Lincak

Kisah Guru Kakek Sultan Agung yang Pernah Menjadi Marbot dan Menemukan Emas di Kulah Masjid, Lalu Apa yang Dilakukan Mantan Perampok Itu?

Guru kakek Sultan Agung pernah menjadi marbot masjid, tugasnya mengisi kulah masjid. Saat hendak mengisi kulah ia menemukan emas memenuhi kulah. Apa yang kemudian ia lakukan?

Meninggal pada tahun 1592 Masehi, ia menampakkan diri di depan Sultan Agung yang menjadi raja Mataram sejak 1613. Guru Panembahan Senopati itu memang dikenal bisa menampakkan diri di berbagai tempat dalam sekali waktu ketika masih hidup.

Panembahan Senopati, kakek Sultan Agung, pernah dikritik soal rumah tanpa pagar. Sebab itu tanda kesombongan. Guru kakek Sultan Agung itu adalah Sunan Kalijaga, yang pada masa mudanya adalah seorang perampok.

Sebelum menjadi wali, ia suka bertapa di pinggir sungai. Dari situlah ia mendapat nama Kalijaga sebelum kemudian pergi ke Cirebon menyamar menjadi marbot masjid dan menemukan emas di kulah masjid. Apa yang kemudian ia lakukan?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Guru Kakek Sultan Agung Meninggal, Lebih dari 20 Tahun Kemudian Menampakkan Diri di Depan Sultan Agung

Saat bersemedi, jika diserang kantuk, ia mengambang menghanyutkan diri di sungai, sambil memegang obor dan seludang kelapa yang sudah kering. Ia memperoleh kesaktian berkat rajin bertapa itu. Karena kesaktiannya itu pula, obor yang ia bawa saat menghanyutkan diri di sungai, tetap menyala kendati terbenam di dalam air.

Jangan salah sangka bahwa kegiatan bertapa itu selama 24 jam dalam sehari terus bersemedi. Tidak.

Bertapa adalah hidup menyepi dari keramaian. Sehari-hari melakukan aktivitas biasa: makan, tidur, berkegiatan, shalat, dan sebagainya.

Di sela kegiatan itu, ada kegiatan bersemedi. Sunan Kalijaga bersemedi di pinggir kali pada malam hari, sehingga ia kemudian mendapat nama Kalijaga. Semula ia adalah seorang pemuda yang hidupnya mengandalkan dari merampok.

Nama kecilnya adalah Raden Said. Sebelum menjadi pertapa, Raden Said pernah mengadang Sunan Bonang di tengah jalan.

Oohya! Baca juga ya:

Paman Sultan Agung Membunuh Dua Prajurit Tuban, Jadi Bukti akan Memberontak ke Ayah Angkat di Pajang?

"Aku sedang bekerja, pekerjaanku ialah menyamun," kata dia sewaktu ditanya Sunan Bonang.

Tak mau dirampok, Sunan Bonang lalu menyarankan Raden Said agar merampok orang yang lewat besok pagi. Sunan Bonang memberi tahu, besok pagi akan lewat seorang berpakaian hitam dengan bunga wura wari di telinga.

Orang itulah yang pantas dirampok oleh Raden Said. Raden Said memenuhi saran Sunan Bonang, tapi tiga pagi berlalu tak juga lewat itu orang.

Baru pada pagi keempat, orang dengan ciri-ciri yang disebutkan oleh Sunan Bonang itu melintas. Raden Said, yang kelak menjadi guru kakek Sultan Agung itu, pun mengadangnya.

Tiba-tiba, orang itu menjadi empat, datang dari arah yang berbeda. Ketika Raden Said memandang ke timur, ke utara, ke barat ke sekatan, ia selalu terlihat sosok yang sama.

Ia terduduk lemas. Lalu meminta ampun kepada empat sosok berpakaian hitam bersumping bunga wura-wari itu, lalu meminta izin dibolehkan menjadi muridnya, dan berhentik sebagai perampok.

Oohya! Baca juga ya:

Benarkah Hanya Presiden Jokowi yang Rayakan Lebaran Idul Fitri di Luar Jakarta? Bung Karno....

Orang sakti berpakaian hitam itu tak lain adalah otang yang empat lagi hari hendak dirampok Raden Said. Dialah Sunan Bonang.

Sebelum menerima Raden Said sebagai muridnya, Sunan Bonang memberinya tombak pendek. Ia meminta Raden Said menjaganya selama ia pergi.

Kepada Raden Said --yang kelak menjadi guru kakek Sultan Agung, Sunan Bonang mengatakan, jika Raden Said bersungguh-sungguh hendak berguru, ia tidak boleh pergi dari tempat itu. Raden Said menyanggupi.

Tapi Sunan Bonang tidak pergi dalam satu-dua hari lalu kembali. Sunan Bonang baru kembali setahun kemudian.

Tempat Raden Said menjaga tombak pendek pemberiannya sudah berubah menjadi hutan. Sunan Bonang mengucapkan sesuatu, pepohonan itu lenyap dari pandangannya, dan terlihat Raden Said sedang menjaga tombaknya.

Oohya! Baca juga ya:

Ikut Garebek (Grebeg) Besar di Demak Disebut Setara dengan Naik Haji, Lho Lho Lho Bagaimana Urusannya?

Tapi, Sunan Bonang tidak menyapa Raden Said. Ia segera pergi lagi, baru setahun kemudian datang lagi.

Raden Said tetap masih ada di lokasi menjaga tombak pendek. Raden Said benar-benar teguh memegang amanah Sunan Bonang.

Sunan Bonang pun menerimanya sebagai murid. Ia mengajari Raden Said ilmu tentang cara berbakti kepada Sang Pencipta. Setelah cukup, Sunan Bonang meminta Raden Said pergi.

Raden Said pun pergi mencari tempat untuk bertapa. Selama setahun ia menjadi pertapa di pinggir kali.

Ia selalu bersemedi tiap malam. Ia akan menceburkan diri ke kali jika kantuk menyerang. Ia kemudian dikenal sebagai Kalijaga.

Selesai bertapa, guru kakek Sultan Agung itu pergi ke Cirebon dengan cara menyamar. Ia menjadi marbot masjid, yang bertugas mengisi kulah masjid.

Oohya! Baca juga ya:

Diponegoro Seharusnya Berbahagia, tapi Ia Nelangsa Amat di Hari Lebaran Kali Ini

Kulah adalah bak air yang volumenya memenuhi syarat untuk bersuci. Kulah berasal dari bahasa Arab, qullah.

Arti kulah, menurut KBBI: ukuran banyaknya air yang menggenang yang dapat digunakan untuk mencuci dan berwudu (dua kulah ialah banyaknya air yang menurut ukuran 1,25 hasta panjang, lebar, dan tinggi). Arti pertama di KBBI adalah: tempat menyimpan air yang dibuat dari batu; bak air.

Sunan Gunungjati sangat kagum pada ketekunan marbot itu. Suatu malam, saat kulah sudah kosong, Sunan Gunungjati mengisinya dengan emas.

Menjelang Subuh, Sang Marbot kaget ketika hendak mengisi kulah, ternyata kulahnya penuh dengan emas. Ia lalu memakai emas itu untuk melapisi dasar kulah.

Saat Sunan Gunungjati hendak mengambil wudhu, ia melihat emasnya sudah dipakai untuk dasar kulah. Ia pun berkesimpulan bahwa marbot itu adalah Sunan Kalijaga.

Sunan Gunungjati mengambilnya sebagai menantu.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Babad Tanah Jawi Buku I, penerjemah Amir Rokhyatmo dkk, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com

Berita Terkait

Image

Kisah Organisasi Garong Diteriaki Sebagai Perampok