Amangkurat I Mencekik Rakyat dengan Berbagai Pajak Secara Paksa, Raja Mataram Ini Juga Naikkan Harga Komoditas yang Dijual ke Kompeni
Desentraliasi yang diterapkan Raja Mataram Amangkurat I, tidak membuat rakyat bahagia. Sebab, di mata dia, penguasa yang berhasil mengeruk pendapatan dari rakyatlah yang ia pandang sebagai penguasa terbaik.
Maka, rakyat akan terus-menerus dibebani pungutan pajak. Bupati Jepara, misalnya, untuk pelaksanaan gerebeg mulud, ia harus memungut pajak 1,75 ringgit dari rakyat biasa, 2,25 ringgit dari pemilik tanah, dan 3 ringgit dari penduduk yang berusaha di pelayaran.
Ia tidak pandang bulu dalam memungut berbagai pajak ini secara paksa. “Orang setiap hari mendengar ‘tidak lain dari berita tentang tindakan penangkapan, pembelengguan, pemerasan, dan lain-lain perbuatan tirani’,” tulis HJ De Graaf mengutip catatan Belanda.
Oohya! Baca juga ya: Ini Sebab Cendrawasih Disebut Burung Surga, oleh Micahel Idol dari Papua Dijadikan Sebagai Karakter Cerita Anak
Hingga akhirnya, ketika mengeruk harta rakyat kurang bisa diandalkan untuk menambah kekayaan Mataram, Amangkurat I memikirkan kemungkinan melakukan perdagangan luar negeri. Pilihannya, Amangkurat I harus menerapkan monopoli dagang.
Untuk mendukung rencana itu, ia harus membuka kembali pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara Jawa. Tapi para penguasa pesisir yang tidak mau ada monopoli Mataram, berusaha menghambat pembukaan kembali pelabuhan-pelabuhan oleh Mataram.
Pada 1656, pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara ditutup. Karena kapal-kapal pedagang Eropa tidak boleh berlabuh, utusan-utusan Kompeni dari Batavia yang dikiirim ke Mataram tidak boleh mendarat.
Penutupan pelabuhan bermula dari adanya kapal-kapal yang bandel. Amangkurat I membuat aturan, setiap kapal dagang yang berlabuh harus membawa serta pendamping wakil Kompeni.
“Rupanya, ketentuan ini sudah bertahun-tahun lamanya dilanggar secara diam-diam, dan mungkin pula dengan persetujuan para penguasa pesisir,” tulis De Graaf.
Untuk memaksa munculnya ketaatan, Amangkurat I melakukan kekerasan terhadap kapal-kapal dagang yang datang. Pelabuhan ditutup, maka kapal dagang tidak boleh berlabuh, utusan Kompeni tidak boleh datang.
Sebelum-sebelumnya, Kompeni rajin mengirim utusan ke Mataram. Rijklof van Goens tercatat berkali-kali diutus Kompeni mendatangi Mataram. Sebelum pelabuhan pesisir ditutup, Van Goes tercatat sudah lima kali berkunjung ke Mataram sampai 1654.
Oohya! Baca juga ya: Putri Solo Menari untuk Pernikahan Putri Juliana di Belanda dengan Iringan Gamelan yang Dimainkan di Jawa, Ini di Akhir 1936 dan Awal 1937 Lho
Bukan hanya Van Goens yang menjadi utusan Kompeni. Ada pula Hendrick van Gent yang menjadi utusan pada 1653 didampingi pedagang Johan Grevenraet dan Pieter Elsevier. Tapi, kapal Van Gent yang telah berkali-kali berlabuh di pelabuhan tidak mendapatkan beras yang diperlukan.
Padahal Van Gent diterima dengan upacara resmi di Keraton Plered. Ia disebut sebagai sahabat Mataram dan beras dari Mataram hanya untuk Kompeni.
Amangkurat I menyatakan, ia sedang menghukum orang Banten dan Bali, dengan melakukan larangan ekspor beras. Jadi, jika ada pedagang dari Banten dan Bali berlabuh, mereka tidak akan diberi beras.
Ternyata, yang terjadi di lapangan berbeda dengan keinginan Raja Mataram Amangkurat I. Kapal Van Gent juga tidak dilayani ketika ingin membeli beras, sehingga tak ada pajak yang didapat dari beras.
Van Goens kemudian dikirim kembali sebagai utusan pada 1654 didampingi pedagang Gysbert van der Maen dan Wilhem Maetsuyker. Selain harus pulang dengan membawa komoditas, Van Goens juga ditugasi untuk membujuk Amangkurat I agar bersedia membantu Kompeni memerangi kapal-kapal Makassar.
Mataram tidak bergairah melawan Makassar yang sama-sama Islam. Tapi, pada saat dua kapal Makassar membuang sauh di Jepara, Van Goens menyerangnya, sehingga membuat Amangkurat I menghentikan pengiriman utusan ke Batavia.
Oohya! Baca juga ya: Kisah Ten Dudas, 10 Duda Penyintas Tsunami Aceh Membangun 200 Rumah Darurat Dibantu Posko Jenggala
Pada 1654, Van Goens beranji kepada Amangkurat I memberi hadiah seekor kuda Presia bertali kendali emas. Ketika Winrick Kieft datang pada 1655 sebagai utusan Kompeni dengan membawa hadiah yang tidak sesuai yang dinajikan oleh Van Goens, Amangkurat I kesal.
Bagaimana tidak kesal. Sedang sibuk membangun ibu kota baru, utusan Kompeni membawa hadiah yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan dan mendengar kabar Kompeni menerima utusan dari Bali dan adanya perdamaian Batavia-Banten.
Maka, Amangkurat I pun “menghukum” Kompeni dengan menutup pelabuhan. Tapi, rupanya, selama enam bulan pelabuhan ditutup, tidak membuat Mataram menjadi baik.
Mengandalkan pajak dari rakyat saja ternyata tidak mencukupi. Itulah sebabnya, Amangkurat terpikir untuk membuka pelabuan lagi dan menjalankan monopoli perdagangan luar negeri.
Untuk menyelesaikan penentangan dari para penguasa pesisir terhadap rencana pembukaan pelabuhan, Amangkurat I terbantu oleh pertikaian para penguasa pesisir yang saling fitnah telah mengirimkan beras ke Batavia. Padahal Amangkurat I melarang pengiriman beras kepada Kompeni.
Oohya! Baca juga ya: Tinggi Kandungan Litium, akankah Objek Wisata Bleduk Kuwu di Grobogan Ini Dijadikan Areal Pertambangan?
Memanfaatkan situasi ini, Amangkurat I akhirnya bisa mendapatkan kesepakatan monopoli, sehingga pembukaan pelabuhan pun lancar. Maka, harga-harga komoditas pertanian pun dinaikkan, sehingga membuat jengkel para pedagang Eropa.
Amangkurat I menaikkan harga 30 persen sampai 300 persen. Misalnya, beras sekoyan, dari 15 riyal Spanyol menjadi 30 riyal Spanyol. Sekoyan garam, dari lima riyal Spanyol menjadi 15 riyal Spanyol. Sekoyan sekitar 2.000 kilogram.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I karya Dr HJ de Graaf (1987)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com