Apa yang Dimaksud Diponegoro dengan Bahasa Melayu adalah Bahasa Ayam?
Pangeran Diponegoro tidak menyukai bahasa Melayu-pasar. Hal itu muncul ketika ia menyaksikan pejabat-pejabat Belanda di masa pemerintahan daendels menggunakan bahasa Melayu-pasar ketika berbicara dengan Sultan Yogyakarta dan ketika mereka berbicara dengan dirinya.
Oohya! Baca juga ya:
Mengapa Diponegoro Menyebut Bahasa Melayu Sebagai Bahasa Ayam?
Diberhentikan dari Jabatan, Para Bupati Bersatu Barisan dengan Diponegoro dalam Perang Jawa
Julius Heinrich Knoerle, ajudan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang menyertai perjalanan Diponegoro menuju tanah pembuangan, Manado, bercerita mengenai ketidaksukaan Diponegoro pada bahasa Melayu-pasar itu. Bahasa Melayu-pasar itu menurut Diponegoro adalah bahasa ayam, basa pitik.
Tapi Knoerle, seperti dikutip Peter Carey, mengartikan pitik, ayam, menurut pengertian Barat, yaitu chicken = pengecut. Kata Knoerle:
Crawfurd membicarakan segala hal denan ayahnya atau dengan sang Pangeran sendiri, dan ia menjadikan bahasa Jawa sebagai bahasanya sendiri dalam masa kurang dari enam bulan karena bahasa Melayu adalah bahasa para pengecut yang tak hendak didengar oleh raja Jawa mana pun.
Pada masa Inggris merebut Yogyakarta pada 1812, John Crawfurd menjadi penerjemah. Ia masih menggunakan bahasa Melayu-pasar, yang karenanya, pada mulanya Diponegoro tidak menyukai Crawfurd. Rupanya, setelahndiangkat menjadi Residen Yogyakarta, Crawfurd memahami posisinya lalu mempelajari bahasa Jawa.
Namun, mengartikan idiom ayam dalam arti pengecut, kurang pas dilihat dari kebudayaan Jawa. Idiom ayam di Jawa biasanay dikaitkan dengan kekurangajaran, kekurangsopanan, dan ketidaktahuan terhadap tata krama.
Ada ungkapan pitik trondhol diumbar ing padaringan (ayam gundul dibuarkan di tempat beras), untuk menyebut orang yang memiliki watak buruk tapi diberi kepercayaan menjaga harta benda, hingga akhirnya harta benda itu habis. Ada pula ungkapan lir pitik cucuk conthongan (seperti ayam dengan kerucut di kepalanya), untuk menggambarkan orang yang tidak memiliki akal budi. Lalu ada pula awor karo pitik (bersama ayam). Kalimat ini biasa dipakai orang tua yang jengkel kepada anak kecilnya yang susah diatur, lalu diancam agar tidur bersama ayam.
Jadi, ketika Diponegoro menyebut bahasa Melayu-pasar sebagai bahasa ayam, seperti ingin menegaskan bahwa orang-orang Barat yang berbicara dengan bangsawan Jawa itu sebagai orang-orang yang kurang ajar, tidak tahu sopan santun. Apalagi, Diponegoro juga menyebut irama bahasa Melayu-pasar belang bentong. Yaitu irama yang tidak enak di telinga. Dikaitkan dengan ayam, irama bahasa Melayu-pasar bisa digambarkan pating kreyok kaya swaraning pitik dikurungi, gaduh seperti suara ayam di dalam kurungan.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Kuasa Ramalan karya Peter Carey
Ngrengrengan Kasusastran Jawa karya Padmosoekotjo.
Percakapan dengan Diponegoro karya Peter Carey.
Kancil Kridhamartana karya H Buning.