Sultan Agung tak Shalat Jumat karena Masjid Mataram Panas, Begitu Shalat Jumat Lagi Atap Masjid Sudah Dipenuhi Daun
Setelah menguji keadilan pikiran Kiai Penghulu mengenai puasa Ramadhan, Raja Mataram Sultan Agung hendak mengujinya lagi di urusan lain. Kali ini, Sultan Agung sudah tidak shalat Jumat berkali-kali, sehingga mendorong Kiai Penghulu menanyakannya kepada Sultan Agung.
Sebelumnya, Sultan Agung tidak menunaikan ibadah puasa Ramadhan. Kiai Penghulu memberikan nasihat secara moderat, tidak menghakimi, tetapi berani secara tegas menyatakan bahwa tindak-tanduk raja sebagai wakil Tuhan di bumi akan menjadi contoh bagi rakyatnya.
Maka, untuk urusan shalat Jumat, Kiai Penghulu juga menanyakan alasan Sultan Agung berkali-kali tidak melakukan shalat Jumat. “Apa ada yang menentang kehendak Ingkang Sinuhun, sehingga kepikiran terus? Apa menyimpan kehendak menikah lagi, putri mana telah dianggap sesuai kehendak hati?” tanya Kiai Penghulu.
Oohya! Baca juga ya:
Kiai Penghulu pun menegaskan, selama masih di bawah sinar matahari, dirinya sanggup untuk melaksanakan perintah Sultan. Begitu yang ia sampaikan kepada Sultan Agung.
“Duh Kakang Penghulu, bukan itu semua yang menjadi pikiranku,” kata Sultan AGung menenangkan kegusaran Kiai Penghulu.
“Aku tidak berangkat sembahyang Jumat itu karena setiap berada di dalam masjid, terasa panas, kurang adem,” lanjut Sultan Agung.
Maka, Sultan Agung pun menyampaikan pemikirannya. Ia membayangkan, betapa sejuknya jika di gapura masjid dan di atap masjid tumbuh dedaunan yang ijo royo-royo.
“Jika hal itu bisa menambah keindahan masjid dan kenyamanan hati, aku pasti akan berangkat Jumatan seperti biasanya,” kata Sultan Agung.
Oohya! Baca juga ya:
Mendengar lamunan Sultan Agung itu, Kiai Penghulu lantas tertawa. “Duh Gusti Ratu, kalau cuma begitu kehendak Gusti, besok Kangjeng Gusti berangkat saja shalat Jumat, karena kebetuan besok hari Jumat. Apa yang Gusti bayangkan itu, atas kehendak Alah pasti akan terlaksana,” jawab Kiai Penghulu.
Selesai menyampaikan saran itu, Kiai Penghulu pun meminta pamit. Dalam perjalanan pulang, ia membicarakan masalah itu dengan Katib, merasa heran Sultan Agung tidak melakukan shalat Jumat karena urusan sepele.
“Itu kan cuma karena Kangjeng Gusti hendak menguji Panjenengan,” jawab Katib.
Mendengar jawaban Katib, Kiai penghulu mengangguk-angguk. “Makanya saya sanggupi. Semoga besok terlaksana,” kata Kiai Penghulu.
Esok hari, Jumat, Sultan Agung terlihat datang di masjid untuk shalat Jumat. Gapura dan masjid dibangun menggunakan kayu jati yang berkualitas. Dari keraton ke masjid berangkat dengan iring-iringan sesuai protokoler keraton.
Ketika rombongan Sultan Agung sudah mendekati gapura masjid, angin bertiup. Lalu terdengar suara benda jatuh.
Oohya! Baca juga ya:
Kisah Ten Dudas, 10 Duda Penyintas Tsunami Aceh Membangun 200 Rumah Darurat Dibantu Posko Jenggala
Jamaah Jumat hari itu yang cukup banyak, termasuk Sultan Agung, lalu memandang atap gapura yang sudah dipenuhi daun yang ijo royo-royo. Atap masjid pun begitu. Sudah tertutup oleh daun-daun yang ijo royo-royo.
Aromanya harum buah jati. Sebab di antara dedaunan itu sudha muncul pula lapen (buah jati). Semua terkagum-kagum.
Dalam hati, Sultan Agung memuji kehebatan Kiai Penghulu.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Babad Pagedongan (1941)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]