Lincak

Komentar Sejarawan Belanda Mengenai Kekalahan Sultan Agung Mataram dari Kompeni dan Peristiwa Prajurit Mataram Ditembaki dengan Peluru Tinja

Rekontsruksi bangunan pintu gerbang di Batavia. Raja Mataram Sultan Agung dua kali menyerbu Kompeni di Batavia, namun gagal.

Catatan-catatan Belanda menulis detail peristiwa penyerbuan Mataram terhadap Batavia, tetapi mencatat peristiwa penembakan tinja ke pasukan Mataram sebagai kelakar. Babad Tanah Jawi mencatat peristiwa ditembakinya pasukan Sultan Agung Mataram dengan peluru tinja.

Menurut catatan Belanda, seperti yang ditulis oleh sejarawan Belanda HJ de Graaf, peristiwanya terjadi pada penyerbuan malam hari di tanggal 20 Oktober 1628. Saat itu pasukan Mataram menyerbu Benteng Maagdelijn, namanya diambilkan dari komandan benteng ini.

Benteng ini kemudian menjadi monumen kekalahan Sultan Agung yang oleh orang Jawa disebut Kota Tahi. “Orang Jawa bahkan membuat penjelasan etimologis populer tenang nama Batavia-Betawi melalui kata ambet, bau, dan tai,” tulis sejarawan Belanda Hj de Graaf.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Babad Tanah Jawi mencatat penembakan menggunakan peluru tinja ini terjadi pada saat Panembahan Puruboyo memberikan bantuan kepada pasukan Mataram. Ia yang sakti, tidak terkena tembakan dari pasukan Kompeni.

Oohya! Baca juga ya: Prajurit Sultan Agung Mataram Diminta Ambil Wudu Sebelum Menyerbu Batavia, Eh, Kompeni Tembaki Mereka dengan Peluru Tinja

Kompeni kehabisan peluru. Hingga akhirnya, Kompeni harus menggunakan peluru tinja setelah Panembahan Puruboyo menjebol benteng dengan jari telunjuknya.

Tembok benteng merekah, orang-orang Jawa berhamburan masuk melalui lubang tembok benteng itu. Untuk menggalau meereka, Kompeni menembakkan peluru tinja dari meriam-meriam yang telah kehabisan peluru.

Pasukan Mataram kemudian mundur. Bukan karena ditembaki tinja, tetapi karena melihat adanya pasukan bantuan Kompeni yang datang ke arah mereka.

Keesokan harinya, 21 Oktober 1628, menurut catatan Gubernur Jenderal Kompeni JP Coen, Bupati Kendal Tumenggung Baurekso dan dua anaknya gugur. Gugur di medan pertempuran di luar benteng.

“Membaca keterangan Belanda tentang kedua pengepungan terhadap Batavia, diakui atau tidak para prajurit Jawa memiliki beberapa kelebihan,” tulis De Graaf.

Rencana penyerbuan mendadak dari Sultan Agung, kata De Graaf, “Mengandung sesuatu yang megah dan istimewa.” Serangan itu memperlihatkan betapa prajurit Mataram sangat disiplin, berani bertempur, dan bisa bertempur dengan cara tempur Barat.

Oohya! Baca juga ya: Ini Arti Ndhasmu Etik, Makian Jawa karena Kesal Bukan karena Ingin Bercanda

Mengepung kota yang dilindungi benteng ala Eropa, merupakan hal baru bagi Mataram. Tetapi, Mataram bisa menjebol benteng Batavia, meski ada juga benteng yang hanya dijaga oleh 12 serdadu Kompeni tak bisa mereka kalahkan.

Sultan Agung pada akhirnya memang gagal. Pada penyerbuan pertama pada 1628 maupun penyerbuan kedua pada 1629, ia mengalami kekalahan.

“Penyebab kegagalan mereka terletak pada kurangnya perawatan, kurangnya daya tembak dibandingkan dengan kemampuan orang Eropa, serta postur tubuh yang lebih kecil,” tulis De Graaf.

Usaha pembendungan Sungai Ciliwung gagal karena musim hujan di Batavia turun lebih awal dibandingkan musim hujan di Surabaya. Di Surabaya pada 1625, pasukan Mataram berhasil membendung Sungai Brantas, sehingga membuat kesuksesan Mataram menaklukkan Surabaya.

“Pendek kata, Raja Mataram belum pernah mencoba mengadakan aksi yang daris egi militer nyaris mustahil seperti pengepungan Batavia; karena itu, rasa kecewa semakin terasa,” tulis De Graaf.

Dengan teriakan, pasukan Mataram bisa maju melakukan serbuan dashyat ke benteng Batavia. Meriam-meriam juga dikerahkan untuk melakukan tembakan-tembakan kea rah benteng.

Oohya! Baca juga ya: Dapat Laporan Untung Suropati Hanya Sakit Perut Setelah Minum Racun, Kompeni Mengumpat Patih Mataram

“Betapapun jerih payah dan kekuatannya, ia tidak dapat menaklukkan Batavia, dan ia harus mundur tanpa hasil,” tulsi De Graaf mengutip catatan Valentijn mengenai serangan Sultan Agung ke Batavia.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Puncak Kekuasaan Mataram karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
oohya.republika@gmail.com

Berita Terkait

Image

Siapa Budak yang Jadi Pahlawan Nasional di Indonesia?

Image

Banjarmasin Dua Abad Tolak Monopoli Kompeni, Dihapus Belanda pada 1860

Image

Mataram Tutup Pelabuhan, Banjarmasin Punya Benteng Terapung, Apa Gunanya?