Lincak

Sering Bertemu Kai Mojo, Begini Penginjil Belanda Lakukan Kristenisasi di Tondano

Danau Tondano dengan latar Gunung Soputan. Panglima Perang Diponegoro, Kiai Mojo, dibuang ke Tondano. Ia sering ditemui penginjil Belanda yang lakukan kristenisasi di Tondano, Minahasa.

Penginjil Belanda Johann Friedrich Riedel sering mengajak bertemu Kiai Mojo, panglima Perang Diponegoro. Tiap Sabtu, ia mengundang Kiai Mojo berkunjung ke rumahnya.

Pada hari Ahad, giliran Riedel menerima orang-orang Tondano di rumahnya. Mereka berkunjung ke rumah Riedel sebagai kunjungan balasan karena Riedel dan istrinya sering mengunjungi mereka.

Penginjil Belanda itu selalu menyambut mereka dengan cara yang memuaskan. Istrinya menyuguhkan kopi dan kue kepada para tamunya, lalu bicara tentang kebun dan tanaman sambil menyelipkan pesan-pesan untuk menghormati Kristus. Begitulah Riedel memulai kristenisasi.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Bidan Bule Sebut Menantu Sultan Keguguran, Dukun Bayi Bersumpah Bayi Masih Sehat

Di halaman rumahnya di Tondano, Riedel mendirikan kapel. Tondano sekarang menjadi ibu kota Kabupaten Minahasa di Sulawesi Utara.

Dulu wilayah hutan dan danau tempat rumah-rumah mereka dibangun. Hutan dibuka menjadi perkebunan kopi oleh Kompeni.

Dua lahan perkebunan kopi diberikan kepada Kiai Mojo dan pengikutnya yang dibuang ke Tondano sejak Mei 1830. Diponegoro, seharusnya juga dibuang ke Tondano, tetapi Diponegoro menolaknya karena suhunya tidak bersahat dengan kondisi fisik Dponegoro.

Orang Tondano digambarkan Graafland berbeda dengan orang Minahasa lainnya. Orang Tondano dikenal sebagai orang air, karena hidup di Danau Tondano.

Kulit mereka lebih genap dari orang Minahasa lainnya, lebih beradab, lebih bebas, dan secara fisik bertubuh bagus. “Memang hanya ada satu negeri iTondano, yang dalam banyaks egi jauh lebih maju daripada negeri-negeri lain di Minahasa,” ujar Graafland.

Oohya! Baca juga ya:

Cucu Sultan Hamengkubuwono VII Ini Dikenal Bisa Jadi Macan, Ia Pendekar Silat

Orang Tondano dikenal pula sebagai pemberontak terhadap Belanda. Pemberontakan pertama mereka terjadi pada 1709-1711, ketika Kompeni berupaya menguasai mereka.

Pada awal abad ke-19, mereka memberontak lagi. Belanda mengerahkan orang-orang dari Manado dan Tanawangko untuk membakar rumah-rumah mereka di atas Danau Tondano. Terpaksa mereka pindah ke darat.

Kiai Mojo dan pengikutnya membangun permukiman di kebun kopi itu dan memberinya nama Tegalrejo, tapi kini dikenal sebagai Kampung Jawa Tondano (Jaton). Orang-orang Jawa pengikut Kiai Mojo ini masih mempertahankan agama dan adat mereka di Jawa.

Sebagai tokoh agama, panglima Perang Diponegoro, Kiai Mojo, sering diundang Riedel untuk berkunjung ke rumahnya. Riedel menghadiahi Kiai Mojo sebuah Bibel.

Selama bertugas di Minahasa, penginjil Belanda itu memang sering menemui tokoh-tokoh negeri di Tondano. Mereka yang dikunjungi itu lalu memberikan kunjungan balasan ke rumah Riedel.

Berbincang tentang kebun dan tanaman, tentang usia remaja dan tua, tentang hubungan keluarga dan kepangkatan, membuat pertemuan di rumah Riedel tidak seperti pertemuan agama, kendati Riedel selalu menyelipkan pesan-pesan Kristus. Begitulah awal mula Riedel menhalankan kristenisasi di Tondano.

Oohya! Baca juga ya:

Bung Karno Ngaku Pelagak, Kok Maunya Naik Kuda Tua dan Jinak Saat Pawai Hari Angkatan Perang?

Orang-orang Tondano terkesima pada Riedel. Hingga pada satu Ahad, ia berbicara banyak tentang Kristen, yang belum bisa dipahami oleh para tamunya mengenai maksud Riedel membahas Kristen.

Tetapi para tamunya puas. Mereka ingin mendengar lebih banyak lagi di pertemuan-pertemuan selanjutnya.

“Pertemuan seperti itu sangat menyenangkan mereka, mungkin karena disuguhkannya kopi dan kue-kue,” kata penginjil N Graafland yang berkunjung ke Minahasa pada 1850.

Di pertemuan-pertemuan selanjutnya, pembicaraan Riedek makin kentak dengan kekristenan. Ia mengajak berdoa bersama dan menyanyikan lagu-lagu rohani.

“Ketika sudah yakin bahwa beberapa orang menghadiri pertemuan itu karena keinginan mendengarkan firman Tuhan, ia menghentikan suguhan kopi dan kue-kue,” kata N Graafland.

Oohya! Baca juga ya:

Presiden Soeharto Masuk Ka’bah, Prabowo Subianto Ikut Naik Haji 1991

Setelah tidak ada suguhan kopi dan kue, ada yang tetap datang di rumah Riedel. Tetapi ada juga yang tidak datang lagi.

Pertemuan di rumah Riedel lama-lama berubah menjadi pertemuan keagamaan. Kemampuan Riedel berbicara mengundang banyak orang untuk datang di rumahnya.

Rumah orang Minahasa adalah rumah panggung. Demikian juga rumah Riedel.

Pada akhirnya, orang-orang Tondano yang datang tak tertampung lagi di rumah penginjil Belanda itu. Pertemuan kemudian dipindah ke bawah rumah yang lebih luas karena tak berdinding.

Makin hari pengunjung makin bertambah. Hingga akhirnya Riedel merasa sudah saatnya membangun gereja.

Ia membangun gereja dengan 800 kursi di Tondano. Penginjil Belanda yang datang di Tondano pada 1831 itu sukses melakukan kristenisasi di Tondano, tetapi panglima perang Diponegoro, Kiai Mojo, dan pengikutnya tetap beragam Islam, tak goyah oleh upaya Riedel. 

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Minahasa, N Graafland (1991, terbit dalam bahasa Belanda pada 1869).

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Siapa Pakualam, Pangeran Yogyakarta yang Mendapat Hadiah Tanah di Grobogan dari Raffles?

Image

Di Grobogan Ada Tanah yang oleh Raffles Dihadiahkan kepada Pakualam