Perjalanan Amangkurat I Tinggalkan Keraton Mataram pada Malam Hari untuk Menghindari Serangan Trunojoyo
Peluru jatuh seperti gerimis. Demikian Babad Tanah Jawi menggambarkan serbuan terhadap Keraton Mataram. Susuhunan Amangkurat I pun meninggalkan keraton diam-diam, pada malam hari.
Amangkurat I meninggalkan keraton dengan menunggang gajah. Menuju ke barat. Tentara Mataram mengiringi di belakang.
Rumah-rumah penduduk pun banyak yang dilalap api. Suara tangis menyayat hati.
Oohya! Baca juga ya: Bermimpi Kejatuhan Tujuh Rembulan, Amangkurat II Membatalkan Diri untuk Menunaikan Ibadah Haji
Tapi ada juga penduduk yang menanggapi perang merebut keraton itu dengan santai. Padahal telah kehilangan anak.
“Ada istri yang berkata ‘Anakmu hilang empat’. Suaminya menjawab ‘Hilang atau tidak, tidak jadi masalah. Yang masalah kalau tidak diberi bagian nasi. Tak perlu khawatir, aku masih muda, terampil bikin anak. Dalam pengungsian kita bisa bikin anak.”
Pasukan gabungan Sampang-Makassar, gabungan pasukan Trunojoyo dan Karaeng Galesong, terus merangsek ke istana. Rombongan Amangkurat I terus menjauh ke arah barat.
Pangeran Anom beserta adik-adiknya juga mengiringi sang ayahanda, Amangkurat I. Tetapi, Amangkurat I segera memerintahkan Pangeran Anom untuk kembali ke Plered, merebut keraton.
Pangeran Anom menolak. Hidup mati, kata Pangeran Anom, akan selalu bersama Amangkurat I.
Adik Pangeran Nom, Pangeran Puger, menyanggupi untuk kembali ke Plered jika direstui oleh Amangkurat I. Amangkurat I pun membekali Pangeran Puger dengan keris sakti Ki Mahesanular untuk merebut kembali Keraton Mataram di Plered.
Perjalanan Amangkurat I sudah mendekati Banyumas. Ia jatuh sakit sebelum tiba tiba Banyumas.
Oohya! Baca juga ya: Negeri Hitu yang Dibantu Ratu Kalinyamat Ternyata Pusat Perdagangan di Maluku yang Memberi Kemakmuran Orang Jawa Sejak Zaman Majapahit
Amangkurat lalu meminta dicarikan buah kelapa untuk memulihkan kesehatannya. Pangeran Anom pun segera meminta bantuan kepada para pembantunya.
Kelapa didapat, Pangeran Anom segera melubangi buah kelapa itu agar bisa segera diminum oleh Amangkurat I. Namun, Amangkurat I tidak berkenan dengan perlakuan ini.
Amangkurat I menyatakan kekesalannya kepada Pangeran Anom. Karena melubangi buah kelapa tanpa ia minta sebagai bentuk tindakan terburu-buru dari Pangeran Anom.
Maksudnya, terburu-buru ingin segera menggantikan posisi sultan, menggantikan Amangkurat I. Padahal disuruh kembali ke keraton untuk merebut keraton saja, Pangeran Anom tidak bersedia.
Karenanya, Amangurat I pun bersumpah, jika sudah meninggal nanti, kuburannya tidak boleh diziarahi oleh Pangeran Anom beserta anak cucunya. Dari hari ke hari, sakit Amangkurat I semakin parah.
Pangeran Anom selalu menungguinya. Amangkurat I pun --meski telah membunuh 7.000 santri dan kiainya-- digambarkan oleh Babad Tanah Jawi mampu mengetahui ajalnya semakin dekat.
Oohya! Baca juga ya: Setelah Bunuh 7.000 Santri dan Kiainya, Amangkurat I Beri Imbalan 3.000 Pikul Beras kepada Kompeni Agar Dibantu Berperang Lawan Trunojoyo
Karenanya, ia pun memberi wasiat kepada Pangeran Anom. Ia meminta dimakamkan di Tegal dan meminta Pangeran Anom merebut keraton.
“Kalau ajalku sudah tiba, pergilah ke timur. Ajaklah Kompeni, ajaklah mereka bertempur. Balas dendamlah kepada orang wilayah timur. Kau kurestui. Rebutlah negerimu Mataram dengan berperang,” kata Amangkurat I.
Ketika Amangkurat I meninggal, jenazahnya segera dibawa ke Tegal. Bupati Tegal Tumenggung Martalaya menjemput jenazahnya.
Oohya! Baca juga ya: Jangan Heran Jika Si Mawar dan Si Manis Jadi Anggota Parlemen Aceh di Abad ke-17, Ini Kata Hamka Setelah Mengetahui Perjuangan Cut Nyak Dien
Di Tegal dicari tanah yang harum baunya, seperti yang diwasiatkan oleh Amangkurat I sebelum meninggal. Amangkurat I meminta dikubur di tanah yang wangi. Maka, di kemudian hari ia dijuluki sebagai Sunan Tegalwangi.
Maka, Pangeran Anom yang kemudian menjadi Amangkurat II, meminta bantuan Kompenti untuk menumpas Trunojoyo dan Karaeng Galesong.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Babad Tanah Jawi Buku III penerjemah Amir Richyatmo, penyunting Sapardi Djoko Damono Sonya Sondakh (2004)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]