Sultan Agung Tukar Batu Bata dengan Empat Meriam Kompeni, 14 Tahun Kemudian Digunakan untuk Menyerang Kompeni
Di penghujung pemerintahannya, Prabu Anyokrowati meminta JP Coen sebagai kuasa pelayaran Kompeni membangun loji di Jepara. Sultan Agung yang naik tahta pada 1613, meneruskan keputusan ayahnya, Anyokrowati, meminta Kompeni meneruskan pembangunan loji.
Untuk mendukung pembangunan loji itu, dalam pejanjian Kompeni harus memenuhi apa pun permintaan Raja Mataram. Mataram akan memasok batu bata untuk pembangunan itu, tetapi meminta imbalan empat meriam.
Pada 1615, Kompeni menyerahkan dua meriam terbaiknya, lalu pada 1616 menyerahkan dua meriam lagi, dikirim ke Lasem, pada saat Mataram berperang untuk menaklukkan Lasem. Sultan Agung pada 14 tahun kemudian, yaitu pada 1629, memanfaatkan meriam-meriam itu untuk menyerbu markas Kompeni di Batavia.
“Inilah hasil dan tanda terima kasih yang dapat diharapkan dari pemberiann hadiah yang demikian itu kepada para pangeran Muslim,” tulis De Graaf mengutip catatan JKJ Jonge.
Oohya! Baca juga ya:
Sejak awal Kompeni menyesali pemberian dua meriam pertama. Dua meriam itu adalah meriam terbaik di seluruh Hindia, terbuat dari logam. “Belum pernah yang demikian diberikan kepada penguasa mana pun,” tulis De Graaf mengutip catatan JP Coen.
Ketika Mataram meminta dua meriam lagi, yang diinginkan adalah meriam seperti yang diserahkan sebelumnya, Kompeni hanya menyerahkan dua meriam yang dibuat dari besi coran. Pemberian meriam ini sebetulnya tidaka ada dalma perjanjian Mataram-Kompeni dalam kesepakatan pembangunan loji di Jepara.
Dalam kesepakatan itu, Sultan Agung memberi izin Kompeni membangun loji, Mataram menyediakan batu bata yang diperlukan. Dalam pelaksanaannya, batu bata itu tidka diberikans ecara gratis, tetapi dijual seharga 14 bolongan per 100 buah.
Kompeni memerlukan 1,5 juta batu bata, yang sudah dipenuhi oleh Mataram karena Mataram sedang berperang menalukkan negeri-negeri lain. Karena Kompeni keberatan dengan harga batu bata, Matara kemudian menyatakan batu bata bisa diperoleh gratis asalkan Kompeni memberi imbalan empat meriam.
“Demikian bersemangatnya orang Belanda pada permulaan, demikian kecewanya mereka ketika harus berurusan dengan orang Jawa,” tulis De Graaf.
Oohya! Baca juga ya:
Berkaca pada Hilirisasi yang Dibicarakan Selepas Debat Cawapres
Utusan Kompeni Casper van Surck mencatat kalimat Sultan Agung yang membuat Kompeni bersemangat bekerja sama dengan Mataram. Sultan Agung bukan hanya mengizinkan pembangunan loji dari batu bata.
“Buatlah sebuah benteng atau bila dikehendaki sebuah rumah sedemikian kuat sehingga dapat bertahan bila diserbu musuh, sampai saya dapat memberi bantuan. Saya bukan seorang pedagang seperti mereka dari Banten dan Surabaya, saya tidak menginginkan bea cukai, sebab keadaanku cukup dan tidak kekurangan apa-apa. Saya tahu benar bahwa Tuan-tuan datang tidak untuk menduduki tanah Jawa,” ujar Sultan Agung kepada Van Surck.
Untuk pembangunan loji di Jepara itu, selain menyediakan batu bata, Mataram juga harus menyediakan kayu dan orang-orang yang bekerja untuk membangunnya serta tentu saja beras. Namun, karena Mataram sedang berperang, peneydiaan batu bata, kayu, dan oekerja tidak terlaksana.
Hal itu membuat Kompeni ingin membahasnya lagi dengan Sultan Agung. Tidak cukup hanya dengan penguasa Jepara yang hanya bawahan Sultan Agung.
Namun tentu saj amereka tidak bisa bertemu dengan Sultan Agung, karena Sultan Agung sedang memimpin penaklukan. Selain itu, Sultan Agung juga tidak terima karena perjanjian pertama saja belum terlaksana, eh Kompeni sudah minta pembaruan perjanjian.
Kompeni kemudian hanya membangun separuh dari luas yang direncanakan sebelumnya. Maka, kebutuhan batu batanya pun berkurang separuh.
Oohya! Baca juga ya:
Kisah Ten Dudas, 10 Duda Penyintas Tsunami Aceh Membangun 200 Rumah Darurat Dibantu Posko Jenggala
Dari semula memerlukan 1,5 juta batu bata, yang dibutuhkan kemudian hanya 800 ribu batu bata. Mataram baru bisa memasok 20 ribu batu bata.
Penyelesaian pembangunan loji belum tuntas, orang-orang Belanda berulah. Mereka merompak kapal-kapal Mataram. JP Coen selaku kuasa pelayaran Kompeni sudah mendapatkan laporan ini tapi tidak ada tindakan.
Sebab bagi Kompeni, sudah menjadi kebiasaan mengambil barang-barang dari orang-orang Jawa dengan transaksi yang tidak memuaskan orang-orang Jawa. “Paksaan dengan kekerasan dilarang, tetapi paksaan dalam pembelian kadang-kadang dianjurkan dengan cara menakut-nakuti dan mengancam,” tulis De Graaf mengutip catatan JP Coen.
Oohya! Baca juga ya:
Kisah Ten Dudas, 10 Duda Penyintas Tsunami Aceh Membangun 200 Rumah Darurat Dibantu Posko Jenggala
Sultan Agung marah, lalu meminta penguasa Jepara menangkap orang Belanda. Pada 8 Agustus 1618, utusan Kompeni Balthasar van Eyndhoven dan Cornelis van Maseyck ditahan.
Barang-barang Kompeni dirampas, loji lalu diserbu. Tiga orang Belanda tewas, tiga luka-luka, sisanya ditahan.
JP Coen pun harus membalas dendam. Bermanis-manis dengan orang Jepara untuk mendapatkan keuntungan lebih. Lalu pada 8 November 1618 sebanyak 160 orang Belanda diturunkan untuk melakukan perusakan dan pembakaran.
Kota Jepara dibakar. Ada 30 orang Jawa tewas akibat ulah mereka.
Dua kapal beras diambil Kompeni, dan banyak kapal di Jepara dan Demak dirusak dan dibakar. “Maka kerugian Mataram lebih besar daripada kerugian orang Belanda,” tulis De Graaf.
Setelah peristiwa itu, orang-orang Jawa melihat bintang kemukus mucul dalam beberapa hari. Orang-orang Jawa menjadi semakin takut, karena munculnya bintang kemukus dianggap sebagai pertanda bencana.
JP Coen memaksa Sultan Agung membebaskan orang-orang Belanda yang ditahan dan meminta penguasa Jepara dihukum mati.
Oohya! Baca juga ya: Tinggi Kandungan Litium, akankah Objek Wisata Bleduk Kuwu di Grobogan Ini Dijadikan Areal Pertambangan?
Apa tanggapan Sultan Agung? Raja Mataram itu menyampaikanya lewat surat.
“Suratnya arif tetapi agak arogan. Raja tidak menghendaki perang meskipun ia bersedia bertempur melawan orang Belanda. Pedagang Belanda di Jepara ditahan karena kesalahannya sendiri,” tulis De Graaf.
Lantas, bagaimana Sultan Agung pada 1628 dan 1629 harus menyerbu Kompeni di Batavia menggunakan meriam pemberian Kompeni?
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Puncak Kekuasaan Mataram karya Dr HJ de Graaf (2002. Edisi revisi)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com