Diponegoro Sebut Kakek Sultan Agung Jalankan Politik Unggas karena Bangun Rumah tanpa Pagar, Apa Kata Sunan Kalijaga tentang Pendiri Mataram Itu?
Sunan Kalijaga, menurut Babad Tanah Jawi, mengkritik kakek Sultan Agung yang membangun rumah tanpa pagar. Namun, versi lain menyebut, yang mengkritik pendiri Mataram mengenai rumah tanpa pagar itu adalah Hadiwijoyo.
Dalam Babad Dipanegara, Hadiwijoyo menyebut kakek Sultan Agung pendiri Mataram, Panembahan Senopati, menjalankan politik unggas. Yaitu memelihara unggas tanpa kandang.
“Maksudmu itu pasrah kepada Allah, tetapi pasrahmu keliru,” kata Sultan Pajang Hadiwijoyo seperti yang ditulis Diponegoro di Babad Dipanegara. Hadiwijoyo menyebut keinginan Senopati bagai tiga perkara: gunung, matahari, dan lautan.
Oohya! Baca juga ya:
Bagaimana menurut Babad Tanah Jawi? Suatu hari, Senopati sedang gundah hati, lalu pergi ke Parangtritis.
Senopati bertemu pertapa di sana. Ia lalu menyembah, mengusap kaki sang pertapa, lalu duduk takzim di hadapan sang pertapa.
“Hai Ki Senopati, janganlah merasa diri perkasa, tangguh, sakti, digdaya, dan masuk ke lautan luas seperti menjelajahi daratan. Itu namanya tinggi hati,” kata sang pertapa.
Lalu pertapa itu menyebut apa yang telah dilakukan Senopati sudah benar adanya. Ia telah memberi kesempatan bisa berbaurnya kawula dan gusti dengan tidak membuat pagar di rumahnya.
Tapi pertapa itu mengingatkan agar ia tidak bertindak seperti bumi, langit, laut, gunung. Ia lalu memberi nasihat agar jangan mengandalkan kehebatan dunia, karena kehebatan dunia tidak memiliki ebaikan lain.
Oohya! Baca juga ya:
Cerita Diponegoro tentang Amangkurat II yang Batal Naik Haji Setelah Kejatuhan Cahaya dari Langit
“Seperti gunug yang hanya besar dan tinggi saja, tetapi tidak memiliki pandangan. Dan kau jangan berlaku seperti langit yang mengandalkan luas karena hanya itulah kedigdayaannya. Dan lautan luas yang mengandalkan keluasan dan kedalamannya yang luar biasa tak tergapai, mengandalkan ombak yang dahsyat yang tingginya setara gunung, mengandalkan suara gemuruhnya yang menyeramkan; hanya itulah kekuatannya,” kata pertapa itu yang dipercaya sebagai Sunan Kalijaga.
Lalu, Sunan Kalijaga menasihatinya agar tetap bersyukur dengan senang hati dan selalu berpikir hening. “Kau pasti bertahta meniadi raja dan para raja di Jawa semua takluk kepada Mataram,” kata Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga pun menyuruh Senopati pulang. Sunan Kalijaga menyatakan akan mampir ke Mataram.
“Rumahmu tanpa pagar luar. Kerbaundan sapi dilepas saja. Hai Senipati Ing Alogo, kau keliru dalam berpasrahn diri. menjadi Senopati di Mataram membuatmu angkuh, menjadikanmu sombong dan tinggi hati. Kerbau dan sapi tanpa kandang itu bermakna keangkuhan,” kata Sunan Kalijaga.
Ia lalu meminta Senopati memagari rumahnya, membuat kandang untuk sapi dan kerbaunya serta mencocok hidung sapi dan kerbaunya agar menjadi penurut. Kanangnya harus berpintu dan berkunci.
“Tidurlah pada waktu malam dan berpasrahlah. Patuhilah ajaran agama denan rasa sakit, beristighfarlah selalu, jaga rasa sungkan, dan tumbuhkan rasa syukur, perayalah bahwa perilaku, hidup, gerak, dan ucapamu adalah watakmu,” kata Sunan Kalijaga.
Oohya! Baca juga ya:
Sunan Kalijaga kemudian mengambil air lalu mengucurkan ke tanah secara berkeliling sebagai batas wilayah. Ia lalu berpesan agar Senopati mengerahkan 800 orang.
“Ikutlah batas itu, kelak daerah ini jadikan kota. Babatlah hutan ini dengan bantuan 800 orang dari Mataram sebagai awal dari keinginanmu,” kata Sunan Kalijaga.
Lalu, bagaimana cerita versi Diponegoro? Ketika Sultan Pajang Hadiwijoyo meyebut gunung, matahari dan lautan, Hadiwijoyo ingin memberi pesan kepada Senopati.
Sang gunung memberi penegasan bahwa dirinya yang besar itu tidak akan ada yang berani dengan gunung. Sedangkan matahari juga memiliki pemikiran tak akan ada yang bis amelawan sakit akibat panas yang diberikan oleh matahari.
Lautan juga memberikan gambaran yang sama. Merasa luas dan dalam, lautan merasa tak aka nada yang bisa menandinginya.
Oohya! Baca juga ya:
Desak Anies di Museum Diponegoro Dibatalkan, Ada Tembok Jebol di Lokasi Museum
“Adapun pada akhirnya akan menjadi hina, yang begitu [...] Anakku Senopati, nantinya bagai rumah tanpa pagar, unggas tanpa kandang, begitu maksudnya. Siapa yang berani kepadaku? Mataram di tanganku,” kata Sultan Pajang.
Membangun rumah tanpa pagar, menurut Hadiwijoyo, bagai menyatakan pemiliknya kebal segala senjata. Semua senjata dianggap tidak ada yang mempan padanya. Senjata yang ia miliki dianggap lebih baik dari senjata lainnya.
“Itu artinya, anakku,” kata Hadiwijoyo. Senopati menunduk malu.
Gunung, matahari, lautan, menurut Sultan Hadiwijoyo, ketiganya kalah semua. “Tandanya gunung memberi makan, lautan memberi pakaian, matahari memberi jalan apa yang kau kehendaki,” kata Hadiwijoyo.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
- Babad Dipanegara karya Diponegoro, penerjemah Gunawan dkk (2016)
- Babad Tanah Jawi, penerjemah Amir Rokhyatmo dkk, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]