Setelah Untung Suropati Pawai dan Gending Kemenangan ‘Banyu Banjir’ Berkumandang dari Keraton Amangkurat II, Ini yang Dilakukan Kompeni
Ada 40-50 prajurit Untung Suropati gugur, namun hal itu tak menghalangi Untung Suropati melakukan pawai keliling alun-alun setelah mengalahkan Kompeni. Perwira Kompeni Kapten Tack tewas bersama 68 prajurit Kompeni.
“Suropati selama beberapa jam masih berpawai mengelilingi alun-alun, sedangkan dari dalam keraton terdengar gamelan. Yang dikumandangkan ialah gending kemenangan ‘Banyu Banjir’ yang segera dibarengi pula gamelan dari dalem Sundirejo,” tulis HJ de Graaf.
Perang usai pukul 12.00. Pukul 15.00, Suropati dengan sisa-sisa pasukannya meninggalkan Kartosuro. Semua pemimpin pasukannya ikut gugur dalam pertempuran itu. Gending kemenangan terus berkumandang di keraton hingga larut malam.
Di kalangan prajurit Kompeni muncul kekalutan setelah kalah perang, Kapten Tack dan perwira lainnya tewas di peperangan itu. Para prajurit yang tersisa membagi-bagikan barang-barang kepunyaan prajurit dan perwira yang tewas.
Oohya! Baca juga ya: Pertempuran Hidup-Mati Perwira Kompeni Kapten Tack Melawan Untung Suropati di Keraton Amangkurat II
“Andaikata pada saat itu –ketika hujan turun dengan lebatnya sehingga penglihatan terhakang— Suropati berusaha menyerang loji, maka mungkin juga usahanya berhasil. Tetapi untunglah pada pukul tiga sore ia telah menuju ke timur,” tulis De Graaf.
Kapten Leeman kemudian mengambil alih komando. Ia menunjuk Eygel sebagai pimpinan pasukan. Kendati begitu, kondisi tidak segera pulih. Perintah-perintah banyak yang tidak dipatuhi. Sering terjadi pertengkaran di antara mereka.
Banyak yang tidak suka dengan Leeman dan Eygel. Apalagi terhadap Eygel, yang dianggap sebagai pengecut karena telah melarikan diri dari medan pertempuran.
Kabur dari medan pertempuran, tetapi memimpin dengan keras ketika pertempuran sudah usai. Eygel telah mengusir para penjaga makanan dan para nyai. Ia juga melarang prajurit mencuri ayam.
Februari adalah musim hujan di Mataram. Prajurit Kompeni yang kehilangan semengat itu terkurun di dalam benteng selama musim hujan itu setelah kalah perang. Penyakit menyerang mereka.
Pelan-pelan, Leeman berhasil memulihkan komando. Benteng yang rusak kemudian diperbaiki.
Oohya! Baca juga ya: Dapat Tugas Cari Anggota Pramuka Non-Muslim, Mengapa Para Santri dari Karawang Ini Mondar-Mandir Cari WC di Kemah Bakti Harmoni Beragama?
Beberapa pos penjagaan yang dibangun Kapten Greving --komandan benteng yang tewas dalam pertempuran-- saat perluasan benteng, dibongkar. Bahan-bahannya lalu digunakan untuk membangun pos baru di dalam benteng.
Awal Maret 1686, pembangunan selesai, termasuk pembangunan kubu pertahanan segi delapan dari batu. Kubu ini digunakan untuk melindungi gudang mesiu yang dibuat dari bambu dan rumbia.
Prajurit-prajurit yang sakit segera dipindahkan ke Semarang. Dari Semarang didatangkan tombak-tombak panjang.
Di dalam benteng masih ada sekitar 250 orang yang harus tetap hidup. Mereka memerlukan beras dan lauk-pauk.
Tetapi mereka kesulitan mendapatkannya. Para petani dan pedagang di pasar yang biasa menyediakan beras ternyata dikumpulkan oleh Amangkurat II untuk memperkuat pertahanan keraton.
Mereka dipekerjakan untuk membuat benteng dari kayu setinggi 5,5 meter. Amangkurat II khawatir Kompeni akan membalas dendam dengan menyerang keraton.
“Sukses mereka terhadap Tack telah memperbesar kepercayaan Sunan dan rakyat dalam menghadapi Kompeni. Mereka mengerti, rujuk kembali dengan Kompeni berarti kehancuran dan kematian,” tulis De Graaf.
Oohya! Baca juga ya: Kisah Ten Dudas, 10 Duda Penyintas Tsunami Aceh Membangun 200 Rumah Darurat Dibantu Posko Jenggala
Amangkurat II juga mencoba meredam kemarahan Kompeni. Karena itu, ia meminta Patih Nerangkusumo --yang menjadi dalang penyerangan terhadap Kapten Tack-- untuk tidak menonjolkan diri.
Dengan cara ini, orang-orang Belanda yang masih tinggal di keraton tidak berani berselisih dengan Amangkurat II. “Secara lahiriah sikap Sunan masih tetap bersahabat,” tulis De Graaf.
Tidak hanya kepada Kompeni, Amangkurat II memperlihatkan sikap persahatannya. Kepada Untung Suropati, hubungan Amangkurat II bahkan semakin akrab.
Orang-orang Suropati sering bertemu dengan orang-orang Mataram. Amangkurat II pun tercatat lebih dari satu kali bertemu dengan Suropati.
“Kedudukan Suropati dapat disamakan dengan posisi seorang vazal yang menguasai wilayah tertentu,” tulis De Graaf.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Terbunuhnya Kapten Tack karya Dr HJ de Graaf (1989)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com