Lincak

Keturunan Sultan Agung Dipecat dari Perhimpunan Indonesia, Mengapa?

RM Noto Soeroto (kiri), keturunan Sultan Agung tetapi mewarisi karakter Amangkurat. Pendiri Perhimpunan Indonesia, tapi dipecat oleh pengurus Perhimpunan Indonesia.

Wilayah otonom Pakualaman muncul pada masa Raffles menjadi letnan gubernur di Jawa (1811-1816). Pakualam I, yang masih keturunan Sultan Agung, diangkat oleh Raffles adalah adik Sultan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono II.

Di Belanda ada mahasiswa yang suka berpesta, bernama RM Noto Soeroto, mendirikan Indische Vereeniging, yang kelak menjadi Perhimpunan Indonesia. Lahir di Pakualaman 5 Juni 1888, ia merupakan cucu Pakualam V, yang berarti masih keturunan Sultan Agung.

Menjadi pendiri organisasi yang kelak dianggap terdepan dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, mengapa cucu Pakualam V yang mewarisi karakter Amangkurat itu dipecat dari Perhimpunan Indonesia? Begini ceritanya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Gagal Malam Pertama, Bung Karno Dapat Berkah

Ikut mendirikan Indische Vereeniging pada 1908, ia lalu menjadi ketuanya pada 1911. “Pada JUni1911 ia menjadi orang Indonesia pertama yang menempuh ujian kandidat hukum,” ujar sejarawan Harry A Poeze.

Selama memimpin organisasi itu, ia ingin menggerakannya berdasarkan ide-ide nasionalisme RA Kartini. “Ia menyebutkan bahwa perjuangan mesti dilakukan individu-individu tertentu sebelum timbul kesadaran massa,” kata Rosa MT Kerdijk, peulis biografi politik budaya Noto Soeroto.

Itulah yang sudah dilakukan oleh RA Kartini. Kartini, menurut cucu Pakualam V itu, “Mencoba memadukan dua pandangan dunia, yang masing-masing telah mengembanagkan hanya aspek-aspek tertentu dari keseluruhan kepribadian manusia, menjadi satu kesatuan yang utuh.”

Selama di Belanda, ia tinggal sekamar dengan RM Soeriosoeparto yang kelak menjadi Mangkunegoro VII di Keraton Surakarta. Soeriosoeparto usianya lenih tua tiga tahun darinya.
NotoSoeroto tertarik pada teosofi dan kesusastraan setelah mendapat pengaruh dari Soeriosoeparto. Ia kemudian rajin menulis karya sastra.

Sebagai keturunan Sultan Agung, ia lebih banyak mewarisi sifat-sifat Amangkurat, suka berpesta dan memihak Belanda. Pada 1913 ia menulis buku Persatuan Hindia Belanda dan Belanda.

Oohya! Baca juga ya:

Sering Bertemu Kai Mojo, Begini Penginjil Belanda Lakukan Kristenisasi di Tondano

Dari judulnya sudah terbaca isinya. Dorongan menciptakan persatuan Hindia Belanda dengan Belanda. Sementara di Jawa pada 1912 berdiri Indische Partij yang mendorong kemerdekaan Hindia Belanda dari Belanda.

Pelopor Indische Partij adalah Tjipto Mangoenkoesoemo, Ki Hajar Dewantara, dan seorang indo, Douwes Dekker. Bahkan mereka kemudian dibuang ke Belanda karena tulisan yang membuat marah Belanda.

Koran yang dikelola Indische Partij menerbitkan tulisan Ki Hajar Dewantara, berjudul “Andai Aku Seorang Belanda”. Tulisan itu menyindir kebiasaan peringatan kemerdekaan Belanda dengan memungut iuran dari pribumi Hindia Belanda.

Keinginan merdeka dari Belanda semakin kencang. Semakin kencang pula keturunan Sultan Agung itu menyerukan persatuan Hindia Belanda dan Belanda.

“Noto Soeroto menganjurkan suatu kerja sama antara Belanda dan Indonesia untuk bersama-sama membentuk Kerajaan Kesauan yang digambarkan sebagai ‘pertemuan antara dua kebudayaan’,” kata Rosa MT Kerdijk mengenai pendiri Perhimpunan Indonesia itu.

Mahasiswa Indonesia di Belanda mengenal nama Indonesia sejak 1917 dari ceramah Van Vollenhoven. Pada dekade 1920-an, nama Indonesia sering dipakai oleh kaum pergerakan sebegai pengganti nama Hindia Belanda, tetapi mengapa Noto Soeroto dipecat dari Perhimpunan Indonesia?

Oohya! Baca juga ya:

Bung Karno Pernah Putus Kuliah, Pernah Pula Diusir Calon Mertua

Pada 1922, Indische Vereeniging diganti namanya menjadi Indonesische Vereeniging, pada masa kepengurusan dipimpin M Hatta. Pada 1925 diubah lagi menjadi Perhimpunan Indonesia.

Keturunan Sultan Agung itu tak melulu bicara soal “pertemuan dua kebudayaan” Indonesia Belanda. Pada 1918 ia menikahi perempuan Belanda, Jo Meijer. Saat pesta pernikahan, ia mengenakan pakaian adat Jawa.

Jauh sebelum itu, yaitu pada 1910, Noto Soeroto sudah mendaftar menjadi perwira cadangan di ketentaraan Belanda. Memperingati ulang tahun kelima Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) pada Nobember 1913, Noto Soeroto menyampaikan pidato berjurul: De eendracht van Indie en Nederland (Kesatupaduan Hindia dan Belanda).

“Sesudah disampaikannya pidato Noto Soeroto itu, Douwes Dekker membuka polemik. Ia menyatakan, Noto Soeroto ‘berkali-kali lebih Belanda daripada orang Belanda sendiri, dan bukan orang Jawa’,” kata Harry A Poeze.

Tjipto Mangoenkoesoemo juga menyerang Noto Soeroto, tetapi tidak sefrontal Douwes Dekker. JH Abendanon dan Soerjopoetro membantu Noto Soeroto.

Oohya! Baca juga ya:

Bidan Bule Sebut Menantu Sultan Keguguran, Dukun Bayi Bersumpah Bayi Masih Sehat

Pada 1924, keturunan Sultan Agung itu dipecat dari Perhimpunan Indonesia. “Alasannya adalah artikel yang ditulis Noto Soeroto berkenaan dengan meninggalnya Van Heutsz,” kata Harry A Poeze.

Van Heutsz, gubernur jenderal Hindia Belanda 1904-1909, adalah simbol kolonialisme Belanda. Sebelum menjadi gubernur jenderal ia merupakan pemimpin penaklukan Aceh.

Keturunan Sultan Agung itu, kata Harry A Poeze, memuji Van Heutsz dan mencela bangsa sendiri. Ia menulis Van Heutsz secara provokatif.

Tulisan provokatif inilah yang membuat keturunan Sultan Agung itu dipecat dari Perhimpunan Indonesia. Saat itu, Perhimpunan Indonesia dipimpin oleh M Hatta.

“Dia kawan yang baik, yang mau menunjukkan kesalahan kita! Ada orang Indonesia yang karena rasa supernasionalisnya tak mau mengakui jasa-jasa penakluk yang bertangan besi namun berjiwa besar ini,” kata Noto Suroto, pendiri Perhimpunan Indonesia.

Van Heutsz, dipuji oleh keturunan Sultan Agung sebagai sosok yang telah menegakkan ketertiban dan keamanan Hindia Belanda. Van Heutsz dia anggap telah “meletakkan dasar bagi konsolidasi Indonesia di masa datang”.

Tak heran jika dia dipecat dari Perhimpunan Indonesia, organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. 

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
- Di Negeri Penjajah, karya Harry A Poeze (2008)
- Wayang Liederen, Biografi Politik Budaya Noto Soeroto, karya Rosa MT Kerdijk (1987)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]