Ini yang Membuat Anak Sultan Agung dan Penguasa-Penguasa Pesisir di Mataram Senang Didatangi Utusan Kompeni
Tidak hanya Amangkurat I yang sedang dengan utusan Kompeni. Penguasa-penguasa pesisir pun ikut senang dengan kunjungan-kunjungan utusan itu.
Kunjungan utusan Kompeni itu bisa menambah kewibawaan anak Sultan Agung itu di mata penguasa negeri-negeri tetangga. “Karena kedatangan mereka dapat dianggap sebagai sembah kepadanya,” tulis Dr HJ de Graaf.
Selain itu, kunjungan utusan Kompeni itu juga menambah kekayaan raja Mataram itu dan penguasa-penguasa pesisir di bawah kekuasaan Mataram. Utusan-utusan yang datang akan memberikan hadiah kepada raja dan secara sembunyi-sembunyi memberikan hadiah pula kepada penguasa-penguasa pesisir.
Oohya! Baca juga ya:
Digunjing karena Pinjol, Ternyata ITB Miliki Alumni Presiden dan Musuh Soeharto serta Anggota PMB
Jepara menjadi wilayah pesisir besar di bawah kekuasaan Mataram. Banyak kapal dagang berlabuh di Jepara pada abad ke-17 sebelum Amangkurat I menutup pelabuhan-pelabuhan di pesisir.
Pada saat Amangkurat I mulai memerintah pada 1646 menggantikan Sultan Agung, perdamaian Kompeni dengan Mataram pun dimulai lagi. Catatan-catatan Belanda menyebut Jepara menjadi wilayah yang makmur sebagai kota pelabuhan.
“Ketika kapal Wouter Schouten pada bulan Maret tahun 1659 membuang sauh di sana, yang disaksikannya adalah sebuah kota yang makmur dan banyak penduduknya,” tulis Dr HJ de Graaf mengutip catatan Belanda.
Jepara dikelilingi tembok yang baik. Rumah-rumah sudah dibangun dari batu dan kapur.
“Jalan, tembok, lapangan, dan pemandangan di sekitarnya menarik, dihiasi gedung-gedung yang serba indah. Menyenangkan sekali berjalan-jalan di sana,” lanjut De Graaf.
Oohya! Baca juga ya:
Pasar-pasar di Jepara, kata De Graaf, “penuh dengan orang Jawa, Persia, Arab, Gujarat, Cina, Koromandel, Aceh, Melayu, Peguana, dan lain-lain bangsa”. Berbagai produk di Asia diperdagangkan di Jepara.
Masjid besar menjadi pemandangan yang mencolok di Jepara. Ia memiliki atap lima tingkat, yang menjadi mudah dikenali saat dilihat dari laut.
Kompeni mendapat izin dari Amangkurat I untuk mendirikan loji di Jepara. Maka, kepada orang-orang Belanda, penguasa Jepara mengatakan agar mereka juga menaati perintah Raja Mataram, selain perintah Gubernur Jenderal Kompeni.
Dalam ha ini, penguasa Jepara memiliki keinginan tidak hanya berkuasa atas orang-orang Jawa. Melainkan juga keinginan berkuasa atas orang-orang Belanda dan daerah yang ditempati orang-orang Belanda.
Kekuasaan atas orang Jawa tentu saja tidak hanya di wilayah Mataram, melainkan juga di wilayah yang dikuasai Kompeni, yaitu Batavia. Sebab, orang Jawa juga banyak yang tinggal di Batavia.
Sebagai penguasa yang diangkat oleh Raja Mataram , penguasa Jepara berarti adalah penguasa segala bangsa dan rakyat di Jepara. Artinya, orang Jawa, Melayu, Cina, Keling, dan Belanda berada di bawah kekuasaan Mataram, dalam hal ini penguasa Jepara.
Oohya! Baca juga ya:
Bagaimana penguasa Jepara menyatakan keinginnya berkuasa atas orang-orang Belanda? De Graaf menyebutnya sebagai permintaan yang bernada aneh.
“Andaikata Saudara menghendaki, dan ingin memberi perintah pada saya, maka saya juag bersedia ... memerintah atas orang Belanda, dan apabila Saudara tidak menghendakinya, maka saya sama sekali tidak akan turut campur dalam urusan orang Belanda,” tulis De Graaf mengutip surat penguasa Jepada kepada Kompeni.
Penguasa Jepara pun melarang residen pertama Jepara, Wouter Schouten, tidak pergi ke Batavia tanpa didampingi orang Jepara. Kompeni menganggap sikap penguasa Jepara ini sebagai sikap sok kuasa, karenanya tidak begitu ditanggapi.
Untuk urusan utusan, penguasa Jepara juga selalu menekankan perlunya utusan Kompeni datang dengan membawa hadiah untuk Raja Mataram dan dirinya. Hadiah yang diminta bermacam-macam, ada tekstil, kuda Persia, berlian, dan sebagainya.
Oohya! Baca juga ya:
Jika hadiah tak sesuai, akan dikembalikan kepada Kompeni. Dari hadiah-hadiah inilah, anak Sultan Agung dan penguasa pesisir itu bisa menambah harta kekayaannya.
Hadiah yang memuaskan akan dibalas dengan memanjakan Kompeni lewat cara memberi beras, kayu, bahkan wilayah.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I karya Dr HJ de Graaf (1987)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]