Pitan

Cucu Cicit Sultan Agung Ini Dijadikan Raja oleh Bupati Grobogan, Kompeni Membuangnya ke Srilanka

Amangkurat V dijadikan raja oleh Bupati Grobogan dengan dukungan orang-orang Cina. Cucu cicit Sultan Agung ini dibuang Kompeni ke Srilanka dan meninggal di sana, tapi ada makamnya di Semarang.

Keraton Mataram di Kartosuro dikuasai kembali oleh Pakubuwono II. Cucu dari cicit Sultan Agung pun melarikan diri dari Kartosuro bersama Bupati Grobogan.

Mereka menyusun kekuatan di Randulawang. Kompeni membantu Pakubuwono II menyerbu Randulawang.

Cucu dari cicit Sultan Agung itu telah dinobatkan oleh Bupati Grobogan dan Adipati Pati sebagai raja Mataram pada 1742. Dari Randulawang, ia melarikan diri lagi, tapi di Madiun ia ditangkap Kompeni, lalu membuangnya ke Srilanka (Ceylon).

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Pernah tak Puasa, Sultan Agung Rayakan Lebaran dengan Garebek Syawal (Grebeg Syawal)

Ia kemudian dikenal sebagai Pangeran Selong (pengucapan lidah Jawa untuk Ceylon). Sewaktu kecil ia bernama Raden Mas Garendi. Ia merupakan anak Pangeran Teposono.

Teposono merupakan anak dari Amangkurat III. Amangkurat III merupakan cicit Sultan Agung. Jadi, Raden Mas Garendi adalah cucu dari cicit Sultan Agung.

Raden Mas Garendi diasuh oleh Patih Notokusumo yang memusuhi Kompeni. Orang-orang Cina mengusulkan kepada Bupati Grobogan agar menjadikan Raden Mas Garendi sebagai raja baru.

Hal itu terjadi ketika Pakubuwono II yang semula memusuhi Kompeni tiba-tiba berbalik mendukung Kompeni. Raden Mas Garendi kemudian dinobatkan oleh Bupati Grobogan menjadi raja Mataram berkedudukan di Demak, dengan nama Amangkurat V.

Mangun Oneng menobatkannya ulang di Pati. Maka, Amangkurat V berkeraton di Pati dan Mangun Oneng menjadi Adipati Pati.

Oohya! Baca juga ya:

3 Sahabat Nabi tak Ikut Perang Tabuk, Kenapa Dikucilkan 50 Hari?

Oleh Bupati Grobogan, orang-orang Cina dikerahkan untuk menyerbu keraton Kartosuro. Penyerbuan itu membuat Pakubuwono II melarikan diri.

Amangkurat V pun tinggal di keraton Kartosuro. Itu karena keraton ditinggalkan kosong oleh Pakubuwono II.

Pakubuwono II tak tinggal diam. Dalam pelariannya, iameminta bantuan Madura untuk merebut kembali keraton.

Orang-orang Madura berhasil merebut keraton. Amangkurat V pun melarikan diri ke Randulawang.

Kompeni bersama pasukan Mataram menyerbu Randulawang, sehingga membuat Amangkurat V melarikan diri lagi.

Empat prajurit Kompeni mengejarnya. Bahkan tetap menembakinya ketika Amangkurat V menyeberangi kali.

Oohya! Baca juga ya:

Menurut Bilal, Ini Alasan Nabi Muhammad tidak Menumpuk Harta

Dikawal oleh 50 orang Cina, cucu dari cicit Sultan Agung itu selamat hingga tiba di sebelah timur Pajarakan. Empat prajurit Kompeni itu kembali ke Randulawang.

Suto Kitung, abdi Amangkurat V yang sudah tua, tertinggal di Randulawang. Ia kemudian tertangkap dan dibunuh oleh Kompeni.

Kompeni menuduhnya telah mengajari cucu dari cicit Sultan Agung itu untuk memusuhi Kompeni. Kompeni kemudian kembali ke ibu kota Mataram, Kartosuro.

Setiba di Kartosuro, Kompeni mendapat informasi bahwa Amangkurat V pergi ke Gunung Kidul. Tapi lokasi persembunyiannya belum diketahui.

Oohya! Baca juga ya:

Mengapa Diponegoro tak Jadi Membunuh Jenderal Belanda Sebelum Ia Ditangkap oleh Jenderal Itu?

Seminggu kemudian datang informasi l. Isinya, cucu dari cicit Sultan Agung itu ditangkap oleh orang-orang Tegal di Madiun.

Oleh Kompeni, raja Mataram yang didukung oleh orang-orang Cina itu dibawa ke Semarang. Pakubuwono II tentu mendapatkan laporan mengenai penangkapan ini dari Kompeni.

Pakubuwono II juga menerima laporan nama baru untuk Amangkurat V. Yaitu Pangeran Selong.

Itu karena ia dibuang ke Ceylon (Srilanka). Ceylon, oleh lidah Jawa menjadi Selong.

Cucu dari cicit Sultan Agung itu tak lagi menyusahkan Kompeni dan Pakubuwono II. Ia lama di Srilanka.

Bahkan raja Mataram yang menduduki tahta sebentar itu pun meninggal di Selong, eh Ceylon.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Babad Tanah Jawi Buku VI, penerjemah Amir Rokhyatmo dkk, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
oohya.republika@gmail.com

Berita Terkait

Image

Siapa Budak yang Jadi Pahlawan Nasional di Indonesia?

Image

Banjarmasin Dua Abad Tolak Monopoli Kompeni, Dihapus Belanda pada 1860

Image

Banyak Warman Jadi Raja di Indonesia Dulu, Siapa Mereka?