Bung Karno Ngaku Pelagak, Kok Maunya Naik Kuda Tua dan Jinak Saat Pawai Hari Angkatan Perang?
Hari ulang tahun pertama Angkatan Perang akan dilakukan pada 5 Oktober 1946. Perencanaannya penuh gegap gempita.
Bung Karno sebagai panglima tertinggi Angkatan Perang akan melakukan inspeksi pasukan dengana cara yang megah dan mengagumkan dengan naik kuda. Padahal ia tak pernah naik kuda.
Mengaku sebagai pelagak, ia akan menunjukkan hal yang layak dilakukan oleh pelagak. “Untuk pawai besok berilah saya kuda yang paling lunak, paling tua, paling jinak dan yang hampir mendekati kematiannya,” perintah Bung Karno kepada seorang perwira kavaleri.
Oohya! Baca juga ya:
Presiden Soeharto Masuk Ka’bah, Prabowo Subianto Ikut Naik Haji 1991
Di rumah, Fatmawati pun terheran-heran mendengar keinginan Bung Karno itu. Tentu saja, karena ia belum pernah melihat Bung Karno naik kuda.
Maka, kita pun layak heran. Sebab yang sering kita lihat di foto-foto adalah Bung Karno sedang naik sepeda ontel.
Baik itu naik sepeda sendirian maupun berdua bersama Fatmawati yangduduk di boncengan belakang. Kenapa inspeksi pasukan tidak menggunakan sepeda saja?
Tidak. Bung karno ingin upacara peringatan Angkatan Perang itu bernagsung secara medah dan menganggumkan.
Naik sepeda tidak memperlihatkan kemegahan yang ia inginkan. Maka, naik kuda menjadi pilihan utama.
Oohya! Baca juga ya:
Bung Karno Memeluk, Kenapa Jenderal Sudirman Enggan Membalas?
“Jadi bagaimana caranya?” tanya Fatmawati.
“Aku hendak menghadapi kenyataan bahwa aku orang pelagak. Karena itu aku hendak melakukan apa yang diperbuat oleh orang yang pelagak. Aku akan belajar naik kuda,” kata Bung Karno.
“Kan pawainya besok?” sahut Fatmawati.
“Ya, saya akan belajar dalam satu hari,” jawab Bung Karno.
Seorang perwira kavaleri melatih Bung Karno naik kuda. Tetapi ketika perwira itu tidak setuju Bung Karno naik kuda tua, Bung Karno yang pelagak itu menjadi grogi.
“Tidak, Pak. Tidak pantas untuk Bapak. Kuda yang disediakan harus yang muda dan garang,” kata perwira itu. Sang perwira memiliki alasan kuat. Angkatan Perang harus memiliki semangat tempur.
Oohya! Baca juga ya:
Bakar Benteng Sultan Agung, JP Coen Tewas Tiga Hari Kemudian
“Dia harus memperlihatkan semangat tempur yang menyala-nyala dan kuda yanag terbaik dari seluruh kelompok,” kata perwira itu.
Bung Karno layak gugup mendengar pe njelasan perwira itu, karena ia memang berlum pernah naik kuda. “Di masa yang sudah-sudah, pergaulanku dengan kuda hanya sekadar menepuk-nepuk kuduknya saja,” kata Bung Karno.
Bung Karno semakin grogi karena ia mendapat informasi bahwa kuda yang akan ia naiki belum pernah berbaris mengikuti irama musik. Kuda itu hanya dilatih sehari penuh untuk siap mengikuti upacara dan dinaiki Bung Karno.
Seusai berlatih naik kuda, Bung Karno mendapat pijatan darfi Fatmawati. Ia mengeluh badannya pegal-pegal.
“Fat, rupanya kuda itu tidak dilatih untuk tahu bahwa Presiden yang akan menunggangnya,” kata Bung Karno.
Oohya! Baca juga ya:
Garang Asem Masakan Tradisional Kesukaan Sunan Kalijaga
“Nanti kuberitahu pelatihnya, kuda-kuda itu harus diberi pelajaran mengenal penunggangnya. Presiden, meneri, atau jenderal,” jawab Fatmawati yang disusul dengan tawa ringan.
Hari-H tiba. Terompet telah dititup, genderang telah dipukul berderam-deram. Bung Karno menaiki kuda untuk memulai pawai.
“Binatang itu berjalan mengikuti irama musik. Ia menjadi liar,” kata Bung Karno.
Untung, Bung Karno yang sudah naik kuda itu bisa segera mengatasi situasi. Itu terjadi saat ia melihat pasukan yang berbaris rapi.
“Datanglah sifatku yang congkak. Sorak-sorai dan teriakan gembira dari rakyat yang berjejal-jejal di lapangan pawai menghidupkan semangat,” kata Bung Karno yang mengaku sebagai seorang pelagak.
Ia lalu menggunakan pergelangan kakinya untuk mengendalikan kudanya, seperti yang diajarkan oleh perwira kavaleri. Kuda itu menurut perintah Bung Karno, berjalan dengan langkah yang tenang dan teratur di depan pasukan Angkatan Perang.
Oohya! Baca juga ya:
Yang Dilakukan Bung Karno Begitu Tahu akan Ditembak Mati Belanda
“Dan kuda yang bagus itu tak pernah menyadari bahwa tuannya lebih gentar menghadapi peristiwa itu daripada binatang itu sendiri,” kata Bung Karno.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
- Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indoensia, karya Cindy Adams (1986)
- Ketawa Bareng Bung Besar, karya Eddi Elison (2014)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]