Sultan Agung yang Menaklukkan, Amangkurat I yang Melepaskan Negeri-Negeri Taklukan Mataram Itu
Kesepakatan perdamaian Kompeni-Mataram ini, diduga oleh sejarawan Belanda HJ de Graaf sebagai pangkal lepasnya beberapa negeri taklukan. Sultan Agung yang menaklukkan negeri-negeri itu, Amangkurat I yang melepaskan negeri-negeri taklukan itu.
Tawaran perdamaian itu datang dari Raja Mataram Amangkurat I, 2,5 bulan setelah ia naik tahta. Beras 200 gantang dan ayam jago 20 ekor dikirim kepada Kompeni di Batavia sebagai hadiah.
Tumenggung Wiroguno yang berangkat ke Batavia membawa hadiah-hadiah itu beserta surat pada April 1646. Kompeni pun antusias menyambut tawaran itu dengan melepaskan orang-orang Jawa yang ditawan ketika hendak dikirim ke Makkah oleh Sultan Agung pada Juli 1642.
Oohya! Baca juga ya: Cerita Asal Mula Sultan Agung Raja Mataram Mendapat Gelar Sultan dari Arab dan Sabotase Kompeni terhadap Pengiriman 18 Orang Jawa ke Makkah
Pada 1641, Sultan Agung mendapat gelar sultan dari Arab. Sebagai ucapan syukur, pada 1642 Sultan Agung mengirim 18 orang Jawa beserta haji Arab ke Makkah dengan dibekali uang sekitar 6.000 riyal.
Tetapi, setibanya di perairan Pulau Onrust di Batavia, kapal mereka disergap Kompeni. Orang Inggris yang menyertai mereka dan beberapa orang Jawa yang mengamuk, dibunuh. Yang hidup dijadikan tawanan.
Imbalannya, Mataram melepaskan orang-orang Belanda yang ditawan. Pada Juli 1646, utusan Mataram dikirim lagi ke Batavia, membawa hadiah empat butir intan yang indah.
Syarat lain dari tawaran perdamaian oleh Mataram adalah kesediaan Kompeni mengirim utusan ke Mataram. Bila Kompeni menghendaki perdamaian yang ditawarkan oleh Mataram itu, demikian permintaan Mataram yang disampaikan oleh Tumenggung Wiroguno pada April 1646, Kompeni perlu mengirimkan utusan ke Mataram.
Pengiriman utusan perdamaian ke Mataram, menurut De Graaf, dianggap oleh Mataram sebagai kesediaan Kompeni memohon perdamaian kepada Mataram. “Yang di mata orang Jawa berarti tunduk,” tulis De Graaf.
Kompeni juga menyatakan dalam pakta perdamaian bersedia memberi penghormatan khidmat kepada Mataram. Caranya, kata De Graaf, dengan “bersedia memesan untuk Sunan dan Tumenggung Wiroguno pakaian dan barang-barang langka yang sewaktu-waktu akan dipersembahkan dan contoh-contohnya sudah tersedia”.
Oohya! Baca juga ya: Cerita Andi Sahrandi tentang Pelajaran dari Kampung Menjelang Pilpres
Untuk menjalankan syarat perdamaian itu, tawanan dari masing-masing pihak akan dilepaskan secara bersamaan. Kompeni menyerahkan tawanan ke Mataram, Mataram menyerahkan tawanan ke Kompeni.
Tetapi, tawanan yang sudah disunat, tidak diinginkan lagi oleh Kompeni. Mereka diberi kebebasan untuk memilih, kembali ke Batavia atau tetap tinggal Mataram.
“Di Teluk Semaranglah dilaksanakan penukaran tawanan, dan pengembalian uang yang disita,” tulis De Graaf.
Setelah itu, pembicaraan mengenai perdamaian terus dilakukan. Pada Agustus 1646 ada pembahasan mengenai perdamaian itu, dilanjutkan pada September 1646.
“Kini ternyata utusan-utusan tersebut bukan hanya bertindak sebagai utusan Tumenggung Wiroguno atau tumenggung Mataram, tetapi juga bertindak atas nama Sunan, dan mempunyai kuasa untuk mengubah usul-usul mereka,” tulis De Graaf.
Saat Tumenggung Wiroguno menawarkan perdamaian pada April 1646, Amangkurat I belum tahu-menahu. Itu sebabnya, Kompeni menyebut Tumenggung Wiroguno sebagai orang “yang amat arif dan mencintai perdamaian”.
Tahun demi tahun berjalan, setelah adanya perdamaian Mataram-Kompeni, sikap negeri-negeri taklukan pun berubah terhadap Mataram. Makassar misalnya, tidak pernah lagi menghadap ke Mataram.
Oohya! Baca juga ya: Ini Arti Ndhasmu Etik, Makian Jawa karena Kesal Bukan karena Ingin Bercanda
Pada September 1654, Amangkurat I mengeluhkan sikap Makassar kepada utusan Kompeni, Rijklof van Goens. Amangkurat I mengatakan rakyat dan kapal Makassar tidak pernah lagi datang ke Mataram.
“Mungkin tercapainya perdamaian dengan orang Belanda pada tahun 1646 itu telah membuat orang Makassar, musuh besar Kompeni, tidak begitu tertarik kepada Istana Mataram. Sebaliknya, dapat dimengerti bahwa Raja merasa jengkel karena sikap Makassar yang tidak lagi menghiraukannya,” tulis De Graaf.
Kompeni melihat peluang ini, sehingga mendorong Van Goens untuk memanas-manasi Amangkurat I agar Mataram mengirim pasukan ke Makassar. Dengan demikian, Amangkurat I bisa menjadi raja terbesar di dunia.
Tapi, Amangkurat I tidak termakan oleh muslihat Van Goens. Di lingkungan Keraton Mataram banyak yang tidak menyukai Kompeni, sehingga ia akan kesulitan untuk menyetujui tawaran Kompeni menyerbu Makassar.
Bukan hanya Makassar yang bepaling dari Mataram. Banjarmasin dan Sukadana di Kalimantan, Jambi di Sumatra juga berpaling dari Mataram. Kekuasaan Mataram di luar Jawa yang dibangun Sultan Agung makin menyurut di tangan Amangkurat I.
Oohya! Baca juga ya: Inilah 40 Nama Spesies Cendrawasih Papua yang Didata oleh Alfred Russel Wallacea, Ada Beberapa Ditemukan di Australia
“Hanya Palembang yang tetap setia sampai akhir (1677), mungkin berdasarkan tradisi lama, atau karena merasa terancam oleh musuh Mataram, yaitu Banten dan Jambi yang sedang berkembang dengan pesat [...] Di Kalimantan setelah tahun 1660 tidak terdapat lagi sisa-sisa kekuasaan Mataram; sedangkan Makassar menghargai orang Jawa paling-paling sebagai sekutu,” tulis De Graaf.
Banten, kata De Graaf, yang aman di belakang Batavia, tidak pernah mengakui kekuasaan Mataram. "Blambangan, setelah adanya usaha untuk menegakkan kekuasaan Mataram di sana, harus segera dilepaskan, dan kemudian, atau jadi mangsa serbuan orang-orang Bali ...,” tulis De Graaf.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I karya Dr HJ de Graaf (1987)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com