Bung Karno Dicambuk Rotan karena Sarang Burung dan Sepulang dari Sungai
Saat berusia tujuh tahun, Bung Karno pernah mendapat hukuman. "Bapak memukul pantatku dengan rotan," kata Bung Karno mengenai hukuman yang ia terima dari ayahnya, Sukemi.
Hari itu, Bung Karno kecil memanjat pohon jambu di pekarangan rumah. Ia menjatuhkan sarang burung yang ada di pohon itu.
Kali lain, Bung Karno pulang dari sungai saat hari sudah gelap. Ia pun kemudian dicambuk rotan oleh ayahnya.
Oohya! Baca juga ya:
Bung Karno pun Pernah Jadi Korban Bullying
Pada waktu Bung Karno masih kecil, ayahnya yang menjadi guru tidak memiliki cukup uang. Yang dimakan pun sering singkong dan jagung.
Daripada uang satu sen digunakan untuk membeli petasan, ibu Bung Karno memakainya untuk membeli sayuran. Uang satu sen itu pun bisa didapat dengan cara membeli gabah lalu ditumbuk sendiri.
Maka, Bung Karno kecil kemudian mencari permainan yang tidak memerlukan uang. Pohon dan sungai menjadi tempat bermain yang menyenangkan baginya.
"Aku menjadikan sungai sebagai kawanku, karena ia menjadi tempat di mana anak-anak yang tidak punya dapat bermain dengan cuma-cuma," kata Bung Karno.
Oohya! Baca juga ya:
Karena Miskin, Bung Karno Pernah tak Bayar Zakat Fitrah Menjelang Lebaran
Pulang dari sungai Bung Karno membawa ikan. Itulah cara untuk menyenangkan ibunya dan agar tidak dianggap sebagai anak yang mementingkan diri sendiri.
Hari itu, Bung Karno pulang dengan gembira karena membawa ikan dari sungai. Tapi hari sudah gelap.
Sebelum Bung Karno tiba di rumah, ibu Bung Karno sudah kena marah ayah Bung Karno. "Apa dia tidak tahu bahwa ibunya akan susah kalau terjadi kecelakaan?" kata Sukemi saat memarahi Idayu, ibu Bung Karno.
Itulah pemicu kemarahan ayah Bung Karno, sehingga perlu memberikan hukuman kepada Bung Karno. Maka, ketika Bung Karno pulang, ikan kakap yang dibawanya langsung dirampas sang ayah.
Keceriaan Bung Karno pun hilang seketika. "Bapak menangkapku, merampas ikan dan semua yang ada padaku, lalu aku dirotan sejadi-jadinya," kata Bung Karno.
Bung Karno mengaku semasa kecil ia sudah berupaya menjadi anak yang baik. Tapi ayahnya tetap menginginkan kedisiplinan.
Oohya! Baca juga ya:
Perang Diponegoro, Krisis Akhlak, Kemakmuran Rakyat, dan Pelajaran yang Dapat Dipetik Darinya
Jika hari sudah gelap, ayahnta berharap Bung Karno sudah ada di rumah. Bung Karno tentu mempunyai alasan ia baru bisa pulang setekah hari gelap karena harus menangkap ikan setelah bermain di sungai.
Ibu Bung Karno yang lembut mengimbangi sikap keras ayah Bung Karno. "Aku berlari berlindung ke pangkuan ibu dan dia membujukku," kata Bung Karno.
Pada saat ayahnya marah karena ia pulang bermain ketika hari sudah gelap, ayahnya tak perlu bertanya terlebih dulu. Berbeda dengan pada saat marah karena Bung Karno menjatuhkan sarang burung dari pohon jambu.
Sebelum memberikan hukuman, ayah Bung Karno bertanya tentang arti tat twam asi. "Artinya dia adalah aku, aku adalah dia: engkau adalah aku, aku adalah engkau," jawab Bung Karno.
"Dan apakah tidak kuajarkan kepadamu bahwa ini mempunyai arti yang penting? ... Bukankah engkau sudah ditunjuki untuk melindungi makhluk Tuhan?" tanya ayah Bung Karno.
Oohya! Baca juga ya:
"Ya, Pak," jawab Bung Karno.
"Engkau dapat mengatakan apa burung dan telur itu?" tanya ayah Bung Karno.
"Ciptaan Tuhan. Tapi dia jatuh karena tidak disengaja. Tidak saya sengaja," kata Bung Karno memberanikan diri membela diri, meski gemetaran.
Kendati begitu, hukuman tetap diberikan oleh ayahnya. "Bapak memukul pantatku dengan rotan. Aku seorang yang baik laku, akan tetapi baodk menghendaki disiplin yang keras dan cepat marah kalau aturannya tidak dituruti," kata Bung Karno.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1986, cetakan keempat)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com