Diponegoro Memiliki Tiga Istri Sebelum Pecah Perang Jawa, Ada Satu yang Disebut Berperilaku Arogan
Sebelum Sultan Hamengkubuwono III meninggal, Diponegoro menikah untuk yang ketiga kalinya. Pada September 1814), Diponegoro menjadikan Raden Ayu Maduretno, sebagai istri nomor tiga.
Peter Carey memperkirakan, pernikahan Diponegoro-Maduretno terjadi pada 28 September 1814. Ayah Maduretno, almarhum Raden Ronggo pada masa hidupnya menjabat sebagai bupati Madiun yang memberontak kepada Belanda. Diponegoro sangat mengaguminya.
Raden Ayu Maduretno memberi dukungan besar kepada Diponegoro selama Perang Jawa berlangsung. Ia meninggal pada 20 November 1827.
“Dari semua istri-istri Pangeran, dialah satu-satunya yang disebut Pangeran dengan penuh kasih mesra di dalam babad,” tulis Peter Carey.
Oohya! Baca juga ya:
Ini Hal yang tidak Bisa Dilakukan di Starbucks, Kedai Kopi yang Sedang Diboikot Gara-gara Israel
Ini adalah pernikahan ketiga yang dilakukan Diponegoro. Bisa disebut sebagai pernikahan kedua dengan sesama keluarga bangsawan.
Istri pertama Diponegoro bukan dari kalangan bangsawan, melainkan dari kalangan kiai kampung. Adalah Retno Madubrongto, putri dari Kiai Gede Dadapan, yang ia nikahi pada 1802.
Pernikahan itu berlangsung pada saat Diponegoro tinggal di Tegalrejo. Dari Retno Madubrongto, Diponegoro memiliki anak yang ia beri nama seperti nama kecilnya: Raden Mas Ontowiryo. Kelak ia menjadi Pangeran Diponegoro II.
Oohya! Baca juga ya:
Cermin 78 Tahun Indonesia di Perilaku Menjengkelkan Pengunjung Kafe Kopi Kelas Menengah
Tapi di kemudian hari, Diponegoro dipisahkan dari Retno Madubrongto. Diponegoro harus menuruti kehendak ayahnya, putra mahKota yang kelak menjadi Sultan Hamengkubuwono III (1810-1811 dan 1812-1814), agar bersedia “menikah politik” dengan Raden Ajeng Supadmi.
Supadmi adalah putri dari Bupati Jipang Panolan Raden Tumenggung Notowijoyo II. “prosesi dan pesta perkawinan digelar besar-besaran pada 27 februari 1807 dan dicatat secara detail dalam surat-surat residen,” tulis Peter Carey.
Namun, kata Peter Carey, istri kedua ini tidak pernah diceritakan oleh Diponegoro dalam Babad Diponegoro. Setelah Supadmi melahirkan anak pertama dan satu-satunya pada 1808, Peter Carey menduga Supadmi lantas dipisahkan dari Diponegoro.
Supadmi yang tetap tinggal di Keputren Keraton Yogyakarta digambarkan oleh Diponegoro II sebagai ibu tiri yang arogan. Ia disebut berperilaku tidak adil terhadap Retno Madubrongto, istri pertama Diponegoro, yang merupakan ibu dari Diponegoro II.
Retno Madubrongto meninggal sebelum pecah Perang Jawa. Pernikahannya dengan Diponegoro disebut Peter Carey memberikan gambaran pergaulan Diponegoro selama tinggal di Tegalrejo.
Karena ia anak dari seorang kiai, hal ini memperlihatkan bahwa selama tinggal di Tegalrejo, Diponegoro banyak bergaul dengan kalangan ulama. Kiai Gede Dadapan adalah ulama terkemuka di Desa Dadapan.
Di Tegalrejo, Diponegoro tinggal bersama nenek-buyutnya, Ratu Ageng --istri dari Hamengkubuwono I. Ratu Ageng adalah anak dari kiai kampung di Majangjati, dekat Sragen. Namanya Kiai Ageng Derpoyudo.
Oohya! Baca juga ya:
Rupanya, Diponegoro tidak hanya bergaul dengan kiai kampung. Ia juga memiliki hubungan baik dengan kalangan elite di keraton yang juga mempelajari Islam dengan tekun.
Ia juga akrab dengan Raden Ayu Danukusumo, putri dari Sultan Hamengkubuwono I. Raden Ayu Danukusumo menguasai berbagai literatur Islam-Jawa. Ia juga menguasai aksara pegon, yaitu huruf Arab gundul.
Raden Ayu Danukusumo menjadi lawan tangguh Dipoengoro dalam bermain catur. Diponegoro memang gemar bermain catur.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Takdir karya Peter Carey (2014)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]