Pengaruh Islam dalam Kebaya Janggan yang Dikenakan Dian Sastro di 'Gadis Kretek'
Kebaya janggan yang dikenakan Dian Sastro di miniseri Gadis Kretek di Netflix menjadi perbincangan kaum perempuan. Banyak teman saya yang menyatakan ingin memiliki koleksi kebaya janggan juga.
Teman-teman saya itu menilai, dengan kebaya janggan berwarna gelap itu, perempuan terlihat lebih anggun dan tegas. Pahlawan Nyi Ageng Serang pun ditampilkan dalam gambar sedang mengenakan kebaya janggan hitam dengan rambut digelung.
Pahlawan nasional dari Desa Serang di perbatasan Grobogan dan Sragen, pada masa Perang Diponegoro (1825-1830) memimpin perlawanan terhadap Belanda di wilayah Grobogan. Sebagai panglima perang, kebaya janggan membuat sosok Nyi Ageng Serang terlihat anggun dan tegas.
Nyi Ageng Serang masih memiliki darah keturunan dari Sunan Kalijaga, penyebar Islam di Tanah Jawa. Kebaya janggan merupakan hasil modifikasi dari kebaya versi sebelum-sebelumnya yang masih memperlihatkan dada bagian atas.
Oohya! Baca juga ya: Asal Usul Boneka Teddy’s Bear yang Dibawa Kaesang, Ada Kaitannya dengan Sikap Santun Presiden Amerika Serikat
Hingga awal abad ke-19, kemben masih menjadi bagian dari pakaian perempuan Jawa. Kemben merupakan kain panjang yang dililitkan dari atas dada hingga kaki, sehingga perempuan tidak perlu mengenakan kutang.
Di bagian pinggang kemudian dililitkan stagen, lalu kebaya dikenakan. Praktis, dada di atas kemben hingga leher tidka tertutup.
“Kita dapat dengan jelas melihat pengaruh Hindu dalam penggunaan kain yang tidak dipotong ini,” tulis Jean Gelman Taylor, dosen sejarah modern Asia Tenggara dari Australia.
Kain kebaya yang tidak dipotong ini memiliki nilai sakral bagi masyarakat Jawa. Maka, ketika pakaian terusan hasil jahitan dikenalkan di Jawa, perempuan Jawa menolak memakainya.
Dalam upacara-upacara adat, perempuan hanya mengenakan kain kemben yanag menututupi ujung kaki hingga atas dada. Dada bagian atas hingga pundak dibiarkan terbuka, tanpa perlu mengenakan kebaya.
Oohya! Baca juga ya: Mengapa Pemuda Madura Berdarah Santri Ini tidak Jadi Mengelola Surat Kabar Muhammadiyah ‘Menara’?
Dalam perkembangannya, desain pakaian perempuan Jawa terus dikembangkan. Pakaiannya membatasi gerak fisik perempuan, tetapi membuat perempuan menjadi terlihat anggun.
“Secara umum, para perempuan Jawa tidak memakai baju terusan gaya Barat sampai setelah masa kemerdekaan,” tulis Jean Gelman Taylor.
Mereka yang mengenakan baju terusan sebelum tahun 1940, kata Jean Gelman Taylor, adalah gadis-gadis usia sekolah. Yaitu putri-putri bangsawan yang bersekolah di sekolah Eropa di Jawa.
Sekolah-sekolah Kartini dan sekolah-sekolah Dewi Sartika masih menekankan pemakaian kain kebaya bagi siswi-siswinya. Hasil pemotretan studio di Batavia memperlihatkan, perempuan-perempuan yang masih mengenakan kain kemben dengan dada atas dan pundak terbuka dijadikan gambaran perempuan-perempuan tuna susila.
Kartu-kartu pos bergambar perempuan tuna susila yang mengenakan kain dengan dada atas terbuka dicetak sebagai kartu-kartu bisnis. Juga ditujukan untuk koleksi-koleksi pornografi.
"Penampilan tubuh perempuan yang ditutupi dengan blus lengan panjang dan kain merupakan cara berpakaian yang standar bagi para perempuan Jawa Muslim,” tulis Jean Gelman Taylor.
Maka, kebaya berleher tinggi, yang di Jawa dikenal sebagai kebaya janggan, merupakan kebaya hasil dari pengaruh Islam. Dada bagian atas hingga leher tidak lagi dibiarkan terbuka.
Menurut Bausastra Jawa karya Poerwadarminta, jangga berarti leher. Bahan kebaya juga tidak lagi dari kain batik, melainkan kain polos. Dalam acara-acara tertentu, terutama di hari-hari perayaan Islam, mereka mengenakan kerudung berenda.
Oohya! Baca juga ya: Raja Pers Ini Dihukum Penjara 10 Bulan Bukan karena Kasus Delik Pers
Penampakan kebaya janggan ini seperti beskap bagi laki-laki. Beskap juga berwarna gelap. Pakaian warna gelap menjadi mode di Eropa hingga abad ke-19.
Beskap diambil dai bahasa Belanda, beschaafd, yang artinya beradab. “Pakaian ini berupa jas berkerah tinggi yang terbuat dari kain lurik, yaitu kain tenun bergaris-garis yang dikenakan bersama kain batik,” tulis Jean Gelman Taylor.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
- Bausastra Jawa karya Poerwadarminta (1939)
- Fashioning the Bouregoisie karya Phillipe Perrot (1994)
- “Kostum dan Gender di Jawa Kolonial Tahun 1800-1940” karya Jean Gelman Taylor dalam Outward Appearances (2005)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]