Bahasa Indonesia, Penyerapan Bahasa Asing Berdasarkan Adaptasi Lafal Masih Mungkinkah?
Sejauh ini, Bahasa Indonesia hanya mengatur bunyi huruf e. Ada e taling, ada e pepet. Bahasa Indonesia tidak mengatur secara khusus bunyi huruf u dan a. Jadi, tulisan bus ya seharusnya dibaca bus, tulisan bujet ya seharusnya dibaca bujet. Tulisan musala ya seharusnya tetap dibaca musala. Dan sebagainya.
Tapi, sayangnya, orang Indonesia banyak yang sudah kadung mengenal bunyi eja dari bahasa aslinya sebelum ada bentuk tulisan bakunya dalam bahasa Indonesia. Maka, musala dibaca musola. Ini gawat, jika tetap membaca musala lalu dicap sebagai sekuler, tidak pernah mengaji.
Oohya! Baca juga ya: Lucunya Bahasa Indonesia, Punya Kata yang Jika Dibaca Sesuai Ejaannya Malah Ditertawakan Orang
Sebenarnya bahasa Indonesia memiliki peluang menyerap kata berdasarkan pelafalan, yaitu lewat penyerapan berdasarkan adaptasi. Penyerapan adaptasi dilakukan dengan menyesuaikan ejaan dan bunyi (lafal).
Sebelum ada kaidah penyerapan bahasa asing, orang-orang Indonesia zaman dulu sudah menyerapnya berdasarkan pelafalan. Ini masuk ke kaidah penyerapan adaptasi. “Chauffeur” menjadi “sopir”, “cadeau” menjadi “kado”. Alangkah bingungnya pengguna bahasa Indonesia jika “chauffeur” diserap berdasarkan adaptasi ejaan menjadi “caufer”, lalu harus membacanya: “sopir”.
Oohya! Baca juga ya: Badan Bahasa akan Adakan Kelas Mahir Penyusunan Kamus Berbasis Korpus
Tetapi, setelah kadiah penyerapan ditetapkan, penyarapan berdasarkan adaptasi, yang lebih sering digunakan adalah adaptasi ejaan. “Budget” menjadi “bujet”, bukan menjadi “bajet”; “cluster” menjadi “kluster”, bukan menjadi “klaster”, “mushala” menjadi “musala” bukan menjadi “musola” atau bukan tetap mempertahankan ejaan aslinya “mushala”. “Research” menjadi “riset” (Jika diserap berdasarkan adaptasi ejaan, bagaimana bentuk dalam bahasa Indonesianya?)
Oohya! Baca juga ya: Dibuka Pendaftaran Pemakalah dan Peserta untuk Kongres Bahasa Indonesia (KBI) XII
Bahasa-bahasa lain memiliki kekhasan ketika menyerap bahasa asing berdasarkan pelafalan (adaptasi berdasarkan lafal). Seperti penyerapan ke dalam bahasa Indonesia di masa lalu, penyerapan berdasarkan pelafalan itu menjadikan kata serapan seperti “asli” dari bahasa Indonesia. Siapa yang mengira sopir berasal dari “chauffeur”? Ini kata Prancis yang diserap sesuai ejaan aslinya ke bahasa Belanda, lalu kita menyerapnya dari Belanda menjadi sopir, hampir mirip dengan cara orang Belanda melafalkannya: “Syofier”. Naturalisasi ejaan ini mematikan ejaan aslinya.
Oohya! Baca juga ya: Untuk Menghargai Masyarakat Melayu, Kongres Bahasa Indonesia (KBI) II 1954 Diadakan di Medan
Bahasa Prancis menyerap self service berdasarkan pelafalan menjadi le self. Beef steak menjadi le biftek, roast beef menjadi le rosbif. Ketika orang Indonesia mendengar kata-kata Jepang seperti erebata, nekutai, sarada, bifuteki, apputodeito, gurama, haikurasu, masukomi, moga, dan purodakuchibichi, apakah akan mengatakan kata-kata itu sebagai asli Jepang? Ternyata kata-kata itu serapan dari bahasa Inggris.
Oohya! Baca juga ya: Mengapa Kongres Bahasa Indonesia (KBI) I Tahun 1938 Diadakan di Solo?
Erebata dari elevator, nekutai dari neck tie, sarada dari salad, bifuteki dari beef steak, apputodeito dari up to date, gurama dari glamour, haikurasu dari high class, masukomi dari mass communication, moga dari modern girl. Orang Jepang juga menjepangkan smart menjadi sumato, newly rich menjadi nyuu ritchi. Sedangkan, purodakuchibichi dari productivity. "Meski panjang, tapi ini lebih nyaman di lidah Jepang," ujar Bill Bryson, penulis Mother Tounge, tentang purodakuchibichi.
Oohya! Baca juga ya: Anekdot Bahasa, Gara-gara Salah Ucap "Lagi" Jadi "Laki"
Ejaan aslinya telah mati, dan membentuk kata-kata baru yang sama sekali berbeda dengan bahasa aslinya. Semua itu bisa dilakukan lewat penyerapan berdasarkan adaptasi lafal.
Tetapi, tentu tidak untuk “fashion” yang diserap berdasarkan adaptasi lafal menjadi “fesyen”. Tidak juga untuk "fashionista" yang diserap menjadi "fesyenista". Mengapa? Penggunaan keduanya membuat pusing kepala.
Oohya! Baca juga ya: Dari Mana Asal Akhiran in yang Digunakan dalam Bahasa indonesia?
Seorang kolega pernah bercerita, di sebuah kementerian ada rencana promosi busana Indonesia. Debat terjadi ketika membahas soal nama acara. Ada yang usul Peragaan Busana, ada yang usul pula Peragaan Mode. Kolega ini lalu menjeda diskusi: Jika ingin mempromosikan ke bangsa lain, mengapa dengan bahasa yang tidak dikenal mereka? Mengapa tidak menggunakan nama acara Fashion Show saja?
Oohya! Baca juga ya: 2 Mei 1926, Muh Yamin Marah karena Tabrani Menolak Usulan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Persatuan
Memang, acara-acara peragaan busana selama ini selalu menggunakan nama dalam bahasa Inggris. Ada Jakarta Fashion Week, Jakarta Muslim Fashion Week, Indonesia Fashion Week, dan sebagainya. Lalu media menulis berita menggunakan kata “fashion” untuk merujuk pada nama acaranya dan “fesyen” untuk menyebutnya dalam bahasa Indonesia. Dalam satu kalimat keduanya bisa disebut, seperti: Acara Jakarta Fashion Week memperkenalkan fesyen Indonesia yang menggunakan wastra Nusantara.
Oohya! Baca juga ya: Inilah Kronologi Munculnya Nama Bahasa Indonesia pada 1926. Tabrani Pencetusnya
Daripada memusingkan begini, ya sudah kata serapan “fesyen” berdasarkan adaptasi lafal itu tidak usah digunakan. Lebih baik dikeluarkan juga dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Priyantono Oemar