Lincak

Kakek Sultan Agung Kurang Ajar ke Ayah Angkat, Dapat Pengikut Setelah Dimarahi Sang Paman

Senopati, kakek Sultan Agung, dimarahi sang paman karena telah kurang ajar kepada ayah angkat. Apa yang ia lakukan sehingga dapat pengikut?

Ki Juru Martani menganggap kakek Sultan Agung telah berbuat kurang ajar kepada Sultan Pajang. Sultan Pajang telah mengangkatnya sebagai adipati Pajang, tetapi kakek Sultan Agung itu tidak mau menghadap ke Pajang.

Ia bahkan mempengaruhi adipati-adipati lain agar tak menghadap ke Pajang dan cukup menyerahkan upeti untuk Sultan Pajang lewat dirinya. Sang paman, Ki Juru Martani, pun memarahinya dan memberi nasihat jika memang masih bercita-cita menjadi penguasa Tanah Jawa.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Dua penguasa menjadi pengikut awal kakek Suktan Agung. Apa yang ia lakukan setelah dimarahi sang paman setelah kurang ajar keoada ayah angkat, Sultan Pajang?

Oohya! Baca juga ya:

Paman Sultan Agung Membunuh Dua Prajurit Tuban, Jadi Bukti akan Memberontak ke Ayah Angkat di Pajang?

Saat utusan pertama Sultan Pajang datang, kakek Sultan Agung bersedia melaksanakan perintah asal Sultan Pajang menghentikan kebiasaan merebut istri orang dan kebiasaan menikahi dua perempuan kakak beradik. Oleh utusan hal ini tentu  tidak dilaporkan ke Sultan Pajang.

Kekurangajaran kakek Syltan Agung ini membuat Ki Juru Martani menyebut kakfk Dultan Agung itu sebagai pengecut. Alasannya tidak menghargai Sultan Pajang sebagsi gusti, guru, dan ayah angkat.

Kakrk Sultan Agung menyadari kesalahannya, laku meminta nasihat kepada Ki Juru Martani agar bisa mebjadi penguasa Jawa turun-temurun. Pamannya itu pun segera memberi nasihat untuk terus berdoa agar mendapat restu menjadi pengganti Sultan Pajang.

Selain tekun berdoa, kakek Sultan Agung tetap melanjutkan kebiasaan menjamu tamu, meski dilarang Sultan Pajang. Setelah dimarahi sang paman, ia menjamu penguasa Kedu dan Bagelen yang hendak menghadap ke Pajang.

Oohya! Baca juga ya:

Benarkah Hanya Presiden Jokowi yang Rayakan Lebaran Idul Fitri di Luar Jakarta? Bung Karno....

Penguasa Kedu dan Bagelen itu sensng fengan jamuan yang diberikan oleh kakek Sultan Agung di Mataram. Mereka berdua juga meneruma hadiah tang bagus dati adipati Mataram itu.

Sebagsi balasan, mereka menjanjikan bantuan jika kelak kakek Sultan Agung memerlukan bantuan saat menghadapi musuh. Bahkan mereka menyatakan seharusnya kakek Sultan Agung itulah tang menjadi raja Pajang.

Maka, kakek Sultan Agung pun meminta mereka menunda kepergian ke Pajang. Bisa dilakukan lain waktu bersama-sama menhhadap ke Pajang sambil membawa upeti.

Jika mereka dimarahi Sultan Pajang, kakek Sultan Agung berjanji akan membelanya di hadapan sang ayah angkat, Dultan Pajang. "Karena Sultan telah meletakkan segala harapannya kepada diri saya," kata kakek Sultan Agung kepada dua penguasa Kedu-Bagelen.

Kakek Sultan Agung pun berkata, bisa memberikan pangkat yang lebih tinggi kepada mereka. Dua penguasa Kedu-Bagelen pun hormat kepada kakek Sultan Agjng dan menitipkan upeti untuk Sultan Pajang kepada kakek Sultan Agung.

Kakek Sultan Agung sudah dapat dua pengikut: penguasa Kedu dan penguasa Bagelen. Ia terus tekun berdoa, hingga akhirnya bertemu dengan Sunan Kalijaga.

Oohya! Baca juga ya:

Diponegoro Seharusnya Berbahagia, tapi Ia Nelangsa Amat di Hari Lebaran Kali Ini

Sunan Kalijaga menemuinya saat ia berdoa di pertapaan Lipuro. Sunan Kalijaga menasihatinya agar ia rendah hati, tidak melulu mengandalkan kesaktiannya.

Ketekunannya berdia itu pula yang membuat kakek Suktan Agung bertemu dengan Nyi Roro Kidul. Ia bahkan diceritakan mengunjungi istana Nyi Roro Kidul di laut selatan.

Nyi Roro Kidul menemui kakek Sultan Agung. Nyi Riro Kidul meramalkan masa depan Mataram yang gemilang.

Nyi Roro Kidul juga mengajari kakek Sultan Agung mengenai cara-cara memerintah. Terutama memerintah makhluk halus.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Awal Kebangkitan Mataram, karya Dr HJ de Graaf (1987)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]