Lincak

Ditipu Jenderal De Kock dalam Perang Jawa, Kata Diponegoro: Orang Islam tidak akan Pernah Meninggalkan Jamaahnya

Lukisan Raden Saleh tentang penangkapan Diponegoro. Belanda melakukan tipu daya untuk menangkap Diponegoro

Setelah berbincang lama dengan Jenderal De Kock, Diponegoro menyadari ada hal-hal yang tidak beres, ia lalu memprotesnya. “Siapakah yang pernah mendengar sesuatu kejadian ketika salah satu kelompok yang sedang bertikai bertindak sebagai jaksa?” kata Diponegoro seperti dikutip oleh Peter Carey.

Hari itu, 28 Maret 1830, Diponegoro menemui Jenderal De Kock di Karesidenan Kedu di Magelang untuk silaturahmi Lebaran. Jika ada tawaran membicarakan politik bisa dilakukan di hari lain lagi, tetapi De Kock bersikeras permasalahan tuntas hari itu juga, sehingga ia melarang Diponegoro pulang.

Diponegoro, menurut Peter Caery, berangkat ke Karesidenan pukul delapan pagi. Tapi catatan De Kock, kata Peter Carey, menyebut Diponegoro sudah tiba di Karesidenan pukul 07.30 pagi. Saleh As’ad Djamhari menyebut Dipoengoro baru berangkat pukul 10.00 pagi.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Ia berangkat tanpa menaruh curiga. Karena sekadar untuk jalan-jalan, maka Diponegoro hanya mengenakan pakaian santai, tidak mengenakan pakaian resminya.

Oohya! Baca juga ya:

Ini Arti Nama Untung Suropati, Budak Perwira Kompeni yang Minta Perlindungan kepada Amangkurat II di Kartosuro

“Begitu juga dengan para pengikutnya, tidak seorang pun dari mereka yang mengenakan tanda pangkat atau jabatan (tan mawi ampilan),” tulis Peter Carey.

Tempat duduk di rumah Residen sudah diatur. Para pengikut Diponegoro ditempatkan di ruang tengah.

Pangeran Diponegoro menemui Jenderal De Kock didampingi Basah Martonegoro, Haji Ngisa, Haji Badaruddin, dan dua punakawan –Joyosuroto dan Bantengwareng—serta dua anak Diponegoro yang kecil. Sedangkan De Kock didampingi Residen Valck, Mayor De Stuers (ajudan), dan Kapten Roeps (penerjemah).

Oohya! Baca juga ya:

Negeri Hitu yang Dibantu Ratu Kalinyamat Ternyata Pusat Perdagangan di Maluku yang Memberi Kemakmuran Orang Jawa Sejak Zaman Majapahit

Di kursi luar ada Basah Gondokusumo (di kemudian hari menjadi Patih Danurejo V), Basah Suryowinoto, Basah Imam Musbah, dan beberapa adipati. “Saat pembicaraan sedang berlangsung, Jenderal De Kock memerintahkan Mayor Michiels untuk melucuti pengawal Diponegoro,” tulis Saleh As’ad Djamhari.

Sebanyak 1.400 pengawal yang tetap tinggal di asrama Diponegoro dilucuti senjatanya. Pengawal yang ada di depan rumah Residen juga dilucuti.

Diponegoro beserta pengikutnya sudah ada di Magelang sejak 8 Maret 1830. Namun, sejak 25 Februari 1830 ia menyatakan tidak bersedia melakukan pembicaraan selama bulan Ramadhan.

Ajakan berunding dengan Diponegoro telah dilakukan sejak 9 Februari 1830. Saat itu, pesan dikirimkan kepada Diponegoro bahwa Kolonel Cleerens, atas nama Jenderal De Kock, mengajak bertemu dan berdamai setelah Perang Jawa berlangsung hampir lima tahun.

Diponegoro pun menerima ajakan itu. Pertemuan akan dilakukan di Desa Remokawal. Persiapan pun dilakukan oleh Belanda, dengan membuat pesanggrahan di Remokawal.

Jalanan menuju lokasi pertemuan juga diperbaiki, diuruk denga pasir. “Pada Senin 16 Februari 1830, sekitar pukul 10.00 pagi, Diponegoro tiba di Remokawal dengan pengormatan luar biasa,” tulis Saleh As’ad Djamhari.

Kepada Cleerens yang datang terlambat, Diponegoro menyetujui untuk bertemu dengan De Kock di Magelang. Cleerens yang menggunakan bahasa Melayu, menawari Diponegoro berangkat ke Magelang melalui rute Kalirejo-Kaliabu-Menoreh-Borobudur-Magelang.

Oohya! Baca juga ya:

Apa yang Dimaksud Diponegoro dengan Bahasa Melayu adalah Bahasa Ayam?

Dengan rute yang ditawarkan oleh Cleerens itu, menurut Diponegoro, rombongan akan menyeberangi Sungai Bogowonto sebanyak tiga kali. Diponegoro menolak rute ini, karena ia berpantang menyeberangi satu sungai sebanyak tiga kali berturut-turut.

Ia memilih rute memutar dengan menusuri Sungai Bogowonto. Dengan demikian, untuk mencapai Menoreh, ia hanya perlu sekali menyeberangi Sungai Bogowonto. Pada 21 Februari 1830 ia tiba di Menoreh dengan sambutan yang luar biasa.

Sebelum memutuskan ‘perundingan’, De Kock sebenarnya bisa menyerbu markas pesembunyian Diponegoro. Tapi ia tidak mau melakaukannya, dengan pertimbangan jika Diponegoro terbunuh, pengikutnya akan semakin marah dan bertambah banyak.

“Ia akhirnya memilih untuk memperdaya dan membujuk Diponegoro keluar dari ‘kantong’ pertahanannya secara damai untuk kemudian menangkapnya,” kata Saleh As’ad Djamhari.

Pada pertemuan dengan De Kock, Diponegoro merasakan ada perubahan sikap De Kock yang meyebut dirinya sebagai Diponegoro. Padahal dalam surat-menyurat sebelumnya, De Kock selalu menyapanya dengan panggilan Kanjeng Sultan Ngabdulkamid.

Oohya! Baca juga ya:

Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Resmi Sidang Umum UNESCO, Bahasa Ini Lahir karena Tabrani Tersinggung oleh Belanda

“Mengapa sekarang secara mendadak. Anda secara tiba-tiba mengubah segakanya, sehingga cara Anda membahasakan saya pun mengalami perubahan pula?” tanya Diponegoro seperti dikutip Peter Carey.

Maka, Diponegoro pun juag bertanya lagi, sebenarnya siapa yang hendak diajak berunding oleh De Kock? Sebab Diponegoro sudah menanggalkan nama Diponegoro sejak nama itu diberikan kepada anak tertuanya, yaitu Pangeran Diponegoro II, sejak Agustus 1825.

“Setiap kali Anda berkirim surat kepada saya, maka Anda tidak pernah gagal mebahasakan saya denan gelar saya yang sebenarnya ‘Kanjeng Sultan Ngabdulkamid,” kata Diponegoro.

Diponegoro pun menegaskan, bahwa dialah yang bertanggung jawab atas terjadinya peperangan. Dia pemimpinnya. Rakyat yang ikut perang tidak bersalah, karena mereka mengikuti perintahnya.

“Anda bertanya siapa sebenarnya yang menjadi pemimpin peperangan yang berkobar di Jawa ini. Tak lain tak bukan, Jenderal De Kock, pemimpin itu adalah saya. Orang Islam tidak pernah akan meninggalkan jamaahnya,” tegas Diponegoro.

Lawan tanding dalam perang itu adalah rakyat Jawa dan Belanda. Maka, ketika De Kock berniat menangkapnya, Diponegoro segera menuding De Kock telah melakukan tindakan jahat.

Oohya! Baca juga ya: Diponegoro Memiliki Tiga Istri Sebelum Pecah Perang Jawa, Ada Satu yang Disebut Berperilaku Arogan

Maka, Diponegoro pun memilih dibunuh saja. “Saya tidak merasa takut akan kematian. Selama bertahun-tahun peperangan saya selalu terhindar dari kematian itu,” kata Diponegoro.

Tapi, tujuan De Kock melakukan tipu daya ini memang untuk menghindari pembunuhan terhadap Diponegoro.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
- Asal Usul Perang Jawa karya Peter Carey (2001)
- Strategi Menjinakkan Diponegoro karya Saleh As’ad Djamhari (2014)
- Takdir karya Peter Carey (2014)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Ratu Belanda Kecewa Jepang Rebut Indonesia, Kenapa?

Image

Anggota Dewan Kabupaten Grobogan 9 Orang, Adakah Kakek Buyut Anda?

Image

Melawan Belanda dengan Bahasa