Lincak

Cerita Asal Mula Sultan Agung Raja Mataram Mendapat Gelar Sultan dari Arab dan Sabotase Kompeni terhadap Pengiriman 18 Orang Jawa ke Makkah

Sultan Agung mendapat gelar sultan dari Arab pada 1641. Ketika dari Jawa dikirim 18 orang untuk berangkat ke Makkah pada 1642, Kompeni melakukan sabotase.

Sultan Agung naik tahta di Mataram pada 1613. Tapi rupanya saat itu ia belum mengenakan gelar sultan. Memiliki nama remaja sebagai Pangeran Rangsang, setelah naik tahta menjadi Prabu Anyokrokusumo.

Naskah-naskah Belanda menyebutnya dengan Sunan atau Susuhunan. Surat-surat Kompeni menyebut Ratu. Pada 1936, Panembahan Cirebon menawarkan pemakaian gelar Ratu Mataram, namun Prabu Anyokrokusumo menolaknya.

Pada 1638, Raja Banten mendapat gelar sultan dan sebuah bendera dari Makkah. Menurut JKJ Jonge, Raja Mataram menjadi iri, lalu menuntut ke Banten agar gelar itu diberikan kepada Mataram.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

“Ini tentu dugaan yang tidak masuk akal,” tulis HJ De Graaf. “Bagi Mataram kiranya lebih menguntungkan bila mendekati orang Inggris yang bermukim di Banten agar lewat perantaraan mereka dapat diperoleh transportasi ke Makkah. Bukankah Raja Banten telah memanfaatkan jasa-jasa mereka,” lanjut De Graaf mengutip catatan W Foster.

Oohya! Baca juga ya:

Anak Usia Dua Tahun Bisa Berjalan Setelah Konsumsi Kelor, Istri Ganjar Sebut Kelor yang Bisa Cegah Stunting Harganya Lebih Murah dari Moringa

Itu memang yang kemudian dilakukan oleh Raja Mataram. Pada November 1640, kedatangan kapal Inggris sudah ditunggu-tunggu di Banten. Kapal itu akan memba pulang orang Jawa yang diantar ke Makkah.

Utusan Jawa ini dikirim Mataram menemui orang Inggris di Banten pada Oktober 1638. Akhir 1640 kapal Inggris dari Surat, India, tiba di Banten. Ada orang Jawa yang telah diantar ke Makkah melalui Surat.

Pada 27 Januari 1641 kapal Inggris dari Banten berangkat ke Jawa membawa orang Jawa utusan Raja Mataram yang baru pulang dari Makkah. Raja Banten mennyertakan beberapa kapal untuk mengawalnya.

“Yang dibawa utusan Jawa itu tercatat dalam berita-berita dari Demak dan Pekalongan yang disampaikan ke Batavia, yaitu bagaimana kepada Sunan dipersembahkan sebuah gelar baru dari Tanah Arab dan disebut: Sultan Abdul Mahomet Moulana Matavani (sebenarnya mungkin: Sultan Abdullah Muhammad Maluana Matarani,” tulis De Graaf.

Oohya! Baca juga ya:

Berangkat ke Makkah Pukul 11.00, Sultan Agung Raja Mataram tidak Terlambat Ikut Shalat Jumat di Masjidil Haram

Catatan utusan Kompeni di Mataram, Van Goens, juga menyebut soal gelar baru ini. “Menurut Van Goens, orang Inggris dari Jepara membawa beberapa ulama mereka ke Surat. Dari sana orang Jawa tersebut berangkat ke Makkah dengan kapal orang Islam dan pulangnya mereka diantar oleh seorang Arab,” tulis De Graaf.

Pada Dagregister 1 Juli 1641, kata De Graaf, Raja Mataram telah disebut sebagai Sultan Mataram. Namun, lanjut De Graaf, nama Sultan Agung yang disematkan kepada raja Mataram ketiga itu belum dipakai pada masa hidupnya.

Gelar sultan ternyata menggambarkan ketaatan raja kepada agama yang dipeluknya. “Seperti yang diceritakan dalam cerita-cerita tutur. Ingat saja misalnya kunjungannya ke masjid di Makkah yang legendaries, yang menceritakan berkat kesaktiannya ia dapat mengikuti sembahyang Jumat setiap minggu,” tulis De Graaf.

Namun, pemberian gelar sultan ini bukannya tanpa masalah. Sebelum Inggris membantu Sultan Agung, Kompeni rupanya juga telah menawarkan upaya gelar sultan dengan imbalan pembebasan tawanan.

Kisahnya terjadi pada 1640. Kompeni membujuk Raja Mataram agar bersedia membebaskan orang-orang Belanda yang menjadi tawanan di Mataram. Sebagai imbalannya, Kompeni akan membantu mengupayakan gelar sultan dari Arab.

Maka, Kompeni bersedia mengantar utusan Raja Mataram ke Makkah melalui Surat, India. Pada 24 April 1640, Kompeni menulis surat janji ini kepada Patih Mataram, Tumenggung Dirantaka. Pada 21 Agustus 1640, Kompeni mengulangi lagi tawaran itu.

Tetapi saat itu Sultan Agung tidak menanggapi permintaan dan tawaran Kompeni itu. Karena Sultan Agung sudah mengirim utusan untuk mengupayakan gelar sultan itu dan sudah berangkat ke Surat bersama orang Inggris pada 1639.

Oohya! Baca juga ya:

Ini Arti Ndhasmu Etik, Makian Jawa karena Kesal Bukan karena Ingin Bercanda

“Orang Jawa itu konon telah berlayar ke sana paling lambat pada pertengahan 1639, dan perjanjian mengenai perjalanan ini diduga dibuat pada akhir 1638 atau awal 1639,” tulis De Graaf.

Ketika pada 1642 Sultan Agung mengirim utusan ke Makkah, Kompeni melakukan sabotase. Orang Inggris terinspirasi oleh cerita orang-orang Belanda yang ditawan di Mataram mengenai rencana Kompeni ingin mengirim orang Jawa ke Makkah.

Ulama Arab yang ada di Jepara dikirim ke Arab membawa 18 orang Jawa. Mereka dibekali 6.000 riyal untuk disedekahkan di makam Nabi. Orang Inggris menyebut pengiriman utusan ke Makkah ini atas surat perintah Sultan Agung.

Kompeni mengetahui hal ini lalu menyerang kapal dari Jepara itu di sebelah barat Pulau Onrust. Penyerangan pada 11 Juli 1642 itu menyebabkan satu orang Ingris tewas dan 3-4 orang mengalami luka-luka.

Oohya! Baca juga ya:

Inilah 40 Nama Spesies Cendrawasih Papua yang Didata oleh Alfred Russel Wallacea, Ada Beberapa Ditemukan di Australia

Kompeni juga menangkap haji Arab, dan dua kiai Jawa serta merampas uang 6.000 riyal. ”Lima orang Jawa yang masih ada karena mengamuk secara nekat dibunuh bersama orang Inggris,” tulis De Graaf.

Haji dan kiai yang ditahan Kompeni diinterogasi. Mereka dipaksa menulis surat kepada Sultan Agung, yang isinya memberi tahu Kompeni akan membebaskan mereka dan membolehkan mereka melanjutkan perjalanan ke Makkah dengan syarat Sultan Agung membebaskan orang-orang Belanda yang ditawan di Mataram.

Surat tertanggal 12 Juli 1642 itu lalu dikirim ke Mataram oleh salah satu orang Jawa yang dibebaskan. “Tetapi reaksi Sultan sanagt bertentangan dengan harapan Batavia,” tulis De Graaf.

Sekarang Kompeni tidak hanya berhadapan dengan Sultan Agung. Kompeni juga harus menangani protes dari orang Inggris.

Seminggu setelah peristiwa di perairan Batavia itu, orang Inggris di Banten melakukan protes. Terjadilah pertengkaran mulut secara panjang lebar.

Orang Inggris itu kemudian meminta ganti rugi sekitar 640 riyal dengan imbalan bersedia menjadi penengah penyelesaian masalah Kompeni dan Sultan Agung.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Puncak Kekuasaan Mataram karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)

Oohya! Baca juga ya:

Cerita Andi Sahrandi tentang Pelajaran dari Kampung Menjelang Pilpres

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
oohya.republika@gmail.com