeran Ngabehi gugur di medan perang di Pegunungan Kelir. Selain kedua orang ini, ada Tumenggung Wonorejo dan Tumenggung Wonodirjo yang menyerah bersama 44 prajuritnya pada 5 September 1829.
Pada 6 September 1829 menyerahlah Tumenggung Surodeksono. Pangeran Pakuningrat ditangkap Belanda pada 9 September 1829.
Pada Oktober 1829, pada saat Diponegoro harus belindung dari hutan ke hutan, panglima perangnya, Sentot Prawirodirjo juga menyerah setelah termakan bujuk rayu Belanda.
Belanda memenuhi permintaan Sentot. “Saya berpendapat bahwa adalah sangat penting untuk, apabila Sentot sekali sudah berada di pihak kita, makin lama makin mengikat dia pada ketinggian kita, sungguhpun hal ini harus disertai beberapa pengorbanan dari pihak kita,” tulis Jenderal De Kock kepada Gubernur Jenderal, tanggal 20 Oktober 1829, seperti dikutip oleh Sagimun MD.
Apa yang diminta Sentot? Uang sebesar 10 ribu gulden, peresetujuan pembentuan pasukan terdiri dari 1.000 orang beserta pakaian dan perlengkapannya, pasukan Sentot ini berada langsung di bawah gupernemen, tetap bebas menjalankan agama Islam, tidak adapaksaan minum jenewer, dan dizinkan prajurntya memakai surban.
Diponegoro yang sudah tidak memiliki kuda harus berjalan kaki ketika harus berpindah-pindah tempat. Kakinya sering sakit. Sering pula badannya mengalami demam.
Oohya! Baca juga ya:
Maka, Joyosuroto dan Bantengwareng merawat Diponegoro selama sakit. Setelah sembuh, baru melanjutkan perjalanan lagimmencai tempat yang lebih aman.
Di tempat persembunyian yang selalu berpindah-pindah itu, Diponegoro mendapat kunjungan dari pengikut-pengikutnya untuk menyampaikan kabar mengenai situasi Yogyakarta. Dengan segala penderitaan yang sudah dialami, ternyata tak ada yang tergiur oleh ‘hadiah khianat’ yang disediakan oleh Belanda untuk membunuh atau menangkap Diponegoro.
“Rakyat tinggal setia; tidak ada tangan Indonesia yang mau menerima uang khianat itu, sehingga terpeliharah keselamatan jiwa Diponegoro,” tulis Muh Yamin.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
- Dipanegara karya Muhammad Yamin (1952)
- Pahlawan Dipanegara Berdjuang karya Sagimun MD (1965)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com