Lincak

Nenek Suri Berusaha agar Pakubuwono II Meniru Sultan Agung, Hasilnya Raja Muda Belia Itu Malah Tunduk pada Kompeni

Gedung ini dibangun pada 1707-1710. Gubernur Jenderal Kompeni berkantor di sini. Pakubuwono II yang naik tahta pada 1726, semula membenci Kompeni. Tapi kemudian berbaikan dengan Kompeni.

Pakubuwono II naik tahta ketika masih muda belia. Ibunya, Ratu Amangkurat, Patih Danurejo, dan Nenek Suri, mengendalikannya.

Amangkurat IV meninggal dunia pada 20 April 1726. Pakubuwono II menggantikannya ketika ia masih berusia 16 tahun. Masih labil. Patih Danurejo yang dibenci Kompeni, mempengaruhinya agar juga ikut membenci Kompeni.

Sayangnya, Patih Danurejo kalah kuat pengaruh dari keluarga. Nenek Suri, yang merupakan seorang sufi yang saleh, memberikan pengaruh kuat pada Pakubuwono II agar meniru Sultan Agung. Karena Nenek Suri-lah, Pakubuwono II mengenalkan Islam di lingkungan keraton.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Nenek Suri pula yang kemudian menjauhkan Pakubuwono II dari Patih Danurejo. Bahkan Pakubuwono II kemudian menikah dengan putri Cakaningrat Madura, adipati yang dikenal dekat dengan Kompeni.

Oohya! Baca juga ya: Putri Solo Menari untuk Pernikahan Putri Juliana di Belanda dengan Iringan Gamelan yang Dimainkan di Jawa, Ini di Akhir 1936 dan Awal 1937 Lho

Ketika Pangeran Aryo Mangkunegoro, saudara Pakubuwono II yang pernah memberontak di keraton, dibolehkan pulang ke keraton, Patih Danurejo berusaha menjauhkannya. Ia menginformasikan kepada Pakubuwono jika Mangunegoro menyukai istri Pakubuwono II.

Pakubuwono II pun meminta bantuan Kompeni untuk membuang Mangkunegoro. Kompeni membuangnya ke Batavia, lalu ke Ceylon, dan kemudian ke Tanjung Harapan, Afrika.

“Banyak pembesar memandang diasingkannya Mangkunegoro ini sebagai tanda kerajaan tengah berada di tangan seorang raja yang impulsif dan seorang patih yang berbahaya,” tulis MC Ricklefs.

Patih Danurejo yangmembenci Kompeni ternyata tidak disukai oleh kalangan keraton. Bagaimana Nenek Suri membebaskan Pakubuwono II dari pengaruh Danurejo?

Ia menghidupkan kembali kisah agung raja-raja. Awalnya menulis ulang buku mengenai Sultan Agung yang ditulis pada 1633.

Sultan Agung Hanyokrokusumo masih menjadi raja terbaik Mataram. Ia menjadi simbol kuat kesalehan Islam di Mataram.

Oohya! Baca juga ya: Tinggi Kandungan Litium, akankah Objek Wisata Bleduk Kuwu di Grobogan Ini Dijadikan Areal Pertambangan?

Nenek suri juga menulis kisah berdasarkan Carita Sultan Iskandar, Serat Yusup, dan Kitab Usulbiyah. Di bukunya, Nenek Suri mendoakan Pakubuwono II bisa menjadi penguasa dunia yang dicintai Tuhan dan Rasulnya.

“Membaca kitab ini sama dengan pergi haji ribuan kali ataumembaca Alquran ribuan kali; mereka yang memelihara kitab ini akan dijaga oleh 7.700 malaikat dan dilindungi dari sihir,” tulis Ricklefs mengenai pernyataan di Kitab Usulbiyah versi Nenek Suri.

Kitab ini, menurut Nenek Suri, ia tulis untuk menyempurnakan pemerintahan cucunya, Pakubuwono II. “Seorang kafir yang memilikinya akan menjadi Muslim, orang bodoh yang membacanya akan menjadi seorang ahli dalam ilmu kesempurnaan,” lanjut Ricklefs.

Nenek Suri juga menulis ulang Suluk Garwa Kancana. Suluk ini disebut sebagai karya Sultan Agung mengenai sufisme. Yang diajarkan adalah agar para penerusnya menjadi raja yang meninggalkan puja-puji dan kesenangan duniawi.

“Biarkan perjuangan perjuangan tanpa henti menjadi benteng-bentengmu, ingatan yang agung (terhadap Tuhan) menjadi senjatamu, iman yang teguh terhadap Tuhan menjadi wahanamu,” tulis Ricklefs mengutip Suluk Garwa Kancana.

Usaha Nenek Suri berhasil. “Pakubuwono II terus menunjukkan komitmen yang kuat terhadap kesalehan dan moralitas Islam,” tulis Ricklefs.

Pada 1732, Pakubuwono II mulai melawan Patih Danurejo. Pada 1733 Pakuwubono II meminta Kompeni membuang Danurejo.

Oohya! Baca juga ya: Begini Indahnya Gelang Permata Hadiah Pernikahan Putri Juliana yang Dipesan Menggunakan Uang Sumbangan dari Penduduk Indonesia

Saran Ratu Amangkurat agar Pakubuwono II tidak menyingkirkan Danurejo tidak diindahkan olehnya. Dengan senang hati Kompeni memenuhi permintaan Pakubuwono II itu.

Pakubuwono II kemudian bersedia berunding dengan Kompeni. Ia bersedia melunasi utang dengan membayar 10 ribu riyal Spanyol setiap tahunnya selama 22 tahun.

Pun bersedia membayar 15.600 riyal Spanyol untuk biaya garnisun Kompeni di Kartosuro. Ia juga bersedia menyediakan beras untuk Kompeni selama 50 tahun sebesar 1,7 juta ton per tahunnya.

“Penyerahan beras tersebut adalah 1,15 kali dari pembayaran terbaik sebelumnya,” tulis Ricklefs.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
- Babad Tanah Jawi V, penerjemah Amir Rochyatmo dkk, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)
- Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 karya MC Ricklefs (2005)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]