Putra Mahkota Culik Istri Tumenggung, Sultan Agung Mataram Mengurung Diri Lebih dari Sebulan tidak Shalat di Masjid
Pada 1637 usia Pangeran Adipati Anom baru berusia 18 tahun. Merasa punya kekuasaan sebagai putra mahkota (ia kemudian menjadi Amangkurat I), ia menculik istri Tumenggung Wiroguno.
Namun ia salah duga. Wiroguno ternyata berani melawannya dengan mengadukan penculikan itu kepada saudara Putra Mahkota, Pangeran Alit. Tindakan Pangeran Adipati Anom menculik istri tercantik Wiroguno itu pun dilaporkan kepada Sultan Agung.
Dengan cara ini, Wiroguno berharap posisi putra mahkota dicopot dari Pangeran Adipati Anom untuk dialihkan kepada Pangeran ALit. Jika ini terjadi, posisi Wiroguno di Mataram akan semakin kuat.
Oohya! Baca juga ya: Anak Usia Dua Tahun Bisa Berjalan Setelah Konsumsi Kelor, Istri Ganjar Sebut Kelor yang Bisa Cegah Stunting Harganya Lebih Murah dari Moringa
Wiroguno salah perhitungan. Sultan Agung tidak mencopot posisi putra mahkota. Namun, kasus ini membuat Sultan Agung menjadi sedih, lalu mengurung diri selama sebulan lebih.
“Ia melewatkan semua hari peradilan, hari pertandingan, dan waktu-waktu sembahyang di masjid. Hal ini sungguh menimbulkan kehebohan di Keraton,” tulis HJ de Graaf.
Menghadapi kasus ini, Pangeran Adipati Anom membicarakannya dengan sang ibu yang juga dari golongan bangsawan. Ia meminta pengawalan untuk mencegah sesuatu terjadi pada dirinya.
Yang mengawal dirinya tidak hanya orang Jawa, melainkan juga Kompeni. Sultan Agung memarahi para pengadu yang tidak memikirkan nama baik Putra Mahkota setelah nanti naik tahta. Sultan Agung memaklumi kenakalan Pangeran Adipati Anom sebagai anak muda.
Di hari peradilan dengan Pangeran Adipati Anom sebagai tertuduh, Sultan Agung menampakkan diri untuk pertama kali setelah mengurung diri. Di depan raja, Putra Mahkota menghukum dirinya sendiri.
“Untuk selama-lamanya tidak akan bertemu muka dengan Raja,” tulis De Graaf mengenai hukuman yang dipilih oleh Putra Mahkota.
Pangeran Adipati Anom kemudian menyembah Sultan Agung, lalu berjalan mundur dengan jongkok meninggalkan tempat peradilan. Istri Wiroguno yang ia culik ia kembalikan.
Oohya! Baca juga ya: Cerita Andi Sahrandi tentang Pelajaran dari Kampung Menjelang Pilpres
Pembantu-pembantunya mengantarkan istri Wiroguno menggunakan tandu yang ditutup kain putih. Jika Wiroguna pulang dari pertemuannya dengan Sultan Agung, ia akan mendapati istrinya sudah ada di rumah.
Wiroguno tidak mau lagi menerima istrinya. Ia bunuh istrinya, lalu jenazahnya ia buang ke tanah lapang. Para pembantu Wiroguno kemudian menguburkannya secara diam-diam.
Putra mahkota menyesali perbuatannya dengan menjauhi selir-selirnya. Bahkan ia meminta selir-selirnya dikurung. Tiga tahun ia menjauhi perempuan karena marah kepada keberingasan Wiroguno.
Kesedihan Pangeran Adipati Anom tak hanya bersumber dari kematian istri Wiroguno. Sultan Agung telah menghukum mati 20 bangsawan yang dekat dengan Putra Mahkota.
Mereka dihukum mati. Alasannya mereka telah membuat huru-hara dan melarang Putra mahkota masuk istana.
Sedangkan Tumenggung Danupoyo dan Tumenggung Suro Agul-agul hanya dihukum denda. Mereka dianggap bersalah karena mengizinkan pernikahan Putra Mahkota dan istri Wiroguno yang disebut sebagai pasangan yang telah berzina, tanpa sepengetahuan Sultan Agung.
Oohya! Baca juga ya: Ini Arti Ndhasmu Etik, Makian Jawa karena Kesal Bukan karena Ingin Bercanda
De Graaf mengutip cerita ini dari catatan Belanda. Yaitu catatan yang dibuat oleh utusan Kompeni di Mataram, Van Goens dan Antonie Paulo.
Tapi, Suro Agul-agul kemudian dibuang ke Batavia pada Juli 1638. Anak-istrinya dihukum mati. Suro Agul-agul dan keluarganya dituduh telah melakukan guna-guna agar Sultan Agung menerima lagi mereka.
Catatan Belanda yang ditulis De Jonge menyebut, Suro Agul-agul meninggal di Batavia setelah bertempur bersama seribu orang yang mengawasinya melawan Kompeni. Perintah Sultan Agung, mereka diminta bertempur sampai titik darah penghabisan. Tidak boleh pulang ke Mataram.
Oohya! Baca juga ya: Angkatan Perak 88 PMB Merayakan Ulang Tahun ke-35, Ada Anggota Petisi 50 dan Presiden yang Menjadi Senior Mereka di PMB
Putra Mahkota kemudian mencukur rambutnya, menitipkan 12-16 ribu pengikutnya kepada Tumenggung Mataram. Ia memperketat penjagaan rumahnya dengan orang-orang kepercayaannya.
Pada 1640 ia dipanggil lagi pulang ke istana. Kehidupan di istana berjalan seperti tidak pernah ada kasus memalukan itu.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Puncak Kekuasaan Mataram karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com