Sultan Agung Melempar Tawanan ke Kolam Buaya, Ini Tanggapan Kompeni Atas Hukuman Mati Itu
Raja Mataram Sultan Agung memerintahkan semua orang Belanda yang menjadi tawanan di Mataram diborgol. Pimpinan para tawanan itu dipisahkan dari tawanan lainnya.
Pimpinan tawanan itu, Antonie Paulo, lalu diadili ke pengadilan Raja. Karena kesalahannya, ia dijatuhi hukuman mati.
Antonie Paulo dilempar ke kolam buaya pada 15 September 1642. Buaya-buaya menyantapnya.Apa tanggapan Kompeni?
Oohya! Baca juga ya:
Kakek Sultan Agung Kurang Ajar ke Ayah Angkat, Dapat Pengikut Setelah Dimarahi Sang Paman
Kabar kematian Antonie Paulo dimakan buaya sampai di Batavia pada Desember 1642. Apa kesalahan orang Belanda itu, sehingga dihukum mati drngan cara seperti itu?
Antonie Paulo telah mengirim surat ke Batavia. Ia menginformasikan ada 18 orang Mataram yang dikirim Sultan Agung untuk naik haji.
Akibat informasi ini, 18 orang itu pun disergap Belanda di perairan Batavia pada 11 Juli 1642. Kapal Inggris mengangkut mereka.
Dalam penyergapan itu, Kompeni membunuh orang Inggris dan beberapa orang Jawa. Sisanya dijadikan tawanan sebagai slat tawar agar Sultan Agung membebaskan orang-orang Belanda yang ditawan.
Oohya! Baca juga ya:
Namun, Kompeni salah perhitungan. Sultan Agung bukannya membebaskan para tawanan, melainkan menghukum mati pimpinan tawanan.
Sabotase keberangkatan calon jamaah itu, kata HJ de Graaf, sangat menyinggung sentimen keagamaan Sultan Agung "Tindakan keras harus diambil untuk memenuhi reputasi kekuasaannya," tulis De Graaf.
Sebenarnya, saat itu pun sedang berlamgsung negosiasi pembebasan tawanan. Negosiasi pun terhenti.
Kompeni hanya bisa memberi tanggapan terhadap hukuman mati dari Sultan Agung itu dengan mengikat orang-orang Mataram yang ditawan di Batavia. Setelah itu mereka dikurung, tidak dibalas dengan melemparnya ke kandang buaya.
Konpeni tidak melakukan tindakan kekerasan terhadap tawanan. Kompeni menduga, tindakan kekerasan terhadap orang-orang Jawa yang menjadi tawanan bisa menimbulkan reaksi Mataram lebih keras lagi.
Kompeni lalu berkirim surat kepada sahabatnya di Mataram, Tumenggung Wiroguna. Kompeni menyinggung keberadaan orang-orang Jawa sebagai tawanan di Batavia digaji besar.
Oohya! Baca juga ya:
Benarkah Hanya Presiden Jokowi yang Rayakan Lebaran Idul Fitri di Luar Jakarta? Bung Karno....
Menurut Wiroguno, jasa baik Kompeni ini belum sebanding dengan kejahatan Kompeni. Menyergap orang-orang Jawa yang akan naik haji adalah kejahatan besar.
Apalagi, mereka kemudian dijadikan sebagai alat tawar agar Sultan Agung membebaskan tawanan. Kompeni akan membiarkan mereka melanjutkan perjalanan ke Makkah, asal Sultan Agung membebaskan orang-orang Belanda yang ditawan di Mataram.
Wiroguno juga memberi tahu Kompeni mengenai tindakan Antonie Paulo. Antonie Paulo disebut memendam tulang, rambut, dan kertas bertulis huruf Belanda.
Itu dianggap sebagai tindakan yang mencurigakan. Tentu saja Wiroguno menampaikan pandangannya berdasarkan sudut pandang Jawa.
Atas temuan tulang, rambut, dan kertas itu, Antonie Paulo dituduh telah menyimpan barang-barang yang memiliki kekuataan gaib. Ini juga sebuah kejahatan.
Oohya! Baca juga ya:
Diponegoro Seharusnya Berbahagia, tapi Ia Nelangsa Amat di Hari Lebaran Kali Ini
Jadi, kesalahan Antonie Paulo tak hanya membocorkan informasi pengiriman calon jamaah haji. Ia juga dituduh mengirim sihir kepada Sultan Agung.
Selain menyimpan barang-barang berkekuatan gaib, Antonie Paulo juga dituduh telah menyihir Sultan Agung lewat hadiah cincin batu merah. Sultan Agung jatuh sakit setelah menerima cincin itu.
Bukti-bukti itulah yang dijadikan dasar untuk membuat putusan hukuman mati Antonie Paulo. "Yang bersalah dilempar ke kolam buaya, sebagaimana dimiliki semua keraton dahulu, dan di sana para penjahat dilemparkan sebagai hukuman," tulis De Graaf.
Surat Kompeni untuk negosiasi pembebasan tawanan itu baru direspons oleh raja Mataram setelah Sultan Agung meninggal pada 1646. Amangkurat I, pengganti Sultan Agung, melanjutkan negosiasi.
Sehingga tidak ada lagi tawanan yang mendapat hukuman mati. Apalagi dilempar ke kolam buaya. Tapi, Mataram kemudian terjerat utang.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Puncak Kekuasaan Mataram karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com